Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah Indonesia mesti mengkaji kembali rencana kerja sama internasional Trans Pacific Partnership (TPP). Kerja sama tersebut dikhawatirkan akan bertentangan dengan cita-cita pemerintah untuk mewujudkan Nawacita.
Ekonom yang juga menjadi Rektor di Universitas Paramadina, Firmansyah mengatakan, Trans Pacific Partnership bakal berbenturan dalam poin Nawacita yang isinya pemerintah selalu hadir dengan membangun tata kelola pemerintah yang bersih, efektif, demokratis dan terpercaya.
Sementara, kerja sama Trans Pacific Partnership sendiri menurut dia lebih tertutup. Sehingga, tak mencerminkan demokrasi dalam nawacita.
TPP tidak pernah melibatkan selain korporasi besar. Di Singapura dan Jepang, New Zealand, Chili bahkan di Amerika sendiri. Pentupan akses negosiasi di TPP tak mencerminkan demokrasi," kata dia dia Jakarta, Jumat (6/11/2015).
Baca Juga
Advertisement
Dia bilang, hal tersebut berbeda dengan Asia-Pacific Economic Cooperation (APEC) yang mana dalam kerja sama ini melibatkan perguruan tinggi, unsur kepemudaan, NGO dan menyangkut kehidupan orang banyak.
Tak sekadar itu, TPP juga menghalangi terwujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakan sektor strategis ekonomi domestik dalam nawacita. "Kebijakan mendorong ini menjadi persoalan, ketika menjadi TPP. BUMN harus diberlakukan seperti swasta nasional dan asing," tuturnya.
Dia menekankan, pemerintah harus mengkaji ulang untuk masuk TPP. "Saya menyarankan task force untuk menghitung cost and benefit jika Indonesia di TPP," tandas dia.
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo mengeluarkan wacana agar Indonesia bisa bergabung dengan TPP. Wacana tersebut diungkapkan saat bertemu dengan Presiden Amerika Serikat (AS) Barack Obama.
Pihak Istana saat ini masih melakukan kajian untuk bergabung dengan Trans Pasific Partnership. Sebab menurut Sekretaris Kabinet Pramono Anung, untuk masuk ke TPP daya saing harus kuat. Sebab Indonesia akan menghadapi sebuah pasar yang sangat terbuka.
"Terakhir presiden telah memberikan arahan untuk dikaji secara mendalam, jadi apakah nanti waktunya dan kapan bergabung tentu perlu pengkajian mendalam," kata Pramono.
Pramono mengatakan, untuk memperkuat ekonomi, Presiden Joko Widodo sudah mengeluarkan 5 paket kebijakan. Dengan paket kebijakan itu, kata Pram, Indonesia menjadi sahabat bagi para investor.
Kemudian, agar Indonesia siap bersaing, maka pemerintah juga mengedepankan pembangunan infrastruktur. Hal ini dapat membuka kesempatan pasar sehingga lebih terbuka. "Nanti tidak ada lagi Jawa sentris," ujar dia.
Jika semua kebijakan ini dapat berjalan dengan baik, kata Pram sehingga terjadi efisiensi, maka Indonesia siap bertarung di kompetisi pasar global.
"Ekonomi dunia akan sangat terbuka, oleh karena itu lebih baik kita mempersiapkan sejak sekarang daripada nanti tertinggal," ujar Pramono. (Amd/Gdn)