Liputan6.com, Jakarta - Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah menegaskan, tindakan Sudirman Said yang melaporkan Ketua DPR ke Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) telah menyalahi UU MD3 tentang tata beracara.
"Dia (Sudirman Said) tidak punya legal standing. Pejabat eksekutif tidak boleh menyerang anggota dewan. Kalau dia melaporkan ke (ranah) hukum itu boleh, itupun sebetulnya di dalam tupoksi seorang pejabat tidak begitu caranya," ujar Fahri di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Selasa (24/11/2015).
Dia menyarankan, apabila Menteri ESDM mempunyai masalah pribadi dengan Setya Novanto, sebaiknya Sudirman Said melepaskan jabatan menteri yang disandangnya.
"Jangan Anda pakai (pin) Burung Garuda itu untuk gagah-gagahan, dari mana Anda dapat hak memakai Burung Garuda itu untuk gagah-gagahan? Tidak boleh dong, ini orang tidak ngerti hukum," tegas Fahri.
Dia menyarankan, sebaiknya polemik antara Menteri ESDM dan Ketua DPR tidak dianggap sebagai permainan kubu KMP ataupun koalisi pendukung pemerintah.
"Jangan dianggap ini permainan blok-blokan lah. Karena kami sendiri dengan Pak Jokowi kan tidak ada mempersulitkan. 1 Januari, sekitar sebulan lagi itu adalah eksekusi APBN 2016, dewan telah mengesahkan dan memberikan kemudahan kepada pemerintah. Kenapa tidak fokus di situ aja," tutur Fahri.
Dia mengungkapkan, selain tidak mengerti undang-undang, Sudirman Said ini telah mengganggu situasi kerja di DPR. Sebagai anggota dewan, ada tata tertib yang memperbolehkan anggota dewan untuk mendengarkan secara sungguh-sungguh keluhan dari seseorang.
"Itu adalah implementasi dari fungsi representasi. Anggota DPR itu adalah representatif rakyat, dia boleh mendengarkan apapun, positif atau negatif harus didengarkan," kata Fahri.
Baca Juga
Advertisement
"Jadi duduk ngumpul-ngumpul ngobrol itu adalah kerjaan anggota dewan, dia tidak bisa diadili, emang itu kerjaan rutinnya, jangan setiap duduk sama orang dituduh kongkalikong. Jangan gitu dong, jangan menikam diri sendiri, bangsa kita tidak boleh menikam dirinya sendiri terus menerus. Seolah-olah kita salah semua, padahal tidak ada yang salah," sambung dia.
Politikus Partai Keadilan Sejahtera itu menjelaskan, jarak perpanjangan kontrak Freeport dengan percakapan Setya Novanto itu 6 tahun. Sehingga tidak mungkin, seorang Ketua DPR menggunakan kekuasaannya untuk memberikan jaminan kelancaran kontrak.
"Masak jabatan Pak Novanto tinggal 4 tahun. Mungkinkah menjaminkan sesuatu yang baru terjadi 2 tahun setelah dia tidak lagi menjabat," jelas Fahri.
Selain itu, lanjut dia, percakapan yang beredar sudah terjadi 5 bulan yang lalu, dan dalam 5 bulan itu tidak ada pertemuan dan percakapan apapun.
"Kalau Anda betul-betul mau cari saham atau mau cari untung, kenapa tidak agresif, tiap hari telepon, tiap hari ketemu, minta tiap hari," kata Fahri.
Dia mengungkapkan, selama hampir 40 tahun Freeport berada di Indonesia, perusahaan tambang asal Amerika itu baru memberikan 9 persen sahamnya. Apabila ketua DPR meminta saham dalam waktu yang singkat maka hal ini terlihat aneh.
"Kok tiba-tiba datang duduk ngobrol di cafe bisa membuat saham kita nambah 20 persen? Dari mana gitu, jadi ini obrolan karena diintip, karena disadap, penguping-penguping kayak gini tidak punya moral sebetulnya," tegas Fadli.
Selain itu, dia menegaskan, tindakan menteri ESDM jelas melanggar undang-undang ITE. Pidananya bisa 10 tahun dan ganti rugi Rp 800 juta. (Nil/Bob)