Liputan6.com, Jakarta Kadang kita suka berpikir kalau tak sengaja melakukan diskriminasi warna kulit, agama, jenis kelamin, sampai orientasi seksual di lingkungan kerja. Kampanye antidiskriminasi soal hal-hal tersebut sering dibahas, tapi sayang kita melupakan satu hal, yakni catatan riwayat penyakit seseorang.
Secara teknis melakukan diskriminasi atas penderita kanker di Amerika Serikat adalah ilegal. Tetapi studi terbaru yang dipublikasikan dalam Journal of Applied Psychology oleh Amerika Psychological Association mencatat, ada masalah yang benar-benar dialami penderita kanker tentang bagaimana mereka diperlakukan ketika wawancara kerja.
Baca juga
Advertisement
Dikutip dari AskMen, Selasa (10/11/2015), lima peneliti, dua laki-laki dan tiga wanita antara 21 hingga 29 tahun, sengaja mengirim penyamar agar berburu pekerjaan untuk 121 toko ritel di tiga pusat perbelanjaan besar di negara bagian selatan AS. Hasilnya menarik karena pengalaman bekerja bukan jadi tolak ukur untuk diterima di sana.
Para peserta kemudian dipilih secara acak untuk berpura-pura menjadi korban kanker. Mereka menuliskan 'penderita kanker yang berjuang' dalam riwayat hidup mereka dan mengenakan topi yang bertuliskan 'cancer survivor' di atasnya.
Ternyata hanya 21 persen dari mereka yang melamar sebagai penderita kanker menerima panggilan untuk wawancara. Sementara hampir 37 persen yang tidak mengaku menjadi penderita kanker mendapat panggilan lanjutan dari tempat kerja. Menurut para peneliti, perbedaan itu signifikan secara statistik.
"Pada dasarnya, orang-orang lebih cenderung untuk membeda-bedakan dengan cara interpersonal sangat halus," kata pemimpin dalam penelitian, Larry Martinez kepada Science Daily.
"Ada kontak mata yang dikurangi. Interaksi lebih pendek ketika berbicara dengan manajer. Ada perilaku interpersonal yang lebih negatif dari manajer, seperti mengerutkan kening, alis juga berkerut dan kurang senyum. Isyarat yang sedikit mengkomunikasikan kepada pelamar kalau mereka berminat untuk mempekerjakan mereka," pungkas Martinez.