Bagaimana Mengenali Film Jelek Sebelum Pergi ke Bioskop?

Tanpa pengetahuan yang memadai atas sebuah film, Anda rawan tertipu di bioskop oleh film jelek. Bagaimana triknya?

oleh Ade Irwansyah diperbarui 05 Nov 2015, 19:38 WIB
Film Knock Knock dibintangi Keanu Reeves. (dok. istimewa)

Liputan6.com, Jakarta Di bioskop kita baru saja turun layar film anyar yang dibintangi Keanu Reeves, Knock Knock. Saya tak sempat menontonnya, namun kawan-kawan yang menonton filmnya mengatakan kecewa berat usai nonton film tersebut.

Sebagai yang sering menulis ulasan film baik di media sosial pribadi maupun di situs ini, saya kerap ditanya kawan-kawan begini: "Mas, sudah nonton Knock Knock belum?"

Saya tentu saja jawab belum, karena memang belum menonton. Saya juga sekalian bilang tak berniat nonton. Para kawan, yang artinya lebih dari satu, biasanya lalu bilang, "Mending jangan, mas. Filmnya jelek."

Ya, bukan satu-dua orang yang bilang kecewa berat setelah nonton Knock Knock. Saya ingat, seorang kawan menulis di akun Path-nya belum lama ini, "Wtf, Keanu ngapain main di film kek gini."

Hm, dari yang saya tanyai, kebanyakan kawan yang memilih nonton Knock Knock di bioskop tertarik lantaran ada nama Keanu Reeves dan wajahnya di poster. Nama besarnya rupanya masih jadi magnet penonton.

Keanu Reeves di film Speed (1994).

Kita semua tahu, Keanu Reeves jadi aktor yang tenar sejagat pada 1990-an berkat Speed (1994). Di film karya Jan de Bont itu, Reeves berperan sebagai penjinak bom yang harus berjibaku dengan mantan polisi yang sakit hati. Speed, yang mempertemukan Reeves dengan Sandra Bullock, begitu disukai penggemar film laga masa itu karena ketegangan yang intens sepanjang film. Kemudian pula, potongan rambut Keanu Reeves jadi tren di kalangan pria generasi 1990-an. Bagi cewek masa itu ia juga punya panggilan akrab: Mas Nunu.

Selepas Speed, lompatan karier "Mas Nunu" berikutnya adalah The Matrix (1999). Film garapan Wachowski Bersaudara itu dianggap mendefenisi ulang film fiksi ilmiah. The Matrix membuat prekuel Star Wars garapan George Lucas yang rilis di tahun yang sama terlihat seperti mainan anak-anak. The Matrix, di lain pihak, mengawinkan filsafat Timur dan Barat serta fiksi ilmiah. Belum lagi efek khususnya macam "bullet time" yang terus dikenang hingga kini.

Keanu Reeves di film The Matrix (1999).

Berkat The Matrix dan dua film lanjutannya, The Matrix Reloaded (2003) dan Revolutions (2003), Keanu Reeves kian meneguhkan namanya sebagai aktor kelas wahid. Ia pun punya penggemar setia yang akan menonton filmnya. Tidak hanya itu, bagi banyak orang, namanya jadi jaminan kualitas film. Mereka percaya, ia tak mungkin main film jelek.

Nah, mereka ini yang lalu kecewa dan merasa tertipu usai nonton Knock Knock. Sebelum main di film yang masih edar di bioskop ini, Reeves berakting di John Wick. Yang sudah nonton pasti sepakat, John Wick film keren. Aktingnya sebagai bekas pembunuh bayaran yang terpaksa turun gunung lagi begitu sempurna.

Di John Wick, pria kelahiran 2 September 1964 di Beirut, Lebanon ini tampil berwibawa selayaknya aktor kawakan. John Wick kemudian dianggap pencapaian Reeves berikutnya selepas Speed dan The Matrix.

Tampang Reeves di Knock Knock potongannya persis di John Wick. Nuansa gelap di posternya pun bakal bikin orang mengira Knock Knock seasyik John Wick. Ini yang bikin orang makin tertipu.

Sekali lagi, saya belum nonton Knock Knock. Jadi tak adil bila saya ikut bilang filmnya jelek. Tapi saya percaya pada yang dibilang kawan-kawan saya kalau filmnya jelek. Maka, yang menarik untuk saya telisik justru ini: bagaimana agar Anda tak tertipu lagi dengan film jelek?

Keanu Reeves memainkan sosok John Wick yang merupakan seorang mantan pembunuh bayaran.

Sebelum menjawab pertanyaan di atas, mari kita bicara dulu apa itu film "jelek". Sebagai kata sifat, "jelek" (dan juga "bagus") ukurannya relatif dan sangat subjektif. Persepsi orang akan sebuah film dikatakan jelek (atau bagus) bisa berbeda-beda. Hal ini sangat tergantung dengan tingkat intelektualitas serta akal budi maupun nilai-nilai yang dianut seseorang.

Misal, saya pernah mengirim surat elektronik pada kritikus film Eric Sasono tahun lalu membincangkan film jelek dan bagus menurut ukuran seorang film maker alias sineas. Sebelum menjelaskan panjang lebar, ia menulis, "Ukuran film buruk adalah film yang nggak ngasih banyak pengalaman baru dalam menonton. Artinya, film itu (filmmakernya) memakai teknik-teknik yang sudah ketebak, basi dan mengulang terus menerus."

Hm, jadi seorang kritikus film mencari sesuatu yang baru saat menonton. Jika ia mendapati hal-hal yang formulaic, yang serba mudah ditebak dan basi, biasanya si kritikus tak suka filmnya.

Namun justru yang formulaic itu yang kerap disajikan sineas. Sebab, para sineas percaya, menyuguhkan bahasa tutur yang sudah dipahami penonton akan lebih aman. Risiko filmnya diemohi penonton jadi lebih kecil. Menyuguhkan karya yang "beda" bakal terasa seperti berjudi. Para produser lebih percaya asumsi di kepala mereka: penonton kebanyakan justru bakal menyukai film-film yang bahasa tuturnya sudah mereka akrabi sebelumnya.

Sampai di sini kita mendapati ukuran bagus dan jelek antara kritikus dan penonton kebanyakan bisa sangat berbeda. Jika demikian adanya, lalu bagaimana agar kita tak tertipu film jelek?


Trik Agar Tak Tertipu di Bioskop

Transformers 4: Age of Extinction.

Yang harus dipahami terlebih dahulu, sekarang bukan eranya lagi seorang aktor jadi jaminan sebuah film berkualitas atau tidak. Pun juga, seorang aktor bukan lagi jaminan film sukses di box office.

Sejak Hollywood kian gandrung bikin film blockbuster yang mengandalkan efek khusus dahsyat, jagoan sebenarnya sebuah film adalah para ahli komputer yang bikin efek-efek tersebut. Robert Downey Jr. jadi aktor paling menguntungkan buat studio filmnya bukan semata karena ia paling pas jadi Iron Man, melainkan juga film Iron Man sendiri dibuat spektakuler oleh Marvel Studios.

Seorang Aktor dengan predikat "A" besar bisa terpeleset main film yang tak disukai penonton. Contoh jelas untuk ini adalah Tom Cruise. Sebelum meraih sukses lagi tahun ini lewat Mission: Impossible 5, film-film duda Katie Holmes ini tak terlalu baik di box office.

Bukan Tom Cruise, tapi bintang utama film ini adalah kisahnya yang membuat penontonnya merasa disuguhi tontonan cerdas.

Film-film Cruise dari 2008 hingga 2013--Valkyrie (2008), Knight and Day (2010), Jack Reacher (2012), atau Oblivion (2013)--tak berhasil mencapai USD 100 juta di Amerika. Edge of Tomorrow yang disukai kritikus pun tak terlalu disukai masyarakat kebanyakan.

Hal di atas sepatutnya jadi patokan Anda untuk tak lagi mengandalkan sang bintang sebagai pertimbangan pertama sebelum nonton film.

Pertanyaannya kemudian, bagaimana mengenali film jelek walaupun yang main bintang idola?

