Liputan6.com, Jakarta - Jika ada yang menyebutkan nama Abdul Muis, mungkin yang pertama terlintas di pikiran kita adalah novel Salah Asuhan. Benar, novel itulah yang membuat namanya terkenal. Tak hanya dijadikan bahan pelajaran di sekolah-sekolah, Salah Asuhan juga sudah diangkat ke layar lebar.
Namun, Salah Asuhan bukan satu-satunya karya Abdul Muis. Bahkan, dia tak hanya seorang sastrawan, melainkan juga seorang wartawan dan pejuang di zamannya. Hebatnya lagi, 2 bulan setelah meninggal dunia, Abdul Muis ditetapkan pemerintah sebagai Pahlawan Nasional. Inilah kali pertama penetapan pahlawan nasional yang kemudian menjadi tradisi.
Advertisement
Abdul Muis atau Abdoel Moeis lahir pada 3 Juni 1883 di Sungai Puar, Bukittinggi, Sumatera Barat. Ia adalah putra Datuk Tumenggung Lareh. Seperti halnya orang Minangkabau, Abdul Muis juga memiliki jiwa petualang yang tinggi. Sejak remaja, ia sudah meninggalkan kampung halaman untuk merantau ke Pulau Jawa. Bahkan, masa tuanya dihabiskan di perantauan.
Abdul Muis lulusan Sekolah Eropa Rendah (Eur. Lagere School atau yang sering disingkat ELS). Ia juga pernah belajar di Stovia selama 3,5 tahun (1900--1902). Namun karena sakit ia keluar dari sekolah kedokteran tersebut.
Kemampuan Berbahasa Belanda
Meskipun hanya berijazah ujian ambtenar kecil (klein ambtenaars examen) dan ELS, Abdul Muis memiliki kemampuan berbahasa Belanda yang baik. Bahkan, menurut orang Belanda, kemampuannya dalam berbahasa Belanda melebihi rata-rata orang Belanda.
Karena itu, begitu keluar dari Stovia, ia diangkat Mr Abendanon, Directeur Onderwzjs (Direktur Pendidikan) di Departement van Onderwijs en Eredienst yang membawahi Stovia, menjadi klerk (pekerja kantoran). Padahal, pada waktu itu belum ada orang prihumi yang diangkat sebagai klerk. Abdul Muis merupakan orang indonesia pertama yang dapat menjadi klerk.
Pengangkatan Abdul Muis itu tidak disukai oleh pegawai Belanda lainnya. Hal itu membuat Abdul Muis tidak betah bekerja. Pada 1905 ia keluar dari departemen itu setelah bekerja selama lebih kurang 2,5 setengah tahun (1903-1905).
Setelah berhenti, Abdul Muis sempat menekuni berbagai macam pekerjaan, baik di bidang sastra, jurnalistik maupun politik. Pada 1905, ia diterima sebagai anggota dewan redaksi majalah Bintang Hindia, sebuah majalah yang banyak memuat berita politik di Bandung.
Karena pada 1907 Bintang Hindia dilarang terbit, Abdul Muis pindah kerja ke Bandungsche Afdeelingsbank sebagai mantri lumbung. Pekerjaan itu ditekuninya selama 5 tahun, sebelum ia diberhentikan dengan hormat (karena cekcok dengan controleur) pada 1912.
Ia kemudian bekerja di De Prianger Bode, sebuah surat kabar harian Belanda yang terbit di Bandung, sebagai korektor. Dalam tempo 3 bulan ia diangkat menjadi hoofdcorrector (korektor kepala) karena mempunyai kemampuan berbahasa Belanda yang baik.
Ke Panggung Politik
Pada 1913 Abdul Muis keluar dari De Prianger Bode. Sebagai pemuda yang berjiwa patriot, ia mulai tertarik pada dunia politik dan masuk ke Serikat Islam (SI). Bersama dengan mendiang A.H. Wignyadisastra, ia dipercaya memimpin Kaum Muda, salah satu surat kabar milik SI yang terbit di Bandung.
Pada tahun itu, atas imsiatif dr Cipto Mangunkusumo, Abdul Muis (bersama dengan Wignyadisastra dan Suwardi Suryaningrat) membentuk Komite Bumi Putra untuk mengadakan perlawanan terhadap Belanda.
Pada zaman pergerakan, bersama dengan H.O.S. Cokroaminoto, Abdul Muis berjuang memimpin Serikat Islam. Pada 1917, ia dipercaya sebagai utusan SI ke negeri Belanda untuk mempropagandakan Comite Indie Weerbaar.
Di Belanda dia membicarakan masalah pertahanan bagi Indonesia sehubungan dengan terjadinya Perang Dunia I. Selain itu, ia mempengaruhi tokoh-tokoh Belanda agar di Indonesia didirikan sekolah teknik. Beberapa tahun kemudian di Bandung berdiri Technische Hooge School (sekarang Institut Teknologi Bandung atau ITB).
Pada 1918, sekembalinya dari Belanda, Abdul Muis pindah bekerja ke harian Neraca karena Kaum Muda telah diambil alih oleh Politiek Economische Bond, sebuah gerakan politik Belanda di bawah pimpinan Residen Engelenberg. Pada tahun yang sama Abdul Muis menjadi anggota dewan Volksraad (Dewan Rakyat Jajahan).
Perjuangan Abdul Muis ternyata tidak hanya berhenti sampai di situ. Bersama dengan tokoh lainnya, dia terus berjuang menentang penjajah Belanda. Pada 1922, misalnya, ia memimpin anak buahnya yang tergabung dalam PPPB (Perkumpulan Pegawai Pegadaian Bumiputra) mengadakan pemogokan di Yogyakarta.
Setahun kemudian, ia memimpin sebuah gerakan memprotes aturan landrentestelsel (Undang-Undang Pengawasan Tanah) yang akan diberlakukan oleh Belanda di Sumatra Barat. Protes tersebut berhasil. Landrentestelsel pun urung diberlakukan.
Di samping itu, ia juga masih tetap memimpin harian Utusan Melayu dan Perobahan. Melalui kedua surat kabar tersebut ia terus melancarkan serangan.
Mendirikan Surat Kabar
Oleh pemerintah Belanda tindakan Abdul Muis tersebut dianggap dapat mengganggu ketenteraman dan ketertiban masyarakat. Pada 1926 Abdul Muis ‘dikeluarkan’ dari wilayah luar Jawa dan Madura. Akibatnya, selama lebih kurang 13 tahun (1926-1939) ia tidak boleh meninggalkan Pulau Jawa.
Meskipun begitu, tidak berarti Abdul Muis berhenti berjuang. Ia kemudian mendirikan harian Kaum Kita di Bandung dan Mimbar Rakyat di Garut. Namun, kedua surat kabar tersebut tidak lama hidupnya.
Di samping berkecimpung di dunia pers, Abdul Muis tetap aktif di dunia politik. Pada 1926 Serikat Islam mencalonkan dia dan terpilih menjadi anggota Regentschapsraad Garut. 6 Tahun kemudian (1932) ia diangkat menjadi Regentschapsraad Controleur. Jabatan itu diembannya hingga Jepang masuk ke Indonesia.
Karena sudah merasa tua, pada 1944 Abdul Muis berhenti bekerja. Namun, pada era setelah Proklamasi, ia aktif kembali dan ikut bergabung dalam Majelis Persatuan Perjuangan Priangan. Bahkan, ia pernah pula diminta untuk menjadi anggota DPA.
Populer karena Salah Asuhan
Dengan beragam liku jabatan yang diemban, tetap saja nama Abdul Muis lebih lekat sebagai sastrawan. Padahal, bakat kepengarangan Abdul Muis sebenarnya baru terlihat setelah ia bekerja di dunia penerbitan, terutama di harian Kaum Muda yang dipimpinnya.
Dengan menggunakan inisial nama A.M., ia menulis hanyak hal. Salah satu di antaranya adalah roman sejarah Surapati. Sebelum diterbitkan sebagai buku, roman tersebut dimuat sebagal cerita bersambung di harian Kaum Muda.
Sebagai sastrawan, Abdul Muis memang kurang produktif. Ia hanya menghasilkan 4 buah novel atau roman dan beberapa karya terjemahan. Namun, dari karyanya yang sedikit itu, Abdul Muis tercatat dalam sejarah sastra Indonesia.
Karya besarnya, Salah Asuhan dianggap sebagai corak baru penulisan prosa pada saat itu. Jika pada saat itu sebagian besar pengarang selalu menyajikan tema lama: pertentangan kaum tua dengan kaum muda, kawin paksa, dan adat istiadat, Salah Asuhan menampilkan masalah konflik pribadi: dendam, cinta, dan cita-cita.
Sastrawan, pejuang dan wartawan ini meninggal dunia di Bandung pada 17 Juni 1959 dalam usia 76 tahun. Jenazahnya dimakamkan di Taman Pahlawan Cikutra, Bandung. Ia meninggalkan 2 orang istri dan 13 anak.
Tak lama setelah Abdul Muis meninggal, pemerintah menetapkan dirinya sebagai Pahlawan Nasional yang pertama berdasarkan Kepres No. 218 Tahun 1959 tertanggal 30 Agustus 1959. Sejak itulah pemberian gelar Pahlawan Nasional menjadi tradisi, yang dimulai dari Abdul Muis. (Ado/Yus/dari berbagai sumber)