Liputan6.com, Jakarta - Perusahaan acap kali mengabaikan penetapan pekerja atau buruhnya dari pegawai kontrak menjadi tetap. Hal inilah yang membuat perwakilan dari Federasi Ikatan Serikat Buruh Indonesia (FISBI), menggugat Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Pasal-pasal yang digugat dalam UU Ketenagakerjaan itu, antara lain Pasal 59 ayat 7, Pasal 65 ayat 8, dan Pasal 66 ayat 4. Menurut mereka, gugatan ini dilakukan karena buruh hanya bisa pasrah lantaran pengadilan negeri merasa tidak memiliki kewenangan menetapkan perusahaan, untuk melaksanakan penetapan tertulis itu.
Sementara, pengadilan hubungan industri tidak mengurusi perpindahan status pekerja. Sehingga saat ini, banyak buruh kontrak di perusahaan-perusahaan. Gayung bersambut, MK pun menerima gugatan tersebut.
"Mengabulkan gugatan yang diajukan pemohon," ujar Hakim Ketua MK Arief Hidayat saat membacakan amar putusan di ruang persidangan, Jakarta, Rabu (4/11/2015).
Baca Juga
Advertisement
Hal yang menjadi pertimbangan dalam putusan tersebut, karena MK berwenang secara a quo. "Dan (gugatan) tersebut beralasan dengan hukum," tutur Arief.
Meski mengabulkan gugatan pemohon, Arief menjelaskan, sebelum diadukan ke pengadilan negeri, buruh harus menempuh beberapa tahapan. "Telah dilaksanakan terlebih dahulu perundingan bipartit atau jika tak mencapai kesepakatan atau salah satu pihak tidak bisa diajak berunding," ujar dia.
Syarat lainnya, menurut Arief, adalah harus ada hasil pemeriksaan dari Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan (PPK). "Telah dilakukan pemeriksaan oleh PPK berdasarkan peraturan perundang-undangan," pungkas Arief.
Sujud Syukur
Mendengar permohonannya dikabukan MK, beberapa buruh kontrak yang hadir di persidangan langsung sujud syukur di lobi lantai 1 MK. Menurut Ketua FISBI, M Komaruddin, putusan MK itu merupakan penantian panjang para buruh.
"Ini penantian panjang. Tapi kenyatannya materi yang kita ajukan penetapan status buruh sudah lama tak bisa diapa-apakan," ujar Komaruddin.
Dia menegaskan, dengan adanya hal tersebut, maka buruh kini mempunyai ketetapan hukum agar bisa ditindaklanjuti terkait status pekerjaannya. "Dengan adanya ini, ke depan buruh memilih ketetapan hukum. Pemerintah sebenarnya telah berupaya, tapi selalu tak punya kekuatan hukum. Inilah ketentuan hukumnya (yang menjamin)," pungkas Komaruddin. (Rmn/Mut)