Liputan6.com, Badung - Di awal 1970, bagi perusahaan yang mengebor minyak namun menemukan gas bagai sebuah kutukan. Saat itu gas masih dianggap barang tak berharga.
Lalu pada 1976, kilang pengolahan gas alam cair (LNG) Arun dan Bontang dibangun, masih tak ada industri yang berminat untuk memanfaatkan gas itu.
Sebab kala itu Indonesia sedang berada di puncak produksi minyak. Gas pun masih diabaikan dan hal ini membuat proyek infrastruktur gas tak berkembang.
Alhasil, hasil produksi gas Indonesia yang dikeruk dari perut bumi Ibu Pertiwi diekspor dan terkontrak jangka panjang.
"Saat itu Indonesia bangga sebagai produsen LNG terbesar di dunia. Kita jadi berpikir Indonesia berlimpah minyak dan gas," cerita Wakil Kepala SKK Migas, Zikrullah di acara Sarasehan Stakeholder Gas Bumi Nasional di Kuta, Bali, Senin (2/11/2015).
Baca Juga
Advertisement
Bergeser ke awal tahun 2000, perusahaan Inggris BP mengembangkan kilang Tangguh dan menawarkan gas ke perusahaan dalam negeri, namun tetap tidak ada yang berminat. Padahal saat itu BP menawarkan dengan harga murah yaitu US$ 2 per mmbtu dengan jaminan pasokan 15-20 tahun.
"Terbatasnya infrastruktur jadi salah satu kendala," tuturnya.
Kini kebutuhan gas domestik terus menggeliat, namun besarnya permintaan tidak bisa dipenuhi karena minimnya infrastruktur. Industri dan PLN teriak kekurangan gas.
Direktur Jenderal Minyak Gas Bumi (Dirjen Migas) Kementerian ESDM, IGN Wiratmaja Puja mengakui keterbatasan infrastruktur menjadi kendala utama untuk mengoptimalkan pemenuhan gas di dalam negeri.
Pasalnya saat ini sebagian besar ladang gas berada di Indonesia Timur. Sementara pengguna gas di Jawa dan Sumatera. "Kami sudah alokasikan gas untuk domestik tapi penyerapannya belum optimal karena masalah infrastruktur," paparnya.
Namun pemerintah tak tinggal diam, rencana pembangunan proyek infrastruktur disiapkan. Menurut Wiratmaja, Indonesia membutuhkan dana hingga US$ 20 miliar untuk membangun infrastruktur gas hingga 15 tahun ke depan.
"Untuk membangun infrastruktur gas butuh investasi besar, kalau pemerintah sendiri yang danai tidak bisa, butuh keterlibatan investor swasta," katanya.
Dikutip dari data Ditjen Migas, dana sebesar US$ 20 miliar tersebut, diperuntukkan untuk pembangunan pipanisasi sebesar US$ 8,5 miliar dan regasifikasi sebesar US$ 8 miliar. Pembangunan terminal elpiji dan stasiun pengisian bahan bakar gas (SPBG) sebesar US$ 1 miliar dan pembangunan gas kota sebesar US$ 2,5 miliar. (Ndw/Gdn)