Liputan6.com, Jakarta - Siapa tak kenal sosok si Pitung? Pahlawan tersohor di kalangan masyarakat Betawi ini sangat disegani pada zamannya. Bahkan, ia digambarkan sebagai 'Robin Hood Indonesia'.
Imej itu sangat melekat karena si Pitung hanya merampok harta milik orang kaya dan membagikannya ke masyarakat miskin yang kala itu terus tertindas oleh penjajahan kolonial Belanda.
Dalam beberapa catatan sejarah, Pitung memiliki nama asli Solihun, putra dari bang Piung dan Mpok Pinah yang lahir di kawasan Pengumben, Rawa Belong. Nama Pitung pun memiliki berbagai arti.
Dalam bahasa Sunda, Pitung diambil dari kata pitulung yang artinya 'penolong'. Sedangkan catatan lain menyebut Pitung berasal dari bahasa Jawa yang artinya kelompok tujuh. Pitung besar dan mendapat pendidikan di pesantren pimpinan H. Naipin yang juga seorang pedagang kambing.
Pendidikannya di pesantren membuat sosok Pitung terbentuk sebagai orang yang rendah hati dan muslim yang taat. Kemampuan bela dirinya pun didapat saat menimba ilmu di pesantren bersama H. Naipin.
Kemampuannya dalam bela diri rupanya dilirik sekawanan perampok. Pitung lalu ditawari untuk menjadi pemimpin kelompok rampok. Bersama Djiih dan Rais, Pitung mulai menyasar rumah si kaya dan tuan tanah yang kerap membelenggu petani dengan berbagai pajak yang dikenakan atas hasil pertanian mereka.
Baca Juga
Advertisement
Aksi Pitung akhirnya membuat pemerintah kolonial Belanda meradang. Dalam sejarah Belanda yang diluruskan oleh Margaret Van Till (1996) dari Hindia Belanda 1892, pemerintah Hindia Belanda melalui Schout (kepala kepolisian) membuat operasi penangkapan Pitung. Pencarian dilakukan di rumahnya di Tanah Abang. Akhirnya Schout pun berhasil menangkap Pitung bersama kawanannya di Kampung Kebayoran setelah pemerintah kepala kampung menerima 50 ringgit dari pemerintah Hindia Belanda.
Ilmu Rawa Rontek
Ilmu Rawa Rontek
Tak sampai setahun, Pitung dan Djiih berhasil kabur dengan bantuan penjaga penjara. Pitung hanya bermodal belincong (sejenis linggis) untuk membongkar atap dan mendaki dinding penjara.
Hal ini membuat pemerintah kolonial Belanda menghargai kepala Pitung senilai 400 gulden karena begitu sulit menangkapnya. Kesulitan itu tidak lepas dari ilmu kanuragan bernama Rawa Rontek yang dimiliki Pitung.
Disebutkan ilmu ini merupakan gabungan dari tarekat Islam dan jampe-jampe Betawi. Dengan ilmu ini Pitung bisa membuat lawannya seolah terhipnotis karena ilmu itu menyerap energi lawan. Lawan juga mengganggap seolah Pitung hilang, bahkan tubuh Pitung kebal tembusan peluru, kecuali peluru berbahan emas.
Selama menjalankan aksinya, Pitung selalu berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Salah satunya ke kawasan Marunda, Jakarta Utara. Rumah milik H. Safiudin itu dijadikan persinggahan oleh Pitung.
Mendengar Belanda terus menaikkan harganya, Pitung membuat perhitungan, yakni melakukan pencurian dengan kekerasan, termasuk dengan menggunakan sejata api. Kali ini Pitung dan Djiih membunuh intel bernama Dheram Latip. Mereka juga mencuri wanita pribumi bernama Mie. Pakaian laki-laki, pistol revolver, beserta pelurunya juga dirampas. Pitung juga membawa serta sarung bernilai ratusan gulden dari perahu.
Pemerintah Hindia Belanda lalu mendapat informasi Pitung berada di Kampung Bambu yang berada di antara Tanjung Priok dan Meester Cornelis. Pitung pun dengan cepat berpindah dan berhasil ditemukan di Tanah Abang. Di situlah baku tembak terjadi sampai akhirnya Pitung tertembak di dada. Ilmu tak lagi berfungsi karena Schout menggunakan peluru emas yang disiapkan oleh Belanda untuk melumpuhkan Pitung.
Advertisement
Hanya Legenda?
Hanya Legenda?
Hingga kini, keberadaan Pitung masih menjadi perdebatan. Ada yang menyebut ini sebagai legenda turun temurun yang sulit untuk dibuktikan kebenarannya. Ada pula yang menyebut keberadaan pahlawan Betawi itu memang benar-benar ada.
Ketua Komunitas Historia Asep Kambali pun menuturkan hal yang sama. Menurut dia, sampai saat ini belum ditemukan bukti otentik yang menunjukan sosok Pitung benar adanya dan bukan hanya sekadar legenda.
"Sejarawan senior dari UI segala macam juga terus mencari sampai sekarang belum ada yang menemukan. Saya juga sudah belasan tahun tidak menemukan itu," ujar Asep saat dihubungi Liputan6.com, Selasa (10/10/2015).
Dalam kacamatanya, Pitung hanyalah sebuah legenda pahlawan Betawi yang disampaikan turun temurun. Hanya saja, masyarakat tidak berusaha mencari fakta sejarah untuk membuktikan kebenaran legenda itu.
"Harusnya masyarakat juga belajar sejarah dan menelusuri, harusnya. Tapi masyarakat sekarang kan tidak serius. Bagi saya, Pitung itu legenda, layaknya Sangkuriang. Dicari sampai mana pun tidak akan ketemu," ujar Asep. (Mut/Sun)**