Liputan6.com, Jakarta - Bank Dunia melaporkan bahwa penyediaan perumahan yang terjangkau menjadi salah satu prioritas kebijakan pembangunan. Hal itu mengingat 40 persen rumah tangga menengah tidak mampu menjangkau perumahan formal tanpa bantuan subsidi.
Berdasarkan laporan Bank Dunia berjudul perkembangan triwulanan perekonomian Indonesia di tengah volatilitas dunia Oktober 2015 yang ditulis Senin (23/11/2015), 40 persen rumah tangga terbawah di Indonesia dapat dikatakan tidak dapat menabung dan tidak mampu membeli unit sangat sederhana senilai Rp 15-30 juta tanpa subsidi besar-besaran.
Adapun salah satu hal yang menghambat kepemilikan perumahan itu adalah keterjangkauan. Terbatasnya inklusivitas keuangan, penghasilan rendah, dan terbatasnya tabungan rumah tangga membuat akses ke sektor perumahan formal sulit dijangkau.
Akibatnya, hanya 20 persen rumah tangga terkaya yang mendapatkan perumahan melalui pasar komersial formal. Selain itu, kondisi kekayaan dan produk domestik bruto (PDB) Indonesia serta penetrasi pinjaman dengan agunan masih terbatas.
Pinjaman dengan agunan terhambat oleh berbagai faktor rumit. Pertama, sebagian besar orang Indonesia belum memiliki kemampuan untuk mengajukan agunan tanpa bantuan subsidi, sementara program-program subsidi pemerintah terkait agunan belum berjalan baik akibat kurangnya pendanaan dan rancangan yang buruk.
Baca Juga
Advertisement
Kedua, lebih dari 60 persen orang Indonesia belum menjadi bagian dari angkatan kerja formal dan karenanya tidak memiliki akses memadai ke sistem keuangan.
Ketiga, sektor perbankan kurang memiliki akses ke pendanaan terjangkau dan berjangka panjang dari pasar modal, sedangkan pasokan rumah baru dengan harga terjangkau seringkali berada di lokasi yang kurang ideal sehingga mendorong kaum miskin perkotaan ke pinggiran kota.
Keuangan tak memadai dan harga lahan di tengah kota yang tinggi membuat rumah tangga berpenghasilan rendah kerap terpaksa membeli rumah di pinggiran kota.
Akibatnya, rumah tangga ini akhirnya harus mengeluarkan uang lebih banyak untuk biaya transporasi yang lantas menimbulkan dampak negatif lebih luas terkait kemacetan dan pola pengembangan ruang kota yang tidak ekonomis ataupun berkelanjutan.
Kegagalan dalam penyediaan perumahan terjangkau telah berkontribusi pada berkembangnya daerah kumuh. Diperkirakan 12,2 persen penduduk kota saat ini tinggal di daerah kumuh yang luasnya mencapai 38.430 hektar.
Pemerintah pun telah menjadikan pengatasan kekurangan perumahan dan penyediaan perumahan terjangkau sebagai agenda prioritas kebijakan eksplisit dan telah mengusulkan peningkatan belanja sektor perumahan secara signifikan.
Rencana yang ada meliputi skema tabungan wajib perumahan serta inisiatif ambisius yang disebut sebagai program satu juta rumah. Program ini bertujuan untuk membangun rata-rata 1 juta unit perumahan per tahun selama 5 tahun ke depan.
Meski ambisius, sasaran yang ditetapkan pemerintah cukup layak mengingat kebutuhan akan perumahan terjangkau akibat terbentuknya rumah tangga baru setiap tahun serta kekurangan perumahan yang ada pada saat ini. Peningkatan belanja pemerintah dalam sektor perumahan sangat berpotensi untuk memperbaiki kondisi perumahan.
Namun, untuk mewujudkan hal itu, kebijakan perumahan sebaiknya diarahkan kembali ke rumah tangga berpendapatan rendah. Bank Dunia menilai selama ini belanja publik untuk sektor perumahan tidak selalu adil.
Analisis Bank Dunia
Analisis Bank Dunia
Bank Dunia menilai tidak ada satu pendekatan tunggal mana pun yang dapat menyediakan perumahan terjangkau dalam jumlah memadai di Indonesia. Kebutuhan dan permintaan perumahan berbeda antar daerah di Indonesia dan memerlukan tanggapan kebijakan yang berbeda.
Sebagai contoh, sejumlah besar unit perumahan yang belum layak bisa mengambil manfaat dari program perbaikan atau perluasan rumah bersubsidi. Diperkirakan 3,9 juta rumah tangga yang tinggal di daerah kumuh yang memerlukan perbaikan, pembangunan kembali di lokasi sama, atau relokasi.
Terlepas dari kebutuhan yang rumit dan beragam, pemerintah dapat mengambil beberapa langkah dalam jangka pendek dan menengah untuk meningkatkan akses ke perumahan terjangkau serta menciptakan keadilan dan efisiensi lebih dalam sistem perumahan.
Langkah-langkah ini berdasarkan tingkat kerumitannya antara lain meningkatkan jumlah dan proporsi belanja pemerintah terhadap program yang secara langsung dan efektif menyasar penduduk 40 persen terbawah, meningkatkan akses ke kredit perumahan bagi rumah tangga berpendapatan rendah dan sektor informasi, serta memobilisasi lahan perkotaan untuk perumahan terjangkau.
Analisis Bank Dunia menunjukkan kalau sebaiknya pemerintah menggali potensi perluasan subsidi perbaikan, Bantuan Stimulan Perumahan Swadaya (BSPS) atau subsidi di muka, untuk perbaikan rumah secara bertahap, terutama untuk kawasan perkotaan yang memiliki kebutuhan perumahan paling mendesak.
Mengingat 70 persen dari total rumah di Indonesia merupakan rumah yang dibangun sendiri, metode perbaikan rumah secara bertahap telah terbukti merupakan suatu solusi yang efektif.
Subsidi itu dinilai mampu secara efektif menjangkau kelompok-kelompok sasaran. Program ini memastikan penggunaan dana secara tepat dan meningkatkan keterjangkauan melalui pengurangan biaya kredit, teknik dan tenaga kerja. Program BSPS terutama menyasar kawasan pedesaan, tetapi sedang diperluas ke kawasan pinggiran kota.
Saat ini terdapat permintaan dalam jumlah besar atas perumahan dengan harga terjangkau di Indonesia. Terdapat kurang lebih 64,1 juta unit perumahan di Indonesia, sekitar 20 persen di antaranya berada dalam kondisi buruk.
Meskipun perkiraan mengenai kekurangan pasokan di sektor perumahan bervariasi, emua perkiraan mengindikasikan adanya kebutuhan berjumlah besar yang masih belum terpenuhi. Berdasarkan sensus nasional, BPS memperkirakan kebutuhan perumahan yang belum terpenuhi mencapai 17,2 juta unit. (Ahm/Igw)**
Advertisement