Liputan6.com, Jakarta - Wakil Ketua DPR Agus Hermanto mengatakan, Surat Edaran Kapolri mengenai ujaran kebencian di media sosial harus mengacu peraturan perundang-undangan di atasnya.
"Kekuatan hukumnya berada di bawah, sehingga harus melakukan harmonisasi dari peraturan perundangan di atasnya. Surat edaran itu tidak punya kekuatan hukum untuk menuntut seseorang, yang menuntut seseorang adalah pasal yang berkaitan dengan hukum. Misalnya, dia melanggar Undang-Undang atau KUHP," ujar Agus di Gedung DPR, Senayan, Selasa (3/11/2015).
Politisi Partai Demokrat ini menjelaskan, surat edaran merupakan alat yang digunakan Polri kepada jajaran di bawahnya. Sehingga apabila seseorang melanggar aturan yang tertuang dalam surat edaran, yang bersangkutan tidak bisa dituntut hukuman pidana.
Baca Juga
Advertisement
"Kalau seseorang melanggar surat edaran terus dituntut 5 tahun atau tahun 10 tahun, tidak seperti itu aturannya kalau melanggar surat edaran. Kalau melanggar UU di atasnya itu bisa saja," kata dia.
"Surat edaran ini tata urutan perundang-undanganya adalah di tingkat pelaksanaan. Konstruksi hukumnya tentunya di bawah. Jadi tidak kuat, karena untuk itu tidak bisa dijadikan alasan untuk, misalnya melanggar pasal ini dituntut sekian tahun. Itu tidak boleh," pungkas Agus.
Surat Edaran hate speech atau ujaran kebencian Nomor SE/06/X/2015 itu ditandatangani Kapolri pada 8 Oktober 2015 lalu dan telah dikirim ke Kepala Satuan Wilayah (Kasatwil) seluruh Indonesia.
Isi Surat Edaran Kapolri
Pada salinan surat yang diterima dari Divisi Pembinaan dan Hukum (Divbinkum) Polri, disebutkan persoalan ujaran kebencian semakin mendapatkan perhatian masyarakat baik nasional atau internasional seiring meningkatnya kepedulian terhadap perlindungan hak asasi manusia (HAM).
Pada Nomor 2 huruf (f) SE disebutkan, ujaran kebencian dapat berupa tindak pidana yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan ketentuan pidana lainnya di luar KUHP, yang berbentuk antara lain:
1. Penghinaan.
2. Pencemaran nama baik.
3. Penistaan.
4. Perbuatan tidak menyenangkan.
5. Memprovokasi.
6. Menghasut.
7. Menyebarkan berita bohong dan semua tindakan di atas memiliki tujuan atau bisa berdampak pada tindak diskriminasi, kekerasan, penghilangan nyawa, dan atau konflik sosial.
Selanjutnya pada huruf (g) disebutkan, ujaran kebencian sebagaimana dimaksud di atas, bertujuan untuk menghasut dan menyulut kebencian terhadap individu dan atau kelompok masyarakat, dalam berbagai komunitas yang dibedakan dari aspek:
1. Suku.
2. Agama.
3. Aliran keagamaan.
4. Keyakinan atau kepercayaan.
5. Ras.
6. Antargolongan.
7. Warna kulit.
8. Etnis.
9. Gender.
10. Kaum difabel.
11. Orientasi seksual.
Pada huruf (h) disebutkan, ujaran kebencian sebagaimana dimaksud di atas dapat dilakukan melalui berbagai media, antara lain:
1. Dalam orasi kegiatan kampanye.
2. Spanduk atau banner.
3. Jejaring media sosial.
4. Penyampaian pendapat di muka umum (demonstrasi).
5. Ceramah keagamaan.
6. Media masa cetak atau elektronik.
7. Pamflet.
Pada huruf (i) disebutkan, dengan memperhatikan pengertian ujaran kebencian di atas, perbuatan ujaran kebencian apabila tidak ditangani dengan efektif, efisien, dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, akan berpotensi memunculkan konflik sosial yang meluas, dan berpotensi menimbulkan tindak diskriminasi, kekerasan, dan atau penghilangan nyawa.
(Rmn/Mut)