Liputan6.com, Jakarta "Remember September 10, 2001?" demikian Nancy Gibbs mengawali tulisannya di majalah Time saat memperingati 10 tahun tragedi serangan teroris 11 September 2001 atau kini oleh orang Amerika biasa disebut 9/11 (nine/eleven).
Ia kemudian melanjutkan, di tanggal itu berita yang ramai antara lain Israel dan Palestina tengah bersiap berunding serta tingkat pengangguran di AS mencapai 4,9 persen, tertinggi dalam empat tahun.
Yang hendak ia bilang, kehidupan berjalan seperti biasa di hari itu. Esok paginya, orang Amerika terbangun mengira hari mereka bakal berlangsung biasa-biasa saja pula. Tidak ada yang istimewa seperti hari sebelumnya.
Namun, 11 September 2001 bukan hari biasa. Empat pesawat dibajak. Dua ditabrakkan ke menara kembar World Trade Center (WTC), satu ke Pentagon, markas besar pertahanan AS, dan satu lagi—yang diduga menuju Gedung Puth atau gedung Kongres—jatuh di sebuah tanah lapang. Hari itu 2.975 nyawa melayang.
Wajah dunia seketika berubah hari itu.
Sudah banyak film yang mengupas seperti apa wajah Amerika dan dunia pasca-9/11. Yang paling anyar bisa Anda saksikan di film Secret in Their Eyes.
Film ini dibuka di masa kini, empat belas tahun setelah peristiwa 9/11. Kita melihat mantan agen FBI, Ray (Chiwetel Ejiofor) kembali ke kantor lamanya. Wajahnya kusut. Ia tampak lebih tua dari usia sebenarnya. Jenggot lebat di wajahnya yang sedikit sedikit ditumbuhi uban kian menekankan, ia memendam depresi demikian lama. Pun dua kawan yang ditemuinya hari itu di bekas kantornya: Claire (Nicole Kidman) dan Jess (Julia Roberts).
Di balik penampilannya yang anggun, Claire juga memendam beban pikiran. Apalagi Jess. Wajahnya tampak lelah. Jangankan ada riasan, rambutnya pun seperti ia biarkan tak terurus. Tiga orang ini memiliki trauma yang sama, yang telah mengubah diri mereka selamanya.
Baca Juga
Advertisement
Film lalu mengajak kita pada sebuah kejadian yang berlangsung tahun 2002, tak lama setelah peristiwa 9/11 terjadi. Ray dan Jess adalah agen FBI yang punya karier cemerlang di Los Angeles. Mereka bekerja di bagian kontra-terorisme. Pekerjaan utama mereka, menyelidik agar 9/11 tak lagi terulang. Sedangkan Claire, penyidik kejaksaan yang bekerja sebagai mitra Ray dan Jess.
Syahdan, suatu hari panggilan tugas datang. Telah ditemukan sesosok mayat gadis kulit putih di tempat sampah sebuah masjid di Los Angeles. Gugus tugas anti-terorisme FBI tentu datang menyelidik TKP.
Betapa terkejutnya Ray ketika mendapati gadis yang tewas dibunuh setelah sebelumnya diperkosa itu adalah putri Jess. Pilu rasanya melihat Jess meraung menangisi putrinya di tempat sampah.
Penyelidikan lalu menggiring pada seorang tersangka utama: Marzin (Joe Cole). Pria kulit putih ini merupakan pegawai di masjid. Meski punya pacar, Marzin seorang penyendiri yang tampak punya hasrat liar dan brutal terpendam. Ia menggambar komik tentang membunuh dan memerkosa seorang gadis.
Masalahnya kemudian, Marzin juga sosok yang dianggap sangat berguna saat itu bagi FBI. Ia informan yang ditanam FBI di masjid dengan tugas memata-matai aktivitas terduga teroris. FBI dan kejaksaan tak bisa membiarkan operasi mereka berantakan lantaran Marzin kena kasus hukum, bahkan bila itu menyangkut membunuh putri seorang agen FBI sekalipun.
Seorang Muslim lalu dijadikan kambing hitam. Marzin lolos.
Dunia Usai 9/11
Sampai di sini kita harus memahami begitulah gambaran dunia tak lama setelah 9/11 terjadi. Amerika dilanda ketakutan yang sangat. Agar mimpi buruk mereka di hari nahas itu tak terulang lagi, terkadang, cara-cara tak patut pun dilakukan.
Kita melihat, misalnya, Amerika menangkapi para tersangka teroris dan memenjarakannya di teluk Guantanamo, Kuba tanpa satu pun diproses ke pengadilan terlebih dahulu. Siksaan di luar kemanusiaan di penjara Guantanamo atau Abu Ghraib di Irak menjadi simbol bagi kesewenang-wenangan AS pasca-9/11.
Yang disorot film ini, Secret in Their Eyes satu segi yang rasanya luput terekspos. Yang ditawarkan film ini adalah sebuah pertanyaan moral: Apakah demi mencegah aksi teroris terjadi lagi, negara harus mengesampingkan perkara hukum? Apa arti satu nyawa yang melayang tak berarti demi kemungkinan menyelamatkan ribuan nyawa yang terancam aksi terorisme di masa depan? Inikah namanya keadilan di sebuah dunia setelah tanggal 11 September 2001?
Belasan tahun kemudian, Ray datang mengajak Claire dan Jess menyelesaikan apa yang belum tuntas bertahun-tahun lalu. Ray merasa punya bukti di mana Marzin berada kini.
Saya berhenti bercerita kisah filmnya sampai di situ. Menceritakannya lebih jauh bakal merusak kejutannya. Dan kejutan atau twist alias kelokan cerita adalah kekuatan film ini.
Film ini aslinya buat ulang film Argentina peraih Oscar kategori Film Berbahasa Asing Terbaik rilisan 2009 silam. Konteks gemuruh politik di Argentina tahun 1970-an diubah ke kondisi Amerika pasca-9/11 di tangan sutradara Billy Ray (penulis skenario Captain Phillips dan sutradara Shattered Glass).
Saya mengira kebanyakan orang bakal menonton film ini setelah melihat nama Nicole Kidman, Julia Roberts serta bintang 12 Years of Slave Chiwetel Ejiofor di satu layar. Penonton mungkin akan membayangkan sebuah drama yang mengharu biru yang memperlihatkan akting jempolan mereka.
Jika itu dugaan Anda sebelum nonton ini, hal tersebut setengah benar. Ya, ketiganya berakting bagus. Kidman tetap anggun di usianya yang kian matang kini. Roberts sekali lagi menunjukkan ia bukan sekadar bintang Hollywood yang doyan ketawa-ketiwi, tapi juga Aktris dengan A besar yang pernah meraih Oscar. Sedang Ejiofor membuktikan dirinya aktor watak kulit hitam penerus Denzel Washington.
Tapi mengira ini film drama mengharu biru rasanya tak tepat. Bila disebut jenisnya film ini dikategorikan police procedural, film/serial TV tentang kiprah penegak hukum menyelidiki sebuah kasus. Serial macam Law and Order atau CSI masuk kategori ini.
Kidman, Roberts dan Ejiofor adalah jualan utama film ini guna menarik penonton ke bioskop. Setelah ditonton, mungkin Anda bakal sedikit mengeluhkan alurnya yang lamban. Namun di luar itu, film ini menyuguhkan sesuatu yang istimewa.
Ibarat makanan film ini mungkin terasa sulit dikunyah. Akan tetapi ibarat makanan yang menyehatkan, film ini bergizi tinggi meski butuh perjuangan mengunyahnya. Percayalah, mengunyah Secret in Their Eyes dengan penuh kesabaran, Anda bakal menemukan faedah dan kejutan saat layar ditutup.** (Ade/Put)
Advertisement