5 Kerajaan yang Masih Eksis di Tanah Air

Kasunanan Surakarta Hadiningrat adalah kerajaan di Jawa Tengah yang berdiri pada 1755.

oleh Rochmanuddin diperbarui 21 Nov 2015, 20:38 WIB
Prajurit Keraton Yogyakarta mengikuti prosesi Grebeg Syawal Keraton Yogyakarta, (29/7/2014). Grebeg Syawal merupakan perwujudan Hajat Dalem Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat untuk rakyatnya. (ANTARA FOTO/Andreas Fitri Atmoko)

Liputan6.com, Jakarta - Bangsa Indonesia lahir dari kerajaan-kerajaan besar seperti Kerajaan Majapahit, Mataram, dan Kutai. Namun jika dilihat secara keseluruhan, ada ratusan kerajaan yang pernah jaya di bumi Pertiwi. Lantas ada berapakah kerajaan yang masih eksis di Tanah Air?

Hasil riset Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) pada 2012, ada 186 kerajaan yang masih eksis secara fisik, yakni wilayah, bangunan, budaya, dan struktur monarki, namun tidak berdaulat lagi karena bergabung dengan NKRI.


Di antara 186 kerajaan yang secara garis keturunan dan budaya masih kuat di antaranya Kesultanan Yogyakarta, Kesultanan Surakarta, Kasultanan Cirebon, Kerajaan Ternate, dan Kesultanan Kanoman.

Berikut 5 kerajaan yang masih eksis di Tanah Air;


Kesultanan Cirebon adalah kesultanan Islam ternama di Jawa Barat pada abad ke-15 dan 16 Masehi. Kesultanan ini menjadi pangkalan penting dalam jalur perdagangan dan pelayaran antarpulau.

Lokasinya di pantai utara pulau Jawa yang merupakan perbatasan antara Jawa Tengah dan Jawa Barat, menjadikan pelabuhan yang 'menjembatani' antara kebudayaan Jawa dan Sunda. Sehingga tercipta kebudayaan yang khas, yaitu kebudayaan Cirebon yang tidak didominasi kebudayaan Jawa maupun kebudayaan Sunda.

Secara silsilah, Kesultanan Cirebon dimulai pada 1445-1479 Pangeran Cakrabuana (Sultan Cirebon I), 1479-1568 Sunan Gunung Jati (Sultan Cirebon II), 1568-1570 Fatahillah (Sultan Cirebon III), 1570-1649 Panembahan Ratu I (Sultan Cirebon IV), 1649-1677 Panembahan Ratu II (Sultan Cirebon V). Kemudian Kesultanan Cirebon terpecah menjadi 2 pada 1677, yaitu Kesultanan Kasepuhan dan Kesultanan Kanoman.

Kesultanan Cirebon bermula dari Ki Gedeng Tapa atau dikenal dengan nama Ki Gedeng Jumajan Jati. Dia adalah seorang Mangkubumi dari Kerajaan Sing Apura, kerajaan yang ditugasi mengatur pelabuhan Muarajati, Cirebon setelah tidak ada penerus tahta di kerajaan tetangganya, yaitu Surantaka--setelah anak perempuan penguasanya menikah dengan Jayadewata atau prabu Silih Wangi.

Versi lainya menyebutkan, Pengeran Walangsungsang diperintahkan gurunya Syekh Datuk Kahfi (Nur Jati) membuka lahan di wilayah Kebon Pesisir. Namun konon di Kebon Pesisir tidak sepenuhnya kosong, karena sudah ada sepasang suami istri yaitu Ki Danusela dan istrinya yang tinggal di sana.

Akhirnya sebagai bentuk penghormatan, Kuwu atau Kepala Desa Caruban yang pertama yang diangkat masyarakat baru itu adalah Ki Danusela dengan gelar Ki Gedeng Alang-alang, sebagai Pangraksabumi atau wakilnya, diangkatlah Raden Walangsungsang, yaitu putra Prabu Siliwangi dan Nyi Mas Subanglarang atau Subangkranjang--yang tak lain adalah puteri dari Ki Gedeng Tapa.

Setelah Ki Gedeng Alang-alang wafat, Walangsungsang yang juga bergelar Ki Cakrabumi diangkat menjadi penggantinya sebagai kuwu yang kedua, dengan gelar Pangeran Cakrabuana. Pangeran Cakrabuana adalah keturunan Pajajaran. Putera pertama Sri Baduga Maharaja Prabu Siliwangi dari istrinya pertamanya,  Subanglarang--puteri Ki Gedeng Tapa.

