Jubir Puro Pakualaman: Penunjukan Prabu Suryodilogo Sesuai UUK

Kusumo mengatakan, Suryodilogo menjadi putra mahkota sejak 4 tahun lalu.

oleh Yanuar H diperbarui 22 Nov 2015, 07:58 WIB
Sri Paduka Paku Alam ke IX meninggal dunia (Sumber: Wikipedia)

Liputan6.com, Yogyakarta - Putra mahkota Prabu Suryodilogo akan menjadi Paku Alam selanjutnya seiring wafatnya Paku Alam IX. Namun begitu saat ini status Prabu Suryodilogo masih pelaksana harian Puro Pakualaman.

Juru bicara Puro Pakualaman Yogyakarta, KPH Kusumo Parasto mengatakan, sejak Paku Alam IX sakit pihak keluarga Puro Pakualaman dari berbagai kota seperti Jakarta, Surabaya, Bali, dan Semarang melalui Kawedanan Ageng Kasentanan telah menetapkan pelaksana harian Puro Pakualaman adalah KBPH Prabu Suryodilogo.

"Secara sistem sudah ada. Karena dia putra mahkota. Jadi putra mahkota kan syaratnya sudah 40 tahun ke atas. Nanti bisa duduki Paku Alam. Nanti tinggal ikut saja. Tadi siang jam 2 selesai lalu sedo (meninggal) jam 3. Rapatnya sejak jam 10," kata Parasto di Puro Pakualaman Sabtu 21 November 2015.

Keputusan Kanjeng Bendoro Pangeran Haryo (KBPH) Prabu Suryodilogo‎ sebagai pelaksana harian ditanda tangani oleh Kawedanan Ageng Kasentanan Condro Kusumo.

Keputusan ini, menurut Kusumo sudah sesuai dengan Undang Undang Keistimewaan (UUK). Di mana sesuai UUK Gubernur dan Wakil Gubernur adalah Sultan atau Adipati yang bertahta.

"Kenapa Kawedanan Ageng Kasentanan karena itu legalitas yang tercantum di UUK. Wagub itu adipati atau Sultan yang bertahta, dia belum. Selama ini hanya pelaksana harian. Pada proses selanjutnya ada prosesi jumenengan. Belum tentu itu nanti dari rapat keluarga kapannya," ujar dia.


Kusumo mengatakan, Suryodilogo menjadi putra mahkota sejak 4 tahun lalu. Oleh karena itu sistem aturan yang ada sudah sesuai dengan UUK.

Menurut Kusumo untuk ditetapkan sebagai wakil gubernur perlu prosesi jumenengan terlebih dahulu. Hal ini untuk menetapkan siapa Paku Alam selanjutnya sekaligus Wakil Gubernur DIY.

Terkait konflik yang ada adanya pengakuan KGPAA Paku Alam IX dari pihak Anglingkusumo dinilai tidak sesuai dengan UUK.

Sementara dalam tradisi Puro Pakualaman saat pengangkatan KGPAA IX harus sesuai tradisi yang. Seperti tempat pengangkatan di Bangsal Sewotomo. Ada penyematan bintang lalu tradisi Paneteping Karsa dan kirab.

"Semua sistem sudah berjalan. Mungkin masyarakat bingung ada kembar gitu. Jadi gini, kalau dilihat gelar Anglingkusuma itu kan KGPAA Paku Alam IX Al Hajj apa gitu, nah di UUK kan ga ada. Dan dalam sistem UUK gubernur atau wagub itu adalah yang bertahta kalau bertahta itu harus sesuai dengan paugeran dan tradisi itulah yang sah. Dia harus melalui proses. Paugeran sudah tapi tradisi belum," ujar Parasto. (Ron/Vra)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya