Liputan6.com, Jakarta - Penggunaan renminbi (RMB) atau yuan dalam transaksi perdagangan Indonesia dan China, selain dolar Amerika Serikat (AS) pada tahun depan akan mengganggu neraca perdagangan Indonesia ke depan. Apalagi dampak dari devaluasi Yuan terhadap harga produk China diperkirakan terasa di tahun depan.
Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa Badan Pusat Statistik (BPS), Sasmito Hadi Wibowo mengatakan, nilai atau kurs renminbi sudah melemah sehingga harga barang atau produk asal China semakin lebih murah. Harga barang murah ini tentu kian dilirik masyarakat Indonesia.
"Kita makin senang beli barang murah. Nah beratnya di situ, untuk menyeimbangkan neraca dangan kita dengan China karena produk mereka akan jauh lebih murah," tutur Sasmito saat ditemui di kantor BPS, Jakarta, Senin (16/11/2015).
Sayangnya, Sasmito mengatakan, kondisi kurs rupiah terhadap dolar AS sedang mengalami penguatan sehingga berpotensi mengganggu kinerja ekspor Indonesia ke Negeri Tirai Bambu, maupun ke negara lain.
Baca Juga
Advertisement
"Kalau rupiah terlalu menguat tidak boleh juga, karena nanti ekspor terganggu. Sedangkan renminbi melemah, barang China lebih murah dan impor akan meningkat," terang Sasmito.
Ia berpendapat, pertumbuhan kinerja impor, baik dari sisi nilai maupun volume bukanlah sesuatu yang salah apabila diiringi dengan peningkatan ekspor. Apalagi jika impor digunakan untuk bahan baku industri dengan tujuan memperbesar volume ekonomi Indonesia.
"Impor naik boleh saja, asal ekspor juga naik jadi volume ekonomi membesar. Itu tidak masalah. Sejak awal tahun kan kita surplus, jika terlalu lama impor dibendung, artinya bisa mengganggu perekonomian, sebab kita impor bahan baku industri," papar Sasmito.
Indonesia, Sasmito menuturkan, mempunyai peluang besar meningkatkan ekspor produk kreatif, selain barang tradisional atau komoditas primer.
"Pilihan Pak Jokowi tepat memacu ekspor selain produk primer, seperti produk kreatif yakni emas perhiasan, kopi luwak dan produk out of the box lain. Kalau ini bisa dilakukan, ekspor akan menanjak," jelas Sasmito.
Berdasarkan data BPS, neraca perdagangan antara Indonesia dengan China pada Oktober ini masih mengalami defisit US$ 1,22 miliar. Sementara secara kumulatif, defisit perdagangan mencapai US$ 12,82 miliar sepanjang januari-Oktober 2015. (Fik/Ahm)