4 Aturan Hidup Suku Anak Dalam Jambi

Kabut asap akibat kebakaran hutan dan lahan memaksa Suku Anak Dalam di Jambi meninggalkan belantara tempat tinggal mereka.

oleh Nadya Isnaeni diperbarui 03 Nov 2015, 22:55 WIB
Presiden Jokowi saat mengunjungi Suku Anak Dalam di Jambi. (Facebook Presiden Jokowi)

Liputan6.com, Jakarta - Kabut asap akibat kebakaran hutan dan lahan memaksa Suku Anak Dalam (SAD) di Jambi meninggalkan belantara tempat tinggal mereka. Bencana di tengah kemarau ini melumpuhkan hampir segala sendi kehidupan komunitas yang juga sering disebut Kubu dan juga Orang Rimba.

Bagi mereka, hutan adalah segalanya. Mulai dari tempat tinggal hingga tempat mempertahankan hidup dan keturunan. Musnahnya hutan adalah kiamat bagi mereka.

Anggota komunitas SAD ini menyebar di 7 lokasi hutan yang kemudian dinyatakan sebagai kawasan Taman Nasional Bukit Barisan (TNBD), yaitu Kawasan Bukit Dua Belas, Kawasan Penyangga Bukit Tiga Puluh, Bungotebo, Sarko, Batanghari, Tanjung Jabung, dan sebelah barat Provinsi Jambi.

Namun jumlah mereka kini terus tergerus. Manajer Program Pemberdayaan Masyarakat Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi, Robert Aritonang menyebutkan, dari hasil sensus pada tahun 2014 lalu, populasi Orang Rimba hanya tersisa 3.850 jiwa yang tersebar di beberapa kawasan taman nasional di Jambi.

Untuk menengok komunitas adat terpencil yang tengah menjadi korban kabut asap itu, Presiden Jokowi menjadwalkan kedatangannya ke Jambi. Namun beberapa kali kedatangan itu harus tertunda.

Hingga pada 30 Oktober 2015, dia baru bisa menginjak tanah berkabut asap itu dan menjumpai warga Suku Anak Dalam.

Kehidupan Suku Anak Dalam menarik untuk disimak. Mereka hidup di rimba bersama keluarga dan kelompoknya. Baru sedikit yang mengenal uang dan hidup terasing dari silau kemodernan dunia luar. Hanya bergantung pada apa yang ditawarkan hutan.

Meskipun ada pula sedikit di antara mereka yang telah berbaur dan melek teknologi. Berikut fakta-fakta menarik Orang Rimba Jambi yang dihimpun Liputan6.com di Jakarta, Selasa (3/11/2015):


Pantang Dunia Terang

Presiden Jokowi saat menemui Suku Anak Dalam di Jambi, Jumat (30/10/2015). (Tim Komunikasi Presiden)

Suku Anak Dalam hidup dalam kelompok-kelompok kecil. Masing-masing kelompok tersebut terdiri dari belasan keluarga atau sekitar 20 hingga 100 jiwa.

Mereka menyebut kehidupan di luar hutan rimba sebagai 'dunia terang'. Begitu pun dengan orang-orang di luar SAD yang mereka sebut sebagai masyarakat terang.

Bagi Orang Rimba di Bukit Dua Belas, kontak dengan dunia luar secara sistematis dibatasi dan diatur tatanan adat. Seperti disebutkan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) dalam kajian Perbandingan Program Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil dan Program Pengembangan Wilayah Terpadu 2004.

Ada pula yang menyebutkan jika mereka percaya bahwa masyarakat terang merupakan pemakan manusia. Itulah sebabnya Suku Anak Dalam tak mau bertemu dengan masyarakat terang.

Namun sejak masuk Hak Pengusahaan Hutan (HPH) pada pertengahan 1970-an, kehidupan mereka mulai berubah. Seperti rimba mereka yang juga berubah ekstrem. Saat ini kawasan hidup mereka sebagian besar berada di areal konsesi HPH.

Dalam kehidupan sehari-hari, mereka bergantung sepenuhnya pada alam. Berburu dan meramu. Baru akhir-akhir ini mereka belajar menetap dan juga berladang. Namun kini mereka sedikit lebih terbuka.

Pada Jokowi, mereka mengaku bersedia meninggalkan hidup nomaden dan tinggal di dalam rumah. Tapi ada syaratnya.

"Mau, tapi dengan syarat-syarat rumahnya jaraknya agak jauh, lalu ada lahan. Sudah nanti disiapin, Bu Menhut sudah nyiapin, Pak Bupati, Pak Gubernur. Nanti yang mengenai rumahnya diurus Mensos," kata Jokowi pada 30 Oktober 2015


Melangun

Orang Rimba atau Suku Anak Dalam. (Antara)

Suku Anak Dalam terbiasa hidup berpindah-pindah atau nomaden. Jika salah satu anggota keluarga meninggal dunia, mereka akan mengembara mencari tempat tinggal baru. Oleh mereka kegiatan ini disebut melangun.

Mereka akan melangun hingga kesedihan karena ditinggal orang tercinta hilang.

Namun justru aktivitas mengembara ini yang dinilai sebagai pemicu rentannya kesehatan Orang Rimba. Asisten Koordinator KKI Warsi, Ade Candra mengatakan, rentannya kesehatan Orang Rimba dipicu krisis pangan dan air bersih di setiap lokasi melangun.

Hal tersebut menyebabkan kondisi tubuh Orang Rimba menjadi sangat lemah dan mudah terkena penyakit, terutama anak-anak. Belasan warga Suku Anak Dalam dikabarkan meninggal dunia lantaran kelaparan saat melangun pada Maret 2015 lalu.

Sementara pada April 2015, 9 Orang Rimba Jambi mengemis di pinggir jalan. Mereka nampak 'menengadahkan tangannya' di jalur lintas Jambi-Palembang (Sumatra Selatan), Pal VI, Kotabaru, Kota Jambi. Sudah 15 hari mereka melangun atau mengembara dengan berjalan kaki dari hutan yang berlokasi di antara Kabupaten Batanghari dan Kabupaten Sarolangun.

"Kami melangun sampai kami lupa sama keluarga kami yang meninggal. Kami sudah 15 hari, tidak akan ke hutan sampai sebulan," ujar Bejampung, satu dari sembilan Orang Rimba Jambi.


Dilarang  Berduaan

Orang Rimba atau Suku Anak Dalam. (kkiwarsi.wordpress.com)

Dalam komunitas Suku Anak Dalam, ada aturan keras di antara mereka. Perempuan dan laki-laki Suku Anak Dalam dilarang berduaan.

Bagi mereka yang ketahuan akan dihukum dengan kawin paksa. Namun sebelum dikawinkan mereka akan dihukum dengan pukulan rotan lantaran dianggap telah mempermalukan orangtua.

Ada pula aturan lain. Pria asing tak boleh masuk hutan jika tak ditemani pria dari Suku Anak Dalam. Sesudah masuk pun, mereka harus berteriak keras untuk menanyakan apakah ada pria lain di sana.

Dalam bahasa mereka, teriakan itu: "Ado jentan kiuna? (Ada laki-laki di sana?)"

Jika sudah mendapatkan jawaban baru mereka boleh memasuki kawasan hutan. Para pria juga harus tetap mengenakan kain penutup untuk bagian bawah tubuhnya. Apabila melanggar akan dikenakan sanksi membayar sejumlah kain.


Mandi

Orang Rimba atau Suku Anak Dalam. (www.antarabengkulu.com)

Para Orang Rimba hidup dengan sederhana di dalam hutan. Mereka biasa tidur dengan merebahkan tubuh di atas tanah. Namun ada sebagian lain yang membuat tenda dari terpal.

Setiap membuka lahan atau menunggu panen, mereka mendirikan rumah 6x4 meter.

Namun rumah yang dinamakan rumah godong itu hanya digunakan untuk menyimpan makanan atau peralatan mereka.

Untuk urusan mandi, Orang Rimba tak perlu repot. Mereka tinggal mencelupkan diri ke kolam atau sungai. Lalu bersih-bersih tanpa menggunakan sabun.

Suku Anak Dalam kini jadi perhatian pemerintah. Presiden Jokowi disebut-sebut sebagai Presiden pertama yang mengunjungi suku di belantara Sumatera itu.

Namun pertemuan tersebut melahirkan kontroversi. Foto-foto kala sang presiden berdialog dengan Orang Rimba diduga rekayasa atau setting-an.

Namun hal itu telah dibantah oleh Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa. Menurut Khofifah, foto yang beredar, baik yang hanya mengenakan pakaian tradisional maupun yang berpakaian lengkap, adalah pertemuan yang memang benar-benar dilakukan Jokowi di Jambi.

Kasus ini pun ditanggapi serius. Kepolisian kini melakukan penelusuran untuk mencari tahu siapa penyebar fitnah foto Suku Anak Dalam yang melibatkan Jokowi. (Ndy/Ado)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya