Revaluasi Aset Pernah Selamatkan PLN dari Kebangkrutan

Revaluasi aset pernah diimplementasikan 15 tahun lalu dan berhasil menyelamatkan PT PLN (Persero) dari kebangkrutan.

oleh Fiki Ariyanti diperbarui 19 Nov 2015, 08:00 WIB
Listrik PLN. (Agus Trimukti/Humas PLN)

Liputan6.com, Jakarta - Masih ingat dengan salah satu poin di paket kebijakan ekonomi jilid V, yakni revaluasi aset? Ternyata, kebijakan tersebut pernah menyelamatkan PT PLN (Persero) dari kebangkrutan sehingga revaluasi aset kali ini diharapkan dapat menuai keberhasilan yang sama untuk menolong permodalan perusahaan swasta maupun Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

Revaluasi adalah penilaian kembali aset tetap perusahaan yang diakibatkan kenaikan nilai aset tetap itu di pasaran atau karena rendahnya nilai aset tetap dalam laporan keuangan perusahaan akibat devaluasi dan lainnya. Aktiva tetap yang dapat direvaluasi meliputi tanah, bangunan, dan bukan bangunan, dengan syarat tidak dimaksudkan untuk dialihkan.

Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Sumber Daya, Rizal Ramli menyatakan, revaluasi aset pernah diimplementasikan 15 tahun lalu dan berhasil menyelamatkan PT PLN (Persero) dari kebangkrutan. Ia menceritakan, ketika itu BUMN Kelistrikan ini mencatatkan modal negatif Rp 9 triliun, sedangkan aset hanya Rp 50 triliun.

"Secara teknis, PLN sudah bangkrut. Mereka minta uang ke pemerintah, tapi kami tidak mau. PLN kami suruh revaluasi aset dan hasilnya aset menjadi Rp 250 triliun. Selisihnya dimasukkan ke modal dari negatif menjadi Rp 104 triliun. Ini belum pernah terjadi bisa menyelamatkan BUMN Indonesia," ucap Rizal di Jakarta, seperti ditulis Kamis (19/11/2015).

Sayangnya, Mantan Menko Bidang Perekonomian itu mengatakan, pajak yang harus dibayarkan oleh PLN dari revaluasi aset mencapai 30 persen. Itu artinya PLN harus membayar setoran pajak sekitar Rp 50 triliun. Rizal mengaku, perusahaan tidak sanggup membayar. Jalan keluarnya adalah pemerintah memberi keringanan bagi PLN untuk mencicil pajak tersebut selama 7 tahun.

"Nah kebijakan serupa juga dilakukan di tahun ini, revaluasi aset untuk BUMN dan perusahaan swasta. Pajaknya pun diturunkan, sehingga ini menjadi kesempatan bagi perusahaan. Kalau BUMN tidak memanfaatkan revaluasi aset, rugi dan swasta yang tidak ikut kebijakan ini tidak cerdas," ucapnya.

Ia menyebut, apabila PT Bank Negara Indonesia Tbk (BNI) mengikuti revaluasi aset ini, maka ditaksir aset akan bertambah Rp 13 triliun dan CAR meningkat lebih dari 2,5 persen. "Jadi ini langkah rajawali bangkit, karena dampaknya sangat luar biasa besar. Kalau keuangan perusahaan sehat, maka dia mampu ekspansi dan diversifikasi," papar Rizal. 

Namun Rizal prihatin bahwa perusahaan yang mendaftar revaluasi aset hanya perusahaan-perusahaan besar. Sementara perusahaan menengah dan kecil belum merasa tertarik dengan kebijakan ini. "Tolong Pak Menteri Keuangan supaya dikampanyekan agar menarik manfaat dari insentif yang besar ini," jelasnya.

Ditemui terpisah, Direktur Penyuluhan, Pelayanan dan Hubungan Masyarakat Ditjen Pajak Kementerian Keuangan, Mekar Satria Utama membenarkan bahwa Rizal Ramli pernah membantu proses revaluasi aset PLN.

"Pada waktu itu berhasil dan setoran ke negaranya sekitar Rp 45 triliun, karena modalnya naik dari negatif Rp 9 triliun menjadi surplus Rp 104 triliun. Tapi waktu itu tarif pajaknya tinggi 30 persen dan sekarang lebih rendah," ia menerangkan.

Pengurangan tarif Pajak Penghasilan (PPh) Final atas revaluasi aset, sebesar 3 persen, 4 persen dan 6 persen dari sebelumnya 10 persen. Pertama, 3 persen untuk permohonan yang diajukan sejak berlakunya Peraturan Menteri ini sampai tanggal 31 Desember 2015.

Kedua, 4 persen untuk permohonan yang diajukan sejak 1 Januari 2016 sampai tanggal 30 Juni 2016; dan ketiga, 6 persen untuk permohonan yang diajukan sejak 1 Juli 2016 sampai tanggal 31 Desember 2016.

Menurut Mekar, perbankan sangat tertarik untuk mengikuti revaluasi aset, seperti BNI, PT Bank Central Asia Tbk (BCA) dan PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BRI). Hanya saja, menurut dia, perusahaan tersebut masih dalam proses persiapan sehingga belum dapat dilaksanakan.

"Tapi banyak perusahaan menengah juga bertanya pada kami soal revaluasi aktiva. Mungkin kondisi cashflow-nya tidak terlalu berat. Kalau perusahaan besar, nilai asetnya bisa tinggi sekali kenaikannya sampai ratusan kali karena BUMN sudah lama tidak melaksanakan revaluasi," tandas Mekar. (Fik/Gdn)*

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya