Kisah Penjaga Pintu Air Manggarai yang Kerap Kena 'Semprot' Warga

Mengangkat telepon memang satu dari sederet pekerjaan yang dilakoni Herry selama bertugas.

oleh Ahmad Romadoni diperbarui 21 Nov 2015, 20:51 WIB
Herry Parianto. (Liputan6.com/Ahmad Romadoni)

Liputan6.com, Jakarta - Musim hujan mulai memasuki Jakarta. Satu hal yang selalu menjadi perhatian adalah pintu air Manggarai saat banjir. Tinggi air di pintu ini selalu dipantau saat hujan terus mengguyur Ibukota.

Kini, kondisi lingkungan pintu air ini sudah tertata dengan baik sejak awal 2015. Memasuki kantor, pintu tinggi besar menyambut. Ada 2 bangunan berlantai 2 di lingkungan itu, 1 di antaranya untuk kantor dan gedung pengawasan.

Kantor pintu air Manggarai ini cukup sederhana. Saat Liputan6.com menyambangi kantor ini, Sabtu (21/11/2015) sore, di ruang terdepan terlihat beberapa kursi empuk yang diperuntukan bagi tamu yang berkunjung. Sementara ruang di sebelah kiri terdapat meja kerja.

Di belakang meja kerja itu hanya duduk seorang petugas pemantau ketinggian air. Sedangkan di meja hanya dipenuhi buku catatan dan telepon serta 2 radio komunikasi. Kali ini yang sedang bertugas menjaga pintu air adalah Herry Parianto.

Herry terlihat santai menjalani pekerjaan itu. Telepon yang ada di samping kirinya tak henti-hentinya berdering. Hampir setiap 5 menit alat komunikasi itu "memaksa" dia mengangkat.

"Ada saja, biasanya dari TNI, Polri, kecamatan, kelurahan, warga juga ada. Selalu tanya kondisi air gimana?" kata Herry saat berbincang dengan Liputan6.com, Sabtu (21/11/2015).

Mengangkat telepon memang satu dari sederet pekerjaan yang dilakoninya selama bertugas. Herry bekerja 24 jam kemudian libur keesokan harinya.

Di antara pekerjaan yang tidak bisa dihindari adalah menerima kemarahan warga yang tinggal di bantaran Sungai Ciliwung. Masalah itu paling sering dialaminya saat banjir menimpa permukiman warga, khususnya Kampung Pulo, Jakarta Timur.

"Sampai sekarang masih ada yang marah-marah. Setiap banjir telepon, 'mas pintunya ditutup ya kok kita kebanjiran'. Kalau begitu saya harus jelasin pelan-pelan," tutur pria 1 anak itu, seraya bersandar di kursi kerjanya.


Memberi pengertian kepada warga bukan perkara mudah. Tidak jarang, warga yang tidak percaya datang langsung ke pintu air Manggarai untuk melihat sendiri kondisi air.

"Mereka datang ke mari, pasti marah-marah dulu. Setelah itu kita antar lihat di pintu air baru dia ngerti. Ya ujungnya minta maaf," tutur Herry.

Beruntung, tidak ada yang sampai nekat melakukan kekerasan kepada para penjaga pintu air. Warga hanya datang sambil mengeluarkan semua unek-unek mereka.

"Padahal, logikanya air kan lewat rumah mereka dulu baru ke pintu air. Kalau kita tutup makin tenggelam mereka. Kita buka saja setinggi itu," jelas penjaga pintu air itu.

Bekerja di ruangan seluas 2x5 meter itu terkadang membuat Herry merasa bosan. Setiap 30 menit, dia beranjak dari tempat duduknya dan berjalan ke ruang belakang untuk melihat ketinggian air.

Pria yang sudah 3 tahun bekerja di pintu air Manggarai ini cukup membuka jendela berukuran sekitar 1x1,5 meter. Melalui jendela itu, Herry bisa memantau dengan jelas ketinggian air.

"Sekarang aman, ketinggian 610 cm," ucap dia.

Setelah melihat pintu air, Herry mendekati 2 radio komunikasi milik Dinas Tata Air dan Kementerian Pekerjaan Umum itu di atas meja kerjanya. Lalu, ketinggian air saat itu dilaporkan melalui alat komunikasi itu.

"Kita sih senang saja kerja seperti ini. Ini juga kan membantu warga," kata Herry menutup obrolan. (Rmn/Yus)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya