Jerat Mosi Tidak Percaya Bagi Setya Novanto

Setya menuturkan, bos Freeport menyampaikan bahwa perpanjangan kontrak karya itu harus dilakukan.

oleh Nadya IsnaeniSilvanus AlvinTaufiqurrohmanPutu Merta Surya Putra diperbarui 21 Nov 2015, 00:03 WIB
Ketua DPR Setya Novanto memilih memercayakan penyelesaian masalah tentang pencatutan nama Presiden terkait perpanjangan kontrak Freeport ke Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD), Jakarta, Selasa (17/11/2015). (Liputan6.com/JohanTallo)

Liputan6.com, Jakarta - Awal pekan ini bukan waktu yang menyenangkan bagi Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI Setya Novanto. Lelaki kelahiran Bandung, 12 November 1955 itu kembali dibelit masalah.

Pangkalnya ialah bocornya transkrip rekaman yang diduga dilakukan oleh Setya dengan dua orang lain berinisial MS dan R tidak lama setelah Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said melaporkannya ke Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD).

Setelah sempat berkelit, politikus yang berlatar belakang pengusaha itu akhirnya mengakui bahwa dirinya sempat bertemu petinggi PT Freeport Indonesia pada 27 April 2015 silam. Dalam pertemuan selama 2 jam itu, mereka membahas divestasi, smelter, dan perpanjangan kontrak.

Setya menuturkan, bos Freeport menyampaikan bahwa perpanjangan kontrak karya itu harus dilakukan. Freeport juga meminta kepadanya agar smelter tidak dibangun di Papua melainkan di Gresik, Jawa Timur, dengan alasan ketidaksiapan infrastruktur.

Perusahaan yang bermarkas di Amerika Serikat itu juga meminta jaminan kelanjutan operasi perusahaan sampai 2041. Jika tidak diperpanjang, mereka akan menggugat di pengadilan arbitrase internasional pada Juli 2016.

"Itu proposalnya, pegang itu tasnya. Jika tidak diperpanjang maka ada abitrase internasional terhadap Indonesia di bulan Juli 2016," ujar dia.

Setya kembali bertemu PT Freeport setelah itu. Saat itu, ia bersama dengan rekannya seorang pengusaha minyak Reza Chalid. Namun, ia mengelak jika dirinya mencatut nama Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla.

Sebagian besar isi pembicaraan adalah hal yang bersifat umum walau juga menyinggung soal divestasi. Saat itulah, pembicaraan soal saham sempat dibahas.

"Kalau akhirnya teman saya bisa berusaha, secara joke itu pengen tahu, saham Freeport itu divestasinya berapa? Jadi, dalam hal itu masih terpotong adalah itu nanti akan kita lihat, bahwa ada hal-hal yang memang dari pilihan itu kenapa ini tidak diambil?" ujar Setya yang ditemui di rumah dinasnya saat itu.



Ini transkrip yang diduga obrolan Setya Novanto catut nama Jokowi soal Freeport. (Liputan6.com/Taufiqurrahman)

 

Belakangan, Setya merasa dizalimi karena menganggap rekaman yang beredar bukanlah rekaman asli. Politisi Golkar itu mempertanyakan alasan dirinya dituding mencatut nama presiden dan wakil presiden demi perpanjangan kontrak Freeport. Menurut dia, perpanjangan kontrak harus melewati persetujuan anggota dewan secara keseluruhan.

"Saya tidak pernah akui rekaman itu. Belum tentu suara saya. Bisa saja diedit dengan tujuan menyudutkan saya. Saya merasa dizalimi. Setelah membentuk tim hukum, kita sampaikan evaluasi dengan tim hukum pribadi," kata Setya Novanto, di Gedung DPR, Jakarta siang ini.

Setya Novanto mengatakan dirinya telah menunjuk tim pengacara, yang diketuai Rudy Alfonso dan Johnson Pandjaitan. Senin 23 November mendatang, ada langkah-langkah hukum yang akan disampaikan secara resmi.

Desakan Mundur

Setya boleh menyesal atas kegaduhan yang ditimbulkan atas ulahnya. Tapi, sebagian anggota dewan sudah gerah dengan tindak tanduknya. 4 anggota DPR lintas fraksi menyatakan siap mengajukan mosi tidak percaya kepada pimpinannya terkait kasus dugaan pencatutan nama presiden beserta wakilnya.

"Kami yakin 10 fraksi di dewan akan mendukung mosi tidak percaya ini. Akan kami resmikan dengan tanda tangan pada Senin mendatang," kata anggota Komisi III DPR Fraksi Nasdem Taufiqulhadi saat jumpa pers di Gedung DPR, Jakarta, Jumat (20/11/2015).


Anggota Fraksi Hanura, Inas Nasrulloh Zubir (kedua kanan) memberi keterangan pers di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Jumat (20/11). Empat anggota DPR tersebut memyampaikan agar Ketua DPR Setya Novanto mundur dari jabatannya. (Liputan6.com/Johan Tallo)

 

Ia juga mengancam akan membentuk Pansus Freeport jika MKD tidak bekerja sesuai harapan.

"Kalau MKD tak proses seperti yang diharapkan, kami dorong Pansus Freeport. Itu rencana Partai Nasdem," tegas Taufiqulhadi di Gedung DPR, Jakarta, Jumat (20/11/2015).

Anggota Komisi VII Fraksi PKB Arvin Hakim Toha menyampaikan pernyataan senada. Ia menganggap Setya harus mundur karena tindakan yang dilakukannya sudah tidak pantas ditolerir lagi. Sedangkan, anggota Komisi VII DPR Fraksi PDI Perjuangan Adian Napitupulu menyatakan pembiaran terhadap kasus Setnov, biasa dipanggil, akan mengganggu kinerja dewan secara institusi dalam sisa periode masa bakti.



Suara Masyarakat


Bukan hanya Senayan yang menginginkan pimpinan lembaga tertinggi itu mundur. Masyarakat juga menyuarakan hal serupa. Buktinya ada 3 petisi yang menginginkan Setya Novanto mundur yang diluncurkan di laman Change.org, tidak lama setelah kasus merebak. Satu diantaranya bahkan dibuat oleh seorang warga di Nusa Tenggara Timur (NTT) yang tak lain daerah pemilihan (dapil) Setya Novanto.

Petisi yang paling banyak mendapat dukungan dari para pengguna internet ialah yang dirilis A Setiawan Abadi. Dalam waktu tiga hari saja, petisi berjudul Pecat Ketua DPR Setya Novanto yang Mencatut Nama Presiden Joko Widodo dan Wapres JK itu telah didukung oleh lebih dari 60 ribu tanda tangan. Salah satunya pendukung petisi itu ialah sutradara Joko Anwar.

"Dalam petisinya, Setiawan Abadi mengatakan bahwa pencatutan nama presiden dan wakil presiden oleh Setya Novanto untuk memperoleh saham PT Freeport dan pembangunan pembangkit tenaga listrik di Papua merupakan pelanggaran etik dan hukum," tulis Change.org dalam rilisnya.

Kasus tersebut juga menguatkan penilaian Indonesia Corruption Watch (ICW) yang sejak awal meragukan integritas politikus senior Golkar itu. Peneliti Politik ICW Almas Sjafrina menyatakan nama Setya sudah sering disebut dalam dugaan beberapa kasus korupsi. Diantaranya, dakwaan mantan Bendahara Partai Demokrat Nazaruddin Syamsuddin, kasus cessie Bank Bali dan korupsi PON Riau.


3 petisi yang mendesak mundurnya sang Ketua DPR bahkan telah diluncurkan di laman Change.org.

 

Karenanya, ICW meminta MKD untuk tidak melihat kasus Setya dalam kacamata sempit. Dia menilai kasus itu tidak hanya masuk dalam ranah kode etik, tetapi patut diduga melanggar Pasal 15 Undang-Undang Pemberantasan Tindakan Korupsi Nomor 20/2001.

Pasal tersebut mengatur, "Setiap orang yang melakukan percobaan, pembantuan, atau permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan Pasal 14."

"MKD jangan hanya menilai dalam kacamata sempit. Setya bukan saja melanggar kode etik, tapi bisa dijerat dengan Pasal 15 UU Tipikor Tahun 1999," tandas Almas.

Ia menegaskan permasalahan itu memperburuk citra anggota dewan di mata masyarakat. Tanpa sanksi berat, kepercayaan rakyat kepada parlemen akan semakin sulit dikembalikan.

"Bagaimana mau mendapatkan kepercayaan dari rakyat, kalau sudah bersikap seperti ini?" pungkas Almas.

Dukungan Koalisi

Di tengah desakan mundur, dukungan terhadap Setnov masih tetap kokoh dari barisan Koalisi Merah Putih (KMP). Wakil Ketua DPR Fadli Zon, misalnya, mempertanyakan rekaman wawancara yang menyatakan koleganya meminta jatah saham untuk memuluskan perpanjangan kontrak kerja PT Freeport Indonesia. Ia bahkan menjamin bahwa Setnov tidak mencatut nama presiden dan wakil presiden.

"Saya jamin tidak ada pencatutan dalam rekaman ini, buktikan. Saya juga ahli bahasa. Tidak ada di situ dibilang minta saham 20 persen, 11 untuk presiden, 9 untuk JK. Itu tidak ada," ucap Wakil Ketua Umum Gerindra itu.

Sedangkan, politikus Partai Golkar Bambang Soesatyo meminta MKD tidak menghukum berat politikus SN, diduga Setya Novanto, yang dilaporkan Menteri ESDM karena kasus pencatutan nama Presiden Jokowi dalam perpanjangan kontrak Freeport. Alasannya, Ketua DPR itu baru belajar jadi pucuk pimpinan di parlemen.

Sebaliknya, bila terbukti tidak bersalah, maka MKD harus mengembalikan nama baik Setya Novanto. Dalam persidangan pun, Bambang meminta MKD melakukannya secara terbuka, sehingga dapat diketahui siapa benar dan siapa salah.

"Kita minta MKD bijaksana tidak memberikan sanksi yang berat kepada Setya Novanto, lalu apalagi? Kita mengimbau kawan-kawan fraksi lain agar bisa memahami posisi Novanto, baru jadi pimpinan setahun, jadi masih belajar," kata Bambang.

Selain itu, jika Setya Novanto benar-benar terbukti tidak bersalah, Golkar memikirkan opsi untuk melapor balik. Sebab, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said bisa dianggap melakukan pencemaran nama baik.

"Yang bersangkutan mencoba pencemaran nama baik, dari ceroboh melaporkan pelaporan. Ini yang merekam dan menyerahkan ke menteri motifnya apa," ujar dia. (Din/Ali)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya