Liputan6.com, Los Angeles - Aksi pembantaian yang terjadi di dalam gedung Bataclan, Paris, Prancis, tempat konser Eagles of Death Metal konser belum lama ini masih tergambar jelas di mata para personel band rock tersebut. Sebanyak 89 orang tak bersalah tercatat tewas di tangan para teroris.
Untuk pertama kalinya, kepada Vice di Los Angeles, Eagles of Death Metal menceritakan pengalaman mengerikan mereka tersebut di malam berdarah, Jumat, 13 Oktober 2015 lalu. Saat itu, ketika band tengah manggung, dua teroris bersenjata tiba-tiba masuk dan menembakan senjatanya.
"Kami tidak yakin apakah mereka menargetkan kami, tahu apa yang sedang terjadi," kata gitaris Eden Galindo.
Salah satu teroris berhenti untuk mengganti amunisi senjata. Saat itu kemudiam salah satu kru band berteriak kepada rekan-rekannya "Ayo!". Sejumlah anggota band kemudian mencoba berlari ke atas mencari perlindungan, namun mundur setelah melihat ada teroris lainnya. Turun, mereka menemukan pintu keluar ke jalan.
Basis Matt McJunkins sedang di ruang ganti bersama para fans, bersembunyi di balik tirai. Dikatakannya, orang-orang mencoba melarikan diri melalui pintu dari atas panggung. McJunkins berhasil melarikan diri melalui pintu backstage lainnya.
"Sejumlah orang tertembak dan berdarah," ujarnya. McJunkins lalu mengambil botol sampanye sebagai senjata. "Hanya itu yang kami punya," lanjutnya.
Pipa air pun bocor dan membanjiri lantai. "Kami khawatir karena airnya sudah sampai sepatu. Kami takut ada yang (teroris) yang mengetahuinya (keberadaan kami),".
Bunyi tembakan terus terdengar selama 10-15 menit. Mereka berhenti lalu melanjutkannya kembali. "Sebuah ledakan menggetarkan seluruh ruangan, mungkin seluruh gedung," katanya.
"Tembakan pertama begitu keras saya tahu ada sesuatu yang salah. Saya melihat dua orang di depan, dan mungkin itu adalah hal paling mengerikan, mereka mereka tak berhenti menembaki penonton," kata Julian Dorio, drummer Eagles of Death Metal. Dorio merangkak ke sisi kanan panggung, tertutupi oleh drum setnya, sampai ia bisa melarikan diri melalui pintu samping.
Jesse Hughes, salah satu pendiri Eagles of Death Metal berlari mencari pacarnya. Ia membuka pintu dan menemukan salah seorang teroris berdiri di hadapannya. "Peluru mengenai pintu dan saya seperti " Oh sial'." Hughes berlari ke bawah dan mendengar suara pacarnya berbicara kepada kru band. Ia lalu melarikan diri melalui pintu samping.
Hughes mengungkapkan kalau ia melihat orang-orang berdesakan tanpa bisa bergerak sama sekali. "Orang-orang tak tahu apa yang harus dilakukan."
"Pertunjukannya berlangsung baik, anak-anak itu menikmatinya. Lalu dua orang bersenjata masuk dan langsung menembak," kata Shawn London, penata suara Eagles of Death Metal. Dikatakannya, orang-orang lalu mencoba berlindung di balik peralatannya.
"Saya sedang berdiri dan saya lihat si penembak, dia menembakan senjatanya ke arah saya namun meleset dan mengenai peralatan. Ketika itulah saya langsung tiarap. Penembak itu melanjutkan menembak. Ia berteriak Allahu Akbar," lanjut London.
Baca Juga
Advertisement
Ketika teroris berhenti menembak, London dan lima orang lainnya lari. Mereka kembali ditembaki namun meleset, mengenai pintu kaca. Akhirnya, para personel band berhasil melarikan diri ke kantor polisi terdekat.
"Saya akhirnya bisa sedikit khawatir, setidaknya tentang ketidakjelasan (nasib)," ujar Hughes. "Masih kacau, masih banyak orang-orang dari konser datang berlumuran darah," timpal Galindo.
Orang pertama yang mereka hubungi adalah Joshua Homme, salah satu pendiri Eagles of Death Metal yang absen dalam konser malam itu. Ia sedang berada di dalam studio ketika menerima SMS berisikan pesan yang berbunyi "Semuanya tertembak. Mereka menyandera. Saya berlumuran darah,".
Jesse Hughes mengenang mereka yang tewas malam itu. Ia mengungkapkan, alasan dari banyaknya yang terbunuh adalah karena mereka tak mau meninggalkan orang-orang yang mereka cinta. Malam itu, para penonton datang tak sendirian, bersama sahabat dan kekasih mereka.
"Beberapa orang bersembunyi di kamar ganti, dan para pembunuh berhasil mengambil dan membunuh semuanya, kecuali seorang anak yang bersembunyi di balik jaket kulit saya. Alasan hebat banyak yang mati adalah karena banyaknya orang yang tak mau meninggalkan teman-teman mereka," kata Hughes.
Nick Alexander, manager merchandiser Eagles of Death Metal tewas malam itu karena melindungi orang lain. "Ia berdarah karena tak ingin orang lain tersakiti," kata Hughes mulai menangis.
Homme menunjukan daftar nama-nama yang tak berhasil selamat malam itu. "Sangat sulit kupercaya. Saya ingin menulisnya untuk melihat. Ya Tuhan, orangtua mereka. Seandainya saya bisa berbicara kepada orangtua mereka. Saya ingin berlutut dan bilang, 'apapun yang kau butuhkan',".
Meski begitu, Eagles of Death Metal tidak takut untuk kembali ke Paris. Mereka berencana kembali manggung secepatnya mengenang para penggemar mereka yang tewas.
"Saya tak sabar untuk kembali ke Paris. Saya ingin main. saya ingin menjadi band pertama yang tampil setelah Bataclan dibuka kembali. Teman-teman kami menonton rock n roll di sana dan mati. Saya ingin ke sana dan hidup. Kami tak akan melupakan kalian, Kami mencintai kalian semua. Saya cinta kalian semua, dan kami akan melaluinya," kata Hughes.
Eagles of Death Metal telah meminta sesama musisi lainnya untuk meng-cover lagu hits mereka I Love You All the Time yang keuntungannya nanti akan disalurkan kepada para korban pembantaian teror Paris. (Gul/fei)