Pentingnya Keselarasan Peraturan di Industri Hulu Migas

Operasi sektor hulu minyak dan gas bumi telah banyak memberi dampak ekonomi maupun sosial yang signifikan bagi kemajuan bangsa.

oleh Liputan6 pada 23 Nov 2015, 08:14 WIB
Operasi sektor hulu minyak dan gas bumi telah banyak memberi dampak ekonomi maupun sosial yang signifikan bagi kemajuan bangsa.

Liputan6.com, Jakarta Memiliki peranan penting untuk kemajuan bangsa, operasi sektor hulu minyak dan gas bumi telah banyak memberi dampak ekonomi maupun sosial yang signifikan bagi kemajuan bangsa. Selain masih menyumbang sekitar 18% dari total penerimaan negara, sektor ini juga memiliki peranan penting bagi pembangunan daerah berupa penciptaan lapangan kerja, peningkatan kegiatan ekonomi daerah, maupun peningkatan kegiatan pembangunan untuk kesejahteraan masyarakat.

Namun, terdapat permasalahan peraturan yang tidak sejalan dan bahkan saling bertentangan antara yang ditetapkan pemerintah pusat dengan yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah (pemda) dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Sehingga, hal ini masih menjadi momok bagi pelaku usaha di industri ekstraktif ini.

Memang di dalam Undang-Undang No. 22 Tahun 2001 (UU Migas) terdapat beberapa aturan besar yang dijadikan acuan dalam mengakomodasi kepentingan daerah, namun pada kenyataannya masih terdapat beberapa persoalan yang dihadapi. Di antaranya terkait keterlibatan pemda dalam proses penentuan dan penawaran Wilayah Kerja (blok) migas dan rencana pengembangan lapangan. Hal ini sesuai dengan Pasal 12 dan Pasal 21 UU Migas yang mewajibkan di level provinsi, sementara sebagian besar Wilayah Kerja (WK) migas berada di level kabupaten atau kota.

Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), IGN Wiratmadja menyebutkan, jika kisruh perizinan menjadi salah satu permasalahan yang harus diselesaikan pemerintah secara bersama-sama.

“Khusus daerah penghasil migas, kami sedang berkoordinasi dengan pemda agar pengurusan perizinan migas di daerah tidak perlu ke pemerintah kabupaten/kota, tetapi cukup di pemerintah provinsi,” ujar Wiratmadja.

Berbagai cara pun dilakukan pemerintah dengan berkoordinasi bersama para pemangku kepentingan, dengan harapan dapat mendukung kelancaran pelaksanaan kegiatan usaha hulu migas. Kerja sama ini memang diperlukan agar produksi migas nasional bisa ditingkatkan.
Selain itu, kondisi yang kondusif juga akan mendorong peningkatan investasi di sektor hulu migas. Meski harga minyak dunia tengah merosot dan membawa dampak yang kurang bagus bagi bisnis migas, Indonesia masih menarik bagi investor. Hal tersebut dibuktikan dengan ditandatanganinya sembilan wilayah kerja baru pada 22 Mei 2015.

“Investor sebenarnya masih tertarik untuk berinvestasi di sektor migas di Indonesia apabila perizinan-perizinan dipermudah,” kata Amien Sunaryadi selaku Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas).

Amien melanjutkan, jika SKK Migas terus melakukan pendekatan ke pemerintah provinsi dan kabupaten/kota, agar perizinan di daerah yang menyangkut migas bisa dipermudah, bahkan sebisa mungkin dikurangi jumlahnya. 

Seperti diketahui, dari total 341 izin yang harus dimiliki kontraktor kontrak kerja sama (kontraktor KKS), sebanyak 104 izin diterbitkan oleh pemda dengan rincian 35 perizinan di pemerintah provinsi dan 69 perizinan di pemerintah kabupaten/kota.

Lebih lanjut lagi beliau mengatakan, jika kurangnya pemahaman mengenai kegiatan usaha hulu migas dapat menjadi salah satu penyebab mengapa pemerintah daerah kurang mendukung industri hulu migas. Karena pemahaman yang masih kurang, harapan pemerintah daerah tidak sesuai dengan kontribusi yang bisa diberikan oleh sektor hulu migas.

“Inilah alasan mengapa sektor hulu migas perlu melakukan sosialisasi agar para pemangku kepentingan di daerah bisa paham,” kata Amien.

Amien pun berharap, agar sosialisasi tentang kegiatan usaha hulu migas ke pemerintah provinsi dan kabupaten/kota serta para pemangku kepentingan di daerah tidak hanya dilakukan SKK Migas. Asosiasi profesi seperti Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI), Himpunan Ahli Geofisika Indonesia (HAGI), dan Ikatan Ahli Teknik Perminyakan Indonesia (IATMI) yang juga paham tentang masalah perizinan diharapkan turut serta dalam sosialisasi.

Melalui sosialisasi, pemda diharapkan tidak hanya memahami kegiatan usaha hulu migas, tetapi juga turut menyiapkan sumber daya manusia (SDM) yang dibutuhkan industri ini. Pasalnya, dalam menjalankan kegiatan, kontraktor KKS membutuhkan dukungan SDM yang sebenarnya bisa dipenuhi oleh tenaga kerja lokal.
Dengan merasakan keuntungan dari industri hulu migas, pemda bisa menyederhanakan jumlah perizinan dan peraturan yang mereka keluarkan sehingga membantu kelancaran pelaksanaan kegiatan usaha hulu migas.

Di sisi lain, Kepala Kelompok Kerja Formalitas SKK Migas Didik Sasono Setyadi menyebutkan, jika dibutuhkan peran serta seluruh pihak untuk mencermati kerumitan yang ada, bukan hanya di permukaan saja, tetapi hingga ke substansi permasalahan.

“Seluruh pemangku kepentingan harus melihat industri hulu migas sebagai kegiatan usaha negara dan posisi para perusahaan migas itu sebagai pihak pengelola yang ditunjuk oleh negara,” tuturnya.

Karena itu keselarasan aturan antara pusat dan daerah tidak hanya akan membuat pelaku usaha tenteram namun lebih jauh akan mendorong terciptanya iklim usaha yang kondusif yang bisa menarik investor baru di sektor hulu minyak dan gas bumi. Hal ini berarti kesinambungan kontribusi sektor ini bagi pemenuhan kebutuhan energi nasional dan penerimaan negara.

(Adv/GR)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya