Liputan6.com, Jakarta - Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Sudirman Said membongkar dan melaporkan kasus pencatutan nama Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Wakil Presiden Jusuf Kalla yang diduga dilakukan Ketua DPR, Setya Novanto kepada Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD). Atas konflik ini, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Sumber Daya Rizal Ramli justru menganggap perseteruan tersebut sebagai sebuah adegan sinetron.
Demikian disampaikan Rizal sebelum mengisi acara Core Economic Outlook 2016 di Hotel JS Luwansa di Jakarta, Rabu (18/11/2015). "Anggap saja rakyat Indonesia sedang dihibur sinetron antar geng yang kadang perang, kadang berdamai," ucapnya santai.
Saat ditanyakan lebih lanjut mengenai sikap pemerintah atas kasus ini, Rizal memilih bungkam dan bergegas untuk persiapan menjadi pembicara utama dalam event Core Economic Outlook 2016.
Wakil Presiden Jusuf Kalla sebelumnya berencana untuk membawa kasus pencatutan nama ke ranah hukum. Pasalnya Politikus yang diduga Setya Novanto ini meminta jatah saham kepada Freeport dengan menggunakan nama Presiden dan Wapres. "Biar DPR ya, kemudian langkah hukum. Setelah langkah politik, kita akan selesaikan secara hukum," ucap JK.
Dalam kesempatan tersebut, JK membenarkan orang yang diduga menggunakan namanya dan Jokowi dalam kasus tersebut ialah Setya Novanto. Hal itu berdasarkan rekaman pembicaraan SN dengan bos Freeport yang diserahkan Menteri ESDM kepada MKD DPR. "Kalian sudah baca kan transkripnya? Nah ya begitulah," sahut JK.
Ia mengaku marah atas kejadian tersebut. Ia juga mengapresiasi langkah Sudirman Said yang melaporkan kasus tersebut ke MKD karena dinilai dapat menyelesaikan kegaduhan. Walau begitu, ia menyatakan keputusan melengserkan SN dari posisinya sebagai pimpinan DPR sepenuhnya kepada Dewan. "Mundur atau tidak, itu urusan DPR. Yang pasti saya marah lah," tukas Jusuf Kalla.
Baca Juga
Advertisement
Lucas SH sebagai penasihat hukum Setya Novanto, mengatakan bahwa pimpinan DPR mengakui jika petinggi PT Freeport Indonesia atas keinginannya sendiri mengadakan pertemuan untuk membahas perpanjangan kontrak.
Dipaparkan Lucas, kronologi pertemuan itu berawal pada tanggal 27 April 2015 pukul 14:00 WIB, Direktur Utama Freeport (MS) datang menemui SN di Gedung DPR. Kehadiran MS sendiri untuk meminta bantuan agar (SN) dapat meyakinkan pemerintah untuk memperpanjang kontrak karya dengan Freeport.
Namun, lanjut Lucas, hasil tersirat dari pertemuan tersebut menyatakan kontrak karya Freeport tidak dapat diperpanjang karena bertentangan dengan undang-undang.
Selain itu, lanjut Lucas, jika Ketua DPR dapat membantu perpanjangan kontrak Freeport maka ada imbalan, namun sebaliknya jika kontrak Freeport tidak diperpanjang maka akan ada arbitrase internasional terhadap Indonesia pada Juli 2015.
"Pertemuan tersebut berlangsung di ruang ketua DPR antara Ketua DPR (SN) dengan Dirut Freeport (MS),” ujar Lucas dalam keterangan tertulis yang diterima Liputan6.com.
Dijelaskan Lucas, beberapa hari setelah pertemuan tersebut, Ketua DPR menemui Presiden Jokowi untuk menanyakan sikap Presiden terhadap perpanjangan kontrak Freeport.
Saat itu Presiden dengan tegas menyampaikan bahwa Freeport tidak dapat diperpanjang karena melanggar UU dan kalaupun mau diperpanjang harus diubah dengan kondisi yang lebih baik bagi masyarakat Indonesia dan Papua.
"Selain itu, seharusnya hal ini tidak perlu dibahas sekarang karena baru akan jatuh tempo 2021, sehingga kalau mau dibahas nanti pada tahun 2019,” jelas Lucas.
Setelah pertemuan dengan Presiden, lanjut Lucas, SN menjadi penasaran dan khawatir. Mengapa Freeport begitu antusias. Selain itu SN juga ingin mengetahui lebih jauh mengenai ancaman arbitrase internasional.
Karena itu, SN meminta bantuan seorang pengusaha berinisial R yang berkelas internasional untuk ikut dalam pertemuan agar mendengar, memberikan masukan dan menjadi saksi dalam pertemuan tersebut.
“Sebelum pertemuan kedua terjadi, SN dan R terlebih dahulu sepakat bahwa Freeport tidak mungkin bisa diperpanjang karena melanggar UU dan merugikan Indonesia dan Papua," terang Lucas.
Namun, imbuh Lucas, SN juga berpikir bahwa perpanjangan Freeport harus dicegah. Hanya saja dalam sisi lain tetap harus memperhatikan ancaman arbitrase internasional.
Dalam pertemuan kedua yang terjadi pada 13 Mei 2015 pukul 17.00 WIB di Lantai 21 Board 1, Ritz-Carlton, Pacific Place, Jakarta Selatan, sikap dari Freeport tidak berubah malah semakin bersemangat.
Apalagi, kata Lucas, ketika dipancing oleh SN seolah-olah ada jalan untuk perpanjang kontrak Freeport. Namun pembicaraan tersebut belum juga tuntas dan dilanjutkan dengan pertemuan yang ketiga.
Selanjutnya dalam pertemuan yang ketiga di Lantai 21 Board 2, Ritz Carlton, Pacific Place, Jakarta Selatan pada tanggal 8 Juni lalu, pukul 16.00 WIB, MS begitu antusias dan bersemangat sementara pihak SN dan R sama sekali tidak tertarik dengan segala iming-iming dari Freeport.
Karena melihat gelagat yang tidak beres dan setelah mengetahui siapa yang ada di balik semua ini, lanjut Lucas, maka SN dan R mengakhiri pertemuan tersebut.
"Sebelum pertemuan ini diakhiri, SN membisiki MS dengan kalimat kita orang Indonesia, harus cinta Indonesia, bela kepentingan Indonesia dan tidak hanya berdiri di atas kepentingan Freeport,” tegas Lucas. (Fik/Gdn)