Liputan6.com, Jakarta Peran seorang penerjemah dalam setiap kunjungan kehormatan kepala negara sahabat ke Istana Kepresidenan RI atau perjalanan dinas orang nomor satu itu tidak bisa dianggap remeh. Kesalahan tafsir sedikit saja, bisa berakibat fatal dalam hubungan antarnegara, bahkan bisa memicu peperangan.
Setidaknya, seorang penerjemah untuk Presiden Republik Indonesia, harus mempunyai kemampuan yang super fasih dalam berbahasa Inggris dan memahami setiap istilah diplomasi serta mampu menerjemahkan ide dan kata-kata seorang Presiden dengan jelas.
Advertisement
Salah seorang penerjemah Istana Kepresidenan, Mohammad Iqbal Sirie, yang menjadi pengalih bahasa Presiden Jokowi yang terlibat dalam tiap kunjungan kenegaraan mengatakan, skor TOEFL lebih dari 650 atau standar kemampuan bahasa Inggris lainnya belum cukup untuk menjadi penerjemah Kepresidenan RI.
Seorang penerjemah atau interpreter, menurutnya harus menguasai ilmu komunikasi, dan kemampuan menyampaikan ide yang disampaikan Presiden agar tidak menyimpang dari ide dan maksud aslinya kepada pendengar.
"Itu saja tidak cukup. Kami dituntut benar untuk harus menguasai tiap kosa kata diplomasi, kami harus bisa menyampaikan ide atau sesuatu dalam bahasa yang dapat dimengerti oleh pendengar," tutur Iqbal saat ditemui Liputan6.com usai mendampingi Presiden Jokowi saat menerima kunjungan Presiden Finlandia Sauli Niisto di Istana Merdeka, 3 November 2015.
"Jadi, kemampuan itu yang diperlukan, kalau TOEFL itu bisa jadi faktor kesekianlah," tambah pria bernama lengkap Mohammad Iqbal Sirie.
Iqbal yang merupakan Pegawai Negeri Sipil (PNS) Kementerian Luar Negeri itu bercerita, sebelum menjalankan tugasnya sebagai penerjemah Presiden, dirinya lebih dulu harus mempelajari konteks pertemuan bilateral dan hal-hal apa yang akan disampaikan oleh Presiden kepada tamu kehormatan yang akan ditemui.
"Kami dari Kemlu, harus sudah mempelajari konteksnya sebelum pertemuan berlangsung. Kami juga wajib mempelajari konteks pertemuannya, dan istilah-istilah yang digunakan. Dan bahasanya memerlukan tafsiran tersendiri, mana yang harus ditekankan. Karena mungkin ada istilah-istilah teknis yang sulit dipahami, tapi itu bisa diatasi dengan memahami konteks," ucapnya.
Ia pun mengatakan, pemilihan kosakata diplomasi juga harus menjadi perhatiannya. Karena seberapa kuatnya pesan yang tersampaikan oleh pendengar tergantung dari bahasa yang dituturkan oleh penerjemah.
"Bagian mana yang harus dikuatkan. Atau hal mana yang menjadi penekanan itu juga harus diperhatikan. Dan tentunya ini perlu konsentrasi yang sangat tinggi," kata ayah satu anak itu.
Karena menuntut konsentrasi dan fokus yang tinggi, setiap bertugas, Iqbal selalu didampingi oleh satu atau dua rekannya sesama penerjemah. Bila dirinya merasa kelelahan atau gagal fokus, maka rekannya siap menggantikan posisinya.
"Ya mungkin saja kalo sudah terlalu panjang, dan pertemuan melelahkan, banyak isu substansitf yang dibahas, itu biasanya kepala panas, bisa saja ada blank sedikit. Makanya, perlu back up beberapa interpreter, paling sedikit dua orang," bebernya.
Iqbal sendiri merupakan diplomat muda yang telah berkarir di Kementerian Luar Negeri sejak tahun 2010. Sebelum turun ke lapangan menjadi penerjemah kepresidenan, pria lulusan Universitas Padjajaran jurusan Fakultas Hukum itu harus mengikuti pelatihan selama 2 tahun.
"Setelah masuk Kemlu, tahun 2012 saya mulai dilatih sebagai penterjemah, dan mulai dilibatkan dalam kegiatan Istana sejak 2014," ucapnya lagi.
Karena itu, selama berkarir di Istana, dirinya tidak hanya menjadi penerjemah Presiden Jokowi, namun juga sempat menjadi penerjemah Presiden SBY diakhir-akhir masa jabatannya.
"Saya sempat mengikuti Presiden SBY, dan saat ini mengikuti kegiatan kenegaraan Presiden Jokowi," tutup Iqbal. (Rie/Ado)