Liputan6.com, Batam - Terungkapnya dugaan keterlibatan sebuah keluarga kelas menengah di Batam, Provinsi Kepulauan Riau, yang bergabung dengan kelompok militan ISIS di Suriah, menunjukkan bahwa masalah ekonomi bukanlah satu-satunya faktor yang menjadi daya tarik.
Juru bicara Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Irfan Idris mengatakan, latar belakang keluarga berinisial DJW yang menjabat sebagai direktur di Badan Pengusahaan Kawasan Batam semakin menguatkan dugaan bahwa yang direkrut ISIS bukan orang-orang bodoh.
Advertisement
"Apa yang terjadi di Batam merupakan contoh bahwa mereka bergabung ISIS lebih didasari ideologi. Jadi, motif ekonomi tidak sepenuhnya benar," kata Irfan Idris kepada wartawan BBC Indonesia, Jumat 6 November 2015 petang, seperti dikutip dari BBC, Sabtu (7/11/2015).
Keluarga Batam, DJW bersama istri dan anak-anaknya dilaporkan diduga telah bergabung dengan kelompok militan ISIS melalui Turki.
Mengutip keterangan sejumlah pejabat di Badan Pengusahaan (BP) Kawasan Batam, DJW tidak pernah masuk kerja semenjak mengambil cuti pada Agustus lalu. Sebelumnya, Kapolri Jenderal Polisi Badrodin Haiti mengatakan sudah mengetahui informasi bahwa Direktur Pelayanan Terpdadu Satu Pintu (PTSP) Badan Pengusahaan Kawasan Batam, DJW, diduga bergabung dengan ISIS di Suriah.
"Sudah ditelusuri, dari Densus 88 Mabes Polri sudah turun. Beberapa orang sudah diambil keterangan," kata Badrodin, Kamis 5 November 2015 di Jakarta.
Lebih lanjut Irfan Idris mengatakan, dugaan bergabungnya DJW dan keluarganya di Batam dengan kelompok militan ISIS di Suriah tidak menutup kemungkinan juga terjadi di daerah lain di Indonesia.
Ketika ditanya berapa jumlah WNI yang diperkirakan telah bergabung dengan kelompok militan tersebut, Irfan tidak berani berspekulasi.
"Angkanya bisa lebih besar atau kurang dari 500 WNI yang diungkap Badan Intelijen Nasional (BIN)," beber Irfan. Hal ini dia tekankan karena jalan masuk yang dipergunakan WNI untuk berangkat ke Suriah atau Irak tidak satu pintu.
"Terungkap bergabungnya Wildan Mukhollad dari Jatim yang bergabung dengan ISIS, ternyata dia masuk lewat Mesir. Selama ini kan yang disebut pintu masuknya lewat Turki," kata dia.
Wildan Mukhollad, warga Lamongan, Jatim, diketahui telah tewas di Irak dalam peristiwa bom bunuh diri pada awal 2014.
Kelemahan Hukum
Irfan Idris kembali menegaskan, otoritas hukum Indonesia tidak bisa menindak WNI yang mendukung ISIS karena tidak ada dasar hukum yang mengaturnya. Dia kemudian memberikan contoh ketika aparat keamanan tidak dapat melakukan upaya hukum terhadap seorang pria bernama Cep Hemawan di Cianjur, Jawa Barat, yang mengaku ditunjuk sebagai pimpinan ISIS di Indonesia.
"Dia mengaku sudah mengumpulkan banyak uang lalu merekrut ratusan orang untuk dikirim ke Suriah atau Irak. Tapi kita tidak menindaknya secara hukum, karena tidak ada dasar hukumnya," ungkap Irfan.
Pada Juli 2015, otoritas Australia juga mengungkap dugaan keterlibatan satu pilot Indonesia yang mendukung dan bergabung dengan ISIS di Suriah. Akan tetapi aparat Indonesia hanya bisa "mengawasinya".
"Karena itulah, BNPT saat ini lebih memperkuat upaya pencegahan, dengan prioritas kepada generasi muda agar tidak mengikuti ideologi ISIS," imbuh Irfan.
Walaupun demikian, sejauh ini di Pengadilan Negeri Jakarta Barat sudah digelar persidangan terhadap sejumlah warga Indonesia yang diduga sebagai simpatisan atau anggota ISIS.
Mereka dijerat dengan UU Anti-terorisme dengan ancaman hukuman maksimal 15 tahun pidana penjara. Mereka diketahui antara lain berasal dari Malang, Solo, dan Tulungagung. (Tnt/Sun)*