Liputan6.com, Cambridge - Media sosial telah merambah ke segala penjuru dunia. Diperkirakan ada 1 di antara 4 orang di seluruh penjuru dunia ini menggunakan situs jejaring sosial. Di Amerika Serikat, seorang warga menghabiskan rata-rata 7,6 jam dalam sebulan untuk menggeluti media sosial. Bahkan sejumlah hewanpun sudah mempunyai akun media sosial.
Tidak dapat dipungkiri bahwa media sosial memungkinkan orang berhubungan satu dengan yang lainnya tanpa pusing soal letak benua ataupun zona waktu.
Baca Juga
Advertisement
Walaupun media sosial memungkinkan orang untuk tetap terhubung dengan mereka yang dikasihi di seluruh dunia, apakah media sosial bisa menjadi kecanduan? Apakah membeberkan kehidupan sendiri secara palsu di Intenet dapat meningkatkan rasa percaya diri?
Dibaca di Pyschology Today pada Selasa (24/11/2015), yang mendorong orang untuk memeriksa status dengan begitu seringnya memang sekedar gambar terbaik, ‘like’ paling banyak, dan jumlah ‘share’.
Agak jarang orang mengunggah tentang pergumulan sehari-hari melalui akun media sosial, antara lain karena kita digerakkan masyarakat untuk mempertontonkan bagian-bagian terbaik hidup kita, bukannya penderitaan.
Sangat boleh jadi kita memeriksa kabar-kabar Facebook segera sesudah bangun tidur, bahkan sudah menjadi kebiasaan bagi banyak orang.
Sejumlah penelitian menunjukkan dampak positif penguatan (reinforcement) pada otak dari kesertaan dalam media sosial. Kenyataannya, para peserta dalam suatu penelitian (Dar Meshi, Carmen Morawetz dan Hauke R. Heekeren, 2013) menunjukkan kegiatan yang lebih kuat pada daerah nucleus accumbens di dalam otak manusia ketika menerima umpanbalik positif tentang dirinya daripada ketika melihat orang lain yang mendapat umpanbalik positif.
Sejujurnya, penguatan positif memang sukar dihindari dan dapat mengarahkan orang kepada kecanduan Facebook ataupun media sosial lainnya. Pengkinian status dan foto dalam media sosial lebih sering menjadi versi yang diidealkan tentang kenyataan seseorang.
Haus gratifikasi
Haus Gratifikasi yang Segera
Motivasi untuk gratifikasi yang segera (instant gratification) dan pikiran bahwa apapun yang lebih besar dan lebih baik dapat membawa kebahagiaan telah mempengaruhi apa yang diunggah seseorang ke situs media sosial.
Hal ini dapat mengarah kepada pengguna yang terus menerus membandingkan dirinya dengan orang lain dan melihat hidupnya sendiri sebagai yang rendah dan berpotensi mengarah kepada perasaan negatif semisal cemburu atau rasa rendah diri.
Kelihatannya kaum remajalah yang terdampak paling dahsyat. Sejumlah penelitian (Hugues Sampasa-Kanyinga dan Rosamund F. Lewis, 2015) telah menunjukkan bahwa kaum remaja yang menggunakan media sosial lebih dari 2 jam sehari menunjukkan kecenderungan masalah kesehatan mental seperti depresi atau kecemasan.
Walaupun sebab-akibat langsungnya belum ketahuan, sejumlah bukti menunjukkan adanya hubungan antara jejaring sosial dan depresi di kalangan remaja. Hal ini bisa mengacu kembali kepada teori tentang gratifikasi yang segera dan rasa rendah diri, atau bisa juga karena meningkatnya risak dunia maya (cyber bullying) yang kerap terjadi melalui media sosial.
Menurut Hugues Sampasa-Kanyinga, M.D, penulis utama penelitian tersebut, “Mungkin saja para remaja yang memiliki masalah kesehatan mental mencari-cari interaksi karena mereka terasing dan kesepian.”
Advertisement
Lupa pada yang benar-benar penting
Hal-hal Terpenting
Media sosial dapat mengumpulkan orang dari beragam dunia bersama-sama. Keterhubungan dan pertemanan yang diberikan oleh situs semisal Facebook dapat menjadi hal yang mengubah hidup, terutama jika orang yang dikasihi berada nun jauh di sana.
Keburukannya, teknologi ini telah mengubah hubungan-hubungan masa kini dan, sebagai akibatnya, ketrampilan tatap muka antar pribadi tergerus di antara orang-orang.
Pada akhirnya, ingatlah hal-hal yang terpenting dalam hidup ini: terhubung secara langsung, sentuhan manusia, dan hubungan yang langgeng dan tulus. Jangan terpana dengan ketenaran status Facebook atau foto Instagram yang semakin membuat ketagihan. (Alx)