Liputan6.com, London - Pertempuran dunia maya (cyberwar) antara Anonymous dan ISIS telah meningkat. Kelompok teror itu menyerang balik dan korban tak berdosa terjebak di tengah-tengah.
Baru-baru ini Anonymous mengaku telah membeberkan 5.500 akun Twitter yang diduga terkait dengan ISIS dan kelompok teroris itupun membalas menerbitkan pesannya.
Advertisement
Dikutip dari news.com.au pada Kamis (19/11/2015), pesan yang dikirimkan peretas IS melalui aplikasi obrolan Telegram mengatakan bahwa ISIS mengakui telah menjadi “sang pemilik dunia virtual.”
Pesan mula-mula dalam bahasa Arab dan Prancis mendesak para anggota ISIS untuk bersatu dan mengganti foto profil Twitter rekan-rekannya dengan gambar tapak sepatu di atas bendera Prancis.
Kemudian muncul pesan susulan dalam bahasa Arab yang menjanjikan serangan balik melawan Anonymous. Rachel Bryson menemukan pesan tersebut ketika sedang memeriksa propaganda IS untuk kepentingan Quilliam Foundation, suatu lembaga penelitian kontroversial yang menantang ekstremisme.
Kata wanita itu kepada Business Insider, “Pesan itu menyatakan bahwa ada sesuatu yang akan datang dan kita harus terus memantau dan mengawasi ISIS setelah menyatakan diri sebagai pemilik dunia virtual.”
“Saya tidak mengetahui apakakah ini secara harfiah menyatakan perang virtual melawan Anonymous, tapi jelas menjanjikan suatu tanggapan…mereka jelas-jelas ingin menggentarkan Anonymous dengan ini. Menulis posting memang mudah, tapi tanggapan dahsyatnyalah yang harus kita simak.”
Dua pesan itu muncul pada saat akun-akun Twitter terkait ISIS sedang menghina para anggota Anonymous dengan sebutan “bodoh” dan membeberkan cara terinci untuk menghindari diretas oleh kelompok aktivis tersebut.
Hal ini bersamaan dengan amaran dari akun Twitter resmi #OpParis milik Anonymous perihal sejumlah akun palsu yang beroperasi menggunakan nama yang mirip, tapi ternyata dioperasikan oleh ISIS
Anonymous mengaku telah mendeteksi serangan-serangan ke server-server untuk situs web AnonOps—suatu platform komunikasi internasional yang dipergunakan melaporkan kegiatan daring terkait terorisme.
Tapi, pihak pengelola situs mengatakan tidak ada kepastian bahwa itu semua ulah ISIS.
Tanpa mengindahkan perlawanan dari ISIS, kelompok Anonymous terus meneruskan misinya untuk menutup akun-akun yang terkait dengan organisasi teroris itu.
Dalam serangan pembuka, kelompok peretas itu menerbitkan sejumlah panduan bagi khayalak ramai yang ingin melibatkan diri. Petunjuk langkah demi langkah disebar di kanal IRC mereka dan meminta siapapun untuk ikut terlibat, tanpa memandang keahlian teknologi mereka.
“Daripada duduk menganggur di kanal atau berkeliaran dan bengong, kamu bisa mendapatkan manfaaat besar dari sejumlah perangkat dan panduan yang kami berikan,” demikian salah satu tulisan seorang anggota Anonymous yang dikutip International Business Times (IBT).
“Andil kamu sangat berarti dan kami menganjurkanmu untuk ikut dalam semua kegiatan OP semampu kamu, semakin banyak semakin baik.”
Ulasan itu juga memberikan informasi kepada anggota masyarakat yang ingin mengerti caranya meretas, panduan pembuatan akun robot di Twitter untuk mengungkapkan akun-akun kelompok teroris itu dan rincian untuk melacak situ-situs web ISIS.
“Banyak yang kamu harus lakukan, jadi ayo mulai. Jika kamu hendak mengirimkan sesuatu yang bernilai , kirimkan ke ghostbin.com dan bagikan tautan itu kepada salah satu operator kanal dan kita bisa berbincang tentang langkah berikutnya.”
Walaupun ada dilema moral tentang pengungkapan informasi seperti ini, Anonymous yakin orang akan bertindak secara bertanggungjawab sesuai panduan, termasuk permohonan untuk tidak menggunakan cara ini kecuali memang jelas-jelas diperintahkan.
Walaupun kelompok peretas itu dengan senang hati memberikan layanan masyarakat dalam perang dunia maya ini, mereka meminta orang-orang untuk memastikan bahwa informasi yang mereka temukan tetap dirahasiakan dan dikirimkan, supaya bisa disidik lebih jauh.
Pesan tersebut disampaikan bersamaan dengan adanya seorang tak bersalah yang secara sembrono dicurigai terlibat dengan ISIS. Seorang penggguna terkait dengan Anonymous telah dipaksa meminta maaf di depan umum karena salah menunjuk seseorang yang tadinya dikira anggota kelompok teroris itu.
Permohonan maaf ini mendapatkan tanggapan geram dan seorang pengguna Twitter mengatakan bahwa Mr. Babayight menerima “puluhan ancaman mati” setelah nama dan alamatnya dibeberkan ke umum.
Suatu penjelasan tentang adanya “kesalahan intel” telah diajukan dan pengunggah aslinya mengaku ia marah kepada dirinya sendiri karena kelepasan. Ia pun berjanji melakukan segalanya untuk memperbaiki hal ini.
Namun demikian tidak semua orang melihat tindak tanduk Anonymous sebagai sesuatu yang baik.
Seorang blogger terkemuka Prancis mengatakan bahwa kelompok peretas itu malah lebih banyak merusak. Oliver Laurelli mengatakan ajakan keterlibatan memang tampaknya menarik, tapi hal itu akan menghalangi upaya para penegak hukum dan badan-badan intelijen karena menutup potensi titik penyidikan bagi polisi.
“Kaum muda meresapinya dan merasa mereka bisa bertindak tapi malah menghalangi hasilnya. Ini lebih mempermalukan polisi,” katanya salah satu kantor berita asing. “Twitter telah bergegas menutup banyak akun tapi saya tidak tahu apakah itu suatu gagasan yang baik.”
Profesor Matthew Warren dari Deakin University mempertanyakan dayaguna kampanye itu dan mengatakan bahwa hal itu lebih merupakan aktivisme peretasan yang didorong alasan politis daripada sebuah perang dunia maya (cyberwar).
“Serangan siber ini tampaknya fokus pada media sosial dan penutupan akun-akun Twitter terkait ISIS, tapi gampang membuka akun-akun baru. Cara ini tidak menghentikan masalah radikalisasi,” katanya kepada news.com.
“Kalau melihat sejumlah akun yang telah ditandai, sebagian darinya hanya memiliki tidak lebih dari 10 pengikut, artinya mereka tidak berpengaruh.”
“Bayangkan apakah serangan-serangan itu akan memberikan hasil atau akan membuat Anonymous seperti bertindak demi kepentingan pemerintah negara-negara Barat, dan hal ini jadi bahan propaganda ISIS.”
“Kalau kamu mau melihat perang dunia maya yang sesungguhnya, lihatlah serangan siber tahun 2007 di mana para peretas dan penyerang Rusia melumpuhkan seluruhnya infrasruktur internet di Estonia.” (Alx/Rie)