Raden Walangsungsang mempunyai 2 saudara seibu, yaitu Nyai Rara Santang dan Raden Kian Santang. Sebagai anak sulung dan laki-laki, ia tidak mendapatkan haknya sebagai putera mahkota Pakuan Pajajaran. Hal ini disebabkan karena ia memeluk Islam--diturunkan Subanglarang, ibunya.

Sementara saat abad 16, ajaran agama mayoritas di Pajajaran adalah Sunda Wiwitan--agama leluhur orang Sunda, Hindu dan Budha. Posisinya digantikan oleh adiknya, Prabu Surawisesa, anak laki-laki Prabu Siliwangi dari istrinya yang kedua Nyai Cantring Manikmayang.

Pangeran Walangsungsang lalu membuat sebuah pedukuhan di Kebon Pesisir, membangun Kuta Kosod atau susunan tembok bata merah tanpa spasi, mendirikan Dalem Agung Pakungwati dan membentuk pemerintahan di Cirebon pada 1430 M.

Dengan demikian, yang dianggap sebagai pendiri pertama Kesultanan Cirebon adalah Walangsungsang atau Pangeran Cakrabuana. Pangeran Cakrabuana usai menunaikan ibadah haji kemudian disebut Haji Abdullah Iman, tampil sebagai 'raja' Cirebon pertama yang memerintah dari keraton Pakungwati dan aktif menyebarkan Islam kepada penduduk Cirebon dan dan tanah Pasundan mulai tahun 1445.

Pendirian kesultanan ini sangat berkaitan erat dengan keberadaan Kesultanan Demak. Pada 1479, Pangeran Cakrabuana mengundurkan diri dari tapuk pimpinan kerajaan Pakungwati.

Kedudukannya kemudian digantikan putra adiknya, Nyai Rarasantang dari hasil perkawinannya dengan Syarif Abdullah dari Mesir, yakni Syarif Hidayatullah (1448-1568) yang setelah wafat dikenal dengan sebutan Sunan Gunung Jati.

Pertumbuhan dan perkembangan yang pesat Kesultanan Cirebon dimulai ketika dipimpin Sunan Gunung Jati. Ia kemudian diyakini sebagai pendiri dinasti raja-raja Kesultanan Cirebon dan Kesultanan Banten, serta penyebar agama Islam di Jawa Barat seperti Majalengka, Kuningan, Kawali (Galuh), Sunda Kelapa, dan Banten.


Kesultanan Yogyakarta


Kesultanan Yogyakarta atau Ngayogyakarta Hadiningrat merupakan bagian dari Kerajaan Mataram Islam yang terpecah 2, yakni Kesunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta.

Berdirinya Kerajaan Mataram Islam diawali dengan pemberian Alas Mentaok atau daerah kekuasaan dari Kesultanan Pajang atau Sultan Hadiwijaya terhadap Ki Ageng Pamanahan, setelah berhasil mengalahkan musuhnya, Aryo Penangsang.

Pada 1577, Ki Ageng Pamanahan membuat keraton di daerah Kota Gede sebagai pusat pemerintahan, hingga beliau wafat pada 1584, sebagai pengikut setia Kasultanan Pajang.

Setelah Ki Ageng Pamanahan wafat, Kerajaan Mataram Islam dilanjutkan puteranya, Danang Sutawijaya. Namun, sang putera konon tidak mau tunduk kepada Kesultanan Pajang.

Justru, Sutawijaya berniat menghancurkan Kesultanan Pajang untuk memperluas wilayah kekuasaan Mataram. Dalam versi lain, Sutawijaya semata-mata hanya ingin lepas dari dominasi Kesultanan Pajang.

Sultan Pajang mengetahui niat itu dan menyerang Mataram pada 1587. Namun, saat pasukan Kesultanan Pajang hendak menyerang Mataram, terkena dampak letusan Gunung Merapi hingga kewalahan atau hancur.

Dalam versi lain disebutkan, pasukan Kesultanan Pajang kalah saat melawan pasukan Sutawijaya dan Mataram. Setahun kemudian, Mataram menjadi sebuah kerajaan dan Sutawijaya mengklaim sebagai Raja Mataram berdaulat, dengan gelar Panembahan Senopati.
Senopati Ingalaga Sayidin Panatagama yang berarti Panglima Perang dan Ulama Pengatur Kehidupan Beragama.

Mulai saat itu, Kerajaan Mataram berkembang pesat menjadi sebuah kerajaan yang besar dan menjadi penguasa Pulau Jawa dan disegani. Setelah mangkatnya Panembahan Senopati pada 1601, Raja Mataram selanjutnya digantikan puteranya, Mas Jolang yang dikenal dengan gelar Panembahan Seda ing Krapyak.

Setelah wafat pada 1613, Mas Jolang digantikan anaknya, yaitu Pangeran Arya Martapura dan dilanjutkan kakaknya, Raden Mas Rangsang yang lebih dikenal sebagai Prabu Pandita Hanyakrakusuma, yang bergelar Sultan Agung Senapati Ingalaga Abdurrahman.

Pada masa Kekuasaan Raden Mas Rangsang atau Sultan Agung inilah, Kerajaan Mataram berada pada puncak kejayaannya dan berkembang pesat di segala bidang. Sampai akhirnya Sultan Agung digantikan puteranya, Amangkurat I pada 1645. Masa kejayaan Kerajaan Mataram akhirnya mengalami kemunduran.

Perebutan kekuasaan dari dalam maupun luar istana, akhirnya meruntuhkan Kerajaan Mataram. Situasi ini dimanfaatkan penjajah VOC atau Belanda, dengan memecah belah kerajaan melalui Perjanjian Giyanti, 13 Februari 1755.

Perjanjian Giyanti membagi kekuasan Kerajaan Mataram menjadi 2, yaitu Kasunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta. Dalam perjanjian itu, juga menetapkan Pangeran Mangkubumi sebagai Sultan di Kasultanan Yogyakarta, dengan gelar Sri Sultan Hamengku Buwono (HB) I.

Perjanjian Giyanti adalah kesepakatan antara Belanda, pihak Mataram --diwakili oleh Sunan Pakubuwono III, dan kelompok Pangeran Mangkubumi. Dalam perjanjian ini, Kelompok Pangeran Sambernyawa tidak dilibatkan.

Sekitar 1 bulan setelah Perjanjian Giyanti, Sri Sultan HB I yang pada saat itu tinggal di Pesanggrahan Ambar Ketawang, mendirikan keraton di pusat Kota Yogyakarta, yang kini menjadi pusat pemerintahan Kasultanan Yogyakarta.

Pemerintah Hindia Belanda pun mengakui Kasultanan Yogyakarta sebagai kerajaan dengan hak mengatur rumah tangga sendiri. Semua itu dinyatakan dalam kontrak politik, yang terakhir tercantum dalam Staatsblad 1941, No. 47.


Kesunan Surakarta


Kasunanan Surakarta Hadiningrat adalah kerajaan di Jawa Tengah yang berdiri pada 1755, sebagai hasil perjanjian Giyanti 13 Februari 1755. Perjanjian ini menyepakati Kesultanan Mataram dibagi 2 wilayah kekuasaan, yaitu Surakarta dan Yogyakarta.

Perjanjian ini kesepakatan antara VOC dengan pihak-pihak yang bersengketa di Kesultanan Mataram, yaitu Sunan Pakubuwana III dan Pangeran Mangkubumi.

Kasunanan Surakarta umumnya tidak dianggap sebagai pengganti Kesultanan Mataram, melainkan sebuah kerajaan tersendiri, walau pun rajanya masih keturunan raja Mataram.

Setiap raja Kasunanan Surakarta yang bergelar Sunan--demikian pula raja Kasultanan Yogyakarta yang bergelar Sultan, selalu menandatangani kontrak politik dengan VOC atau Pemerintah Hindia Belanda.


Kesultanan Ternate


Kesultanan Ternate atau juga dikenal dengan Kerajaan Gapi adalah 1 dari 4 kerajaan Islam di Kepulauan Maluku, yang merupakan di antara kerajaan Islam tertua di Nusantara.

Kesultanan Ternate didirikan oleh Baab Mashur Malamo pada 1257. Kesultanan ini memiliki peran penting di kawasan timur Nusantara antara abad ke-13 hingga ke-17.

Kesultanan Ternate mengalami kegemilangan pada paruh abad ke-16, berkat perdagangan rempah-rempah dan kekuatan militernya. Pada masa jaya kekuasaannya membentang mencakup wilayah Maluku, Sulawesi bagian utara, timur dan tengah, serta bagian selatan kepulauan Filipina hingga sejauh Kepulauan Marshall di Pasifik.


Kesultanan Kanoman



Kesultanan Kanoman merupakan pecahan dari Kesultanan Cirebon  pada 1677. Keraton Kanoman didirikan Pangeran Mohamad Badridin atau Pangeran Kertawijaya, yang bergelar Sultan Anom I sekitar 1678 M.

Kesultanan Kanoman masih taat memegang adat-istiadat dan pepakem, di antaranya melaksanakan tradisi Grebeg Syawal, seminggu setelah Idul Fitri dan berziarah ke makam leluhur Sunan Gunung Jati di Desa Astana, Cirebon Utara.

Peninggalan-peninggalan bersejarah di Keraton Kanoman erat kaitannya dengan syiar Islam yang giat dilakukan Sunan Gunung Jati, yang juga dikenal dengan Syarif Hidayatullah. (Rmn/Dms)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya