Liputan6.com, Jakarta - Institute for Development of Economics and Finance (Indef) meminta pemerintah untuk mengkaji kembali keikutsertaannya dalam kerja sama internasional Trans Pacific Partnership (TPP). Lantaran, kerjasama tersebut cenderung merugikan.
Peneliti Indef Bhima Yudhistira Adhinegara menerangkan, TPP cenderung merugikan karena poin kerja sama tersebut lebih tertutup. Berbeda dengan kerja sama lain seperti Comprehensive Economic Partnership (RCEP) yang perundingannya lebih terbuka.
Dari segi ketentuan lebih lunak. Dalam TPP ada penghapusan tarif ekspor impor. Berbeda dengan dengan RCEP dengan penghapusan tarif ekspor impor sebesar 65 persen.
"Penghapusan tarif ekspor impor. Di TPP ada 100 persen tarif secara bertahap. TPP jauh liberal dari RCEP," ujar Bhima, Jakarta, Jumat (6/11/2015).
Baca Juga
Advertisement
Dia menegaskan, TPP cenderung menyudutkan Indonesia. Lantaran pemberlakuan yang sama antara perusahaan BUMN dan perusahaan lain termasuk asing. Hal ini perlu menjadi perhatian karena dapat menghantam BUMN.
"Perlakuan sama antara BUMN dan swasta artinya free fight market tanpa subsidi harga atau subsidi kebijakan menganakemaskan BUMN. Bukan hanya BUMN bertarung swasta nasional tapi perusahaan multinasional yang jelas kapasitas modal dan SDM lebih unggul," ujar Bhima.
Tak berhenti di situ, dalam TPP juga terdapat liberalisasi akses internet. Hal ini mengancam kedaulatan RI."Liberasi akses internet, perusahaan yang di bidang internet kemudian dari segi akses tidak harus punya kantor," tandas dia.
TPP saat ini diikuti oleh 12 negara, yakni Brunei, Cile, Selandia Baru, Singapura, Amerika Serikat, Australia, Kanada, Jepang, Malaysia, Meksiko, Peru, dan Vietnam. Kesepakatan TPP itu dicapai pada 5 Oktober 2015.
Kesepakatan tersebut akan membentuk 40 persen dari ekonomi dunia.Kesepakatan dalam perjanjian TPP ini untuk menekan hambatan perdagangan barang dan jasa serta menetapkan peraturan komersial. Hal ini untuk meruntuhkan tarif dan kuota impor.(Amd/Ahm)