Paling mudah mencari tahu reputasi filmnya dulu di dunia maya. Di AS sana ada laman macam Metacritic dan RottenTomatoes yang mengumpulkan sekumpulan pendapat kritikus film atas sebuah film. Film yang dapat skor tomat busuk alias "rotten" bila terdapat kurang dari 59 persen kritik yang suka. Film yang dapat skor segar alias "fresh" bila disukai oleh lebih dari 60 persen kritikus. Sedang yang dapat predikat sertifikat dijamin segar atau "certified fresh" adalah yang disukai 75 persen atau lebih.

Sekali lagi, kebanyakan kritikus punya pandangan elitis dalam memandang film baik dan buruk. Bagi kebanyakan kritikus misalnya, Transformers 4 atau Transformers: Age of Extinction (2014), masuk kategori film buruk. Di Rotten Tomatoes skornya 18 persen. Namun toh bagi kebanyakan orang di seluruh dunia film tersebut disukai. Hal ini terlihat dari raihan uang dari film tersebut di seluruh dunia, yakni USD 1,1 miliar setara Rp 14,9 triliun.

Transformers dan G.I. Joe sendiri awalnya merupakan produk mainan Hasbro yang sudah difilmkan dan diadaptasi ke berbagai komik dan animasi.

Intinya, yang hendak saya katakan, Anda boleh percaya atau tidak dengan omongan kritikus. Toh tugas mereka, antara lain adalah memberi penilaian dan petunjuk agaar Anda tak tertipu sebelum nonton ke bioskop.

Oh iya, ada satu hal tambahan yang bisa juga jadi petunjuk kecil sebuah film jelek terkait kritikus dan studio film. Di Hollywood sana, tentu lazim studio mempertontonkan filmnya lebih dulu pada kritikus. Namun, kalau pihak studio merasa kurang percaya diri dengan filmnya (baca: menurut mereka filmnya juga jelek), para kritikus bakal dilarang mengulas filmnya sebelum rilis. Sebab, kritik buruk sebelum film edar sama saja dengan promosi buruk.

Petunjuk lain mengenali film buruk dari trailernya. Di dunia maya bertebaran petunjuk macam begini. Trailer sejatinya adalah iklan dari sebuah film. Iklan berfungsi mengajak konsumen tertarik pada produk yang diiklankan.

Trailer yang mengindikasikan filmnya buruk bisa ditelisik dari apa yang disuguhkannya. Misal, jika menemukan trailer yang menunjukkan poin-poin kunci filmnya, Anda patut waspada. Itu berarti sineasnya sendiri tak pede dengan filmnya sampai di trailer pun harus dijelaskan cerita filmnya.

Petunjuk lain dari trailer, waspada pula dengan film yang di trailernya menyebut "From the Producer of..." atau "From the People Who Brought You..." Anda harus paham, dalam hirarki pembuatan film tugas produser bukan yang sehari-sehari menggawangi sebuah film. Itu tugas sutradara. Sedangkan jika di trailernya sineas tak menyebutkan nama pembuatnya, berarti mereka juga tak percaya diri.

Adegan film Knock Knock. (dok. istimewa)

Selain melihat ulasan di luar negeri atau lihat trailernya, yang paling utama agar tak tertipu dengan film jelek adalah percaya pada teman yang sudah nonton.

Jika Anda punya teman yang bilang sebuah film A jelek, Anda sepatutnya percaya padanya. Toh dia teman Anda. Jarang ada orang yang ingin temannya kena tipu, termasuk urusan nonton film.

Oke bagaimana kalau kondisinya seperti ini: belum ada media yang mengulas filmnya, trailernya tampak menjanjikan, dan belum ada juga teman yang sudah nonton duluan, apa kita bisa tertipu oleh sebuah film di bioskop?

Hm, jika begitu sih mungkin sekali. Namun saya sejak dulu percaya, menonton film baik ataupun jelek, sama manfaatnya. Film baik mengajarkan kita banyak hal, tentu. Tapi untuk tahu sebuah film baik, kita juga tak boleh menutup diri dengan tontonan jelek.

Jadi, tak mengapalah sesekali kita tertipu nonton film jelek. Dari situ kemampuan kita menganalisis film bisa makin terasah.** (Ade/Fir)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya