Liputan6.com, Jakarta - Kapolri Jenderal Polisi Badrodin Haiti telah mengeluarkan surat edaran (SE Kapolri) terkait penyebaran kebencian di medsos atau media sosial.
Anggota Komisi III DPR Arsul Sani menyambut baik surat edaran Badrodin. Menurut dia, Polri telah memilih ruang penegakan hukum preventif-persuasif dalam menyikapi masalah ini.
"Kemudian kalau itu dianggap telah terjadi, maka Polri terlebih dahulu harus bersikap persuasif dengan menyadarkan terduga pelaku, atau mendamaikan antara terduga pelaku dengan korbannya," kata Arsul saat dihubungi di Jakarta, Senin (2/11/2015).
Politisi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) ini menilai, langkah Polri ini merupakan bentuk penerapan pengendalian keadilan. Tinggal publik yang menjadi kontrol, apakah berjalan baik atau justru sebaliknya. Ke depan cara ini diharapkan bisa dijadikan model penegakan hukum.
"Hanya yang harus dikawal oleh masyarakat adalah konsistensi penerapan langkah-langkah preventif-persuasif tersebut dalam kasus nyata," ujar Arsul.
Dia juga menilai, postingan di media sosial terkait dugaan 'rekayasa' dalam pertemuan antara Presiden Jokowi di rumah penampungan atau rumah singgah bagi korban terdampak kabut asap di Sumatera Selatan, dapat menjadi test case oleh Polri untuk menerapkan pendekatan barunya dalam penegakan hukum yang diatur dalam Surat Edaran Kapolri tersebut.
"Artinya, statement yang muncul ke publik seyogianya bukan mengusut postingan tersebut langsung dalam konteks penyidikan 'pro-yustitia'. Tapi mengusut dalam konteks memberikan penyadaran kepada pelakunya bahwa postingannya tersebut tidak betul. Dan meminta agar tidak mengulang lagi postingan yang menyesatkan atau menimbulkan ujaran kebencian," papar Arsul.
Baca Juga
Advertisement
Pertanyakan Surat Edaran
Sementara, Wakil Ketua Komisi III DPR Desmond Junaidi Mahesa mempertanyakan dikeluarkannya Surat Edaran Kapolri. Dia menilai akan ada banyak orang semakin berani mengungkapkan kebenciaan di medsos, karena merasa dibatasi.
"Surat edaran ini kebablasan, ini akan mempercepat runtuhnya Jokowi, kalau dilakukan hal ini. Saya curiga Kapolri mendorong proses penjatuhan Jokowi, karena ini akan membuat orang-orang malah berani. Bagi aktivis ini tidak menjadi ancaman, mereka akan semakin senang," kata Desmond.
Polisiti Partai Gerindra ini mengaku tak habis pikir kepada Kapolri yang seolah ingin membatasi hak orang berekspresi. Dia pun mengimbau Polri kembali disatukan dengan TNI seperti pada era Orde Baru.
Nantinya, sambung Desmond, TNI memiliki kuasa penuh untuk mengontrol tindak tanduk masyarakat dalam kebebasan berekspresi. "Kebencian untuk menghidupkan pasal karet ini mengancam kebebasan atau apa? Melanggar infomasi publik dan HAM. Pasal 28 UUD 45 tentang kebebasan berekspresi hilang."
"Kenapa tidak sekalian saja TNI-Polri kita satukan saja lagi, dan Polri di bawah TNI. Sekalian kita arahakan TNI yang mengarahkan untuk mengontrol kebebasan ekspresi dan mengontrol gerak Presiden," papar dia.
Desmond pun curiga terkait tujuan utama dikeluarkannya Surat Edaran Kapolri tersebut, untuk meredam kritik terhadap pemerintah. Jika demikian, maka menurut dia sama saja dengan kemunduran demokrasi.
"Semakin banyak orang yang masuk penjara karena hal ini, memperlihatkan surat edaran ini tidak ada capaian," tandas Desmond. (Rmn/Ali)