Liputan6.com, Jakarta Bayangkan ini hari Sabtu.
Anda dan beberapa teman sedang jalan di mall menghabiskan hari pertama dari libur akhir pekan. Kalian naik eskalator ke lantai paling atas dan melangkah ceria ke bioskop. Senyum manis
kepada satpam yang membukakan pintu. Dapat senyum manis dari mbak yang jaga tiket. Kemudian kamu bengong. Film yang tayang hari ini ada film aksi, komedi, komedi, aksi, horor, dan horor. Bingung.
Jika sudah begini, maka cara paling praktis adalah kalian memilah mana yang film luar, mana yang film Indonesia. Kelanjutan skenario tersebut gampang ditebak.
Film Indonesia selalu menderita jika dihadapkan dengan kondisi seperti di atas. Gugur ketika dihadapkan pada pilihan. Sederhananya tidak memberi kesempatan karena mereka merasa
yang ditawarkan oleh film Indonesia sudah pernah mereka lihat sebelumnya di film luar.
Sutradara Awi Suryadi yang sudah malang melintang di dunia film sejak 2005, punya pengalaman sendiri soal ini. "Contoh yang saya alami adalah Street Society (2014) dibilang meniru Fast
and Furious (2009)," ungkapnya dalam wawancara yang kami lakukan melalui surat elektronik.
“That statement is insulting really, and naive. Biasanya yang ngomong begitu malah belum nonton filmnya kok. Memangnya film yang melibatkan balapan cuma Fast and Furious? Lagian Fast and Furious kan film heist (perampokan), sedangkan Street Society itu film lifestyle anak muda, seperti Catatan si Boy (1987). Sayangnya banyak media disini yang meliput film lokal pun tanpa menonton filmnya terlebih dahulu. Statement seperti itu akhirnya jadi judul artikel, padahal menurut saya itu sangat ignorant.”
Baca Juga
Advertisement
Awi Suryadi terkenal dengan film Claudia/Jasmine (2008) yang punya penceritaan menarik tentang dua orang yang ternyata adalah satu. “Claudia/Jasmine is a special script. It's very personal. Saya tulis naskah itu tanpa deadline, tanpa pesanan produser or whatsoever. Sure I think as a script, it's still my best so far.”
Setelah film tersebut, Awi Suryadi sudah melahirkan banyak karya film lainnya. Dengan genre yang beragam pula. Namun, jujur saya katakan belum ada yang bisa menandingi kualitas
Claudia/Jasmine.
“Claudia/Jasmine jadi bumerang buat saya, karena setiap kali saya ada film baru, selalu ada saja yang membandingkan dengan Claudia/Jasmine.”
Sebagai sebuah produk, film tidak bisa menolak dari perbandingan. Dalam sejumlah hal, film bisa jadi butuh untuk dibanding-bandingkan. Sebagai tolak ukur pencapaian film itu sendiri.
Bagi film-film Awi Suryadi, tolak ukurnya adalah Claudia/Jasmine. Bagi film-film Indonesia, film Hollywood lah yang menjadi titik acuan. Dari situ, timbul apa yang kita kenal sebagai selera
pasar. Apa yang sedang digemari oleh penonton terpampang dalam angka-angka perolehan box office.
Tetapi apakah sesimpel itu?
“Selera pasar sangat susah ditebak. Film dari produser/sutradara/penulis bahkan pemain yang sama sekalipun bisa box office sebelumnya, tapi tidak laku sama sekali setelah itu. Tidak ada yang bisa menjamin sebuah film laku di Indonesia. Sejujurnya saya rasa belum ada filmmaker yang bisa menilik selera pasar penonton di sini secara pasti. Seorang pengamat film senior pernah dua kali memprediksi film saya akan tembus satu juta penonton, hasilnya tidak demikian. Tidak jarang terjadi seorang sutradara punya film yang box office tapi filmnya setelah itu sepi penonton.”
Horor yang Ditawarkan Badoet
Horor yang Ditawarkan Badoet
Dari situ muncul pertanyaan, sebenarnya seberapa penting faktor selera pasar di dalam pertimbangan membuat sebuah film?
“Pengalaman saya pribadi dan ini mungkin tidak sama dengan sutradara lain, selera pasar sangat berpengaruh dalam pembuatan film. Nah yang menebak selera pasar ini adalah si produser.
Jadi ketika saya dipanggil untuk pembuatan sebuah film, meskipun belum ada cerita/naskah sekalipun, produser sudah tau mau buat film seperti apa. Saya sebagai sutradara di-hired untuk
membuat film yang menurut produser cocok dengan selera pasar. Tentunya saya diberi kebebasan untuk memvisualisasikan dengan gaya saya. Jadi dari pengalaman lima belas film yang sudah saya buat, yang lebih banyak menentukan adalah selera pasar,” urai sutradara yang mengawali karier menyutradarai Gue Kapok Jatuh Cinta (2006) bersama Thomas Nawilis.
Selain punya selera, pasar juga punya pilihan. Masalahnya adalah cara menarik minat penonton untuk mau memberikan kesempatan kepada sebuah film. Kesan pertama diperlukan dalam
hal ini. Karena ceritanya yang berbeda dengan film terkenal tersebut tidak akan pernah diketahui oleh penonton jika sekali lihat poster atau judulnya saja penonton sudah tidak tertarik
karena terlihat ‘meniru’.
Solusinya bagi Awi cuma satu. “Yang pasti semua film laku di Indonesia memiliki satu persamaan: promosi yang gencar. Untuk mendapatkan penonton di hari pertama, hanya dengan promo yang gencar, karena saat itu calon penonton belum tahu film kita bagus apa tidak. Setelah mereka putuskan untuk beli tiket karena tertarik dengan promonya, baru mereka nonton dan lihat
film kita bagus (atau tidak). Kalau menurut mereka bagus, jumlah penonton akan naik di hari selanjutnya.”
Film terbaru Awi Suryadi, Badoet rilis pekan kemarin. Horor yang diperankan oleh Marcel Chandrawinata, Ratu Felisha, Daniel Topan, Aurelie Moeremans, dan Tiara Westlake
ini mendapat sambutan positif dari komunitas penggemar horor internet, ModernHorrors, yang berbasis di Amerika.
“Saya sangat bersyukur atas tanggapan positif dari luar, yang sekarang Alhamdulilah berlanjut ke beberapa inquiries serius dari tiga production/distribution company di Amerika. Mereka
[mengirim] e-mail menanyakan kemungkinan Badoet tayang di negara-negara lain ataupun remake. This is really huge for us.”
“Bentuk ‘setan’ nya nggak tipikal seperti film horor lokal yang lain. Treatment kamera, editing dan musik juga lebih modern. Kita juga nggak ‘murahan’ dengan menampilkan penampakan
ditambah sound effect yang berlebihan setiap beberapa menit sekali. Setiap penampakan di film ada alasan dan tujuannya.”
Awi menjelaskan kenapa film ini wajib ditonton oleh penggemar film. Awi juga sedikit memperingatkan. “Tidak dianjurkan untuk anak kecil karena some scenes are pretty graphic. Tapi
untuk pecinta film horor/thriller dan yang pacaran ke bioskop, they will enjoy the ride most definitely.”
Badoet terlihat menjanjikan. ModernHorrors bahkan membahas trailer film ini dalam salah satu episode podcast mereka. Awi tidak begitu mengkhawatirkan komentar-komentar yang
mengatakan Badoet terlihat sama dengan Stephen King’s It (1990) maupun Twisty dalam American Horror Story: Freakshow (2014).
Sebelum menulis Badoet, Awi mengaku malah menonton lagi film dan serial tersebut sehingga Awi bisa memastikan, “Background story-nya si Kapten Cilukba (badut di film Badoet) tidak ada kesamaan sama sekali dengan Pennywise ataupun Twisty.”
Dari desain karakter, Awi merasa sudah membuatnya berbeda-tidak meniru karakter tertentu, “Yah kalau ada yang bilang mirip atau ngingetin, namanya juga sama-sama badut.
Setelah film It, masih banyak film horor/thriller dengan karakter badut kan? Selain James Bond toh banyak juga film dengan karakter spy? Bahkan film dengan cerita ikan hiu juga bukan
cuma Jaws kan?”
Meski mendapat tanggapan positif di luar, realitanya Awi tidak berani berasumsi Badoet akan mendapat sambutan yang sama di Indonesia. Karena sekali lagi, “Selera pasar tidak bisa ditebak.”
Lima belas film sudah dihasilkannya namun Awi lantas tidak menampik bahwa Claudia/Jasmine memang adalah salah satu dari filmnya yang dibuat tanpa pertimbangan selera pasar atau
tanpa mengikuti apa yang lagi ngetren pada saat itu. Orisinil, dengan kata lain.
Street Society, menurutnya, juga mungkin termasuk dalam kategori tersebut. Masalahnya adalah, film bukan pekerjaan satu orang. Membuat film berarti melibatkan banyak pihak. Ada pembagian tugas, ada kerja sama, ada kesepakatan.
Awi mengemukakan, “It's harder to get it (cerita orisinil) made into a film. And I enjoy directing more than writing. Jadi saya memilih untuk lebih produktif membuat film.”
Pria yang pernah dinominasikan sebagai Suradara Terbaik FFI 2010 ini juga sempat bertutur tentang beberapa film buatannya yang, jika diberi kesempatan, ingin dia buat ulang. “Hmm
bukan gak suka sih, but I know I could do them a lot better. I would remake Gue Kapok Jatuh Cinta (2006) and Loe Gue End (2012). Gue Kapok Jatuh Cinta adalah film pertama saya. I had a
fight with my cinematographer dan sejak hari kedua syuting, saya dan dia tidak komunikasi sama sekali. (Don't worry, we're fine now haha). So it was like the whole movie was shot with
someone else's eyes. I shouldn't let that happen."
“Kalau di Loe Gue End, I should've fought harder during script development. I wanted it to be a pure drug movie, like Trainspotting (1996), tanpa embel-embel (spoiler alert!) astral projection.
I didn't convince my producer enough,” kenangnya.
“Tapi setiap film adalah proses pembelajaran, I honestly think I'm a better filmmaker now than I was when I made Claudia/Jasmine. Dari pencapaian lainnya, artistik dan sinematografi
misalnya, film saya yang lain banyak yang lebih baik.”
Dan untuk film Badoet, Awi melanjutkan, “Saya beruntung produser memberikan kebebasan dan mendukung visi saya sepenuhnya di film ini. Jadi bagi penonton yang suka film-film saya dan gaya visual/storytelling saya, saya jamin Badoet adalah salah satu karya terbaik saya.”
Nah, sekarang bayangkan kembali skenario kita tentang nonton ke bioskop di awal tadi. Coba berikan sedikit ‘twist’ ke dalamnya. Alih-alih ikut setuju nonton film barat, kamu memandang
lekat-lekat poster film Indonesia. Membaca judulnya. Apa yang ditakutkan? Dan kalian bisa jadi akan berakhir sebagai orang-orang yang membuktikan sendiri apakah Kapten Cilukba pantas jadi teman Twisty dan Pennywise atau tidak.**
*Arya Pratama Putra, pegiat di komunitas Forum Film Indonesia, Group LINE Forum Film Indonesia
(Ary/Ade)
Advertisement