Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah Provinsi Sumatera Utara menagih pajak air permukaan (PAP) terhadap PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum). Berdasarkan tarif industri progresif sebesar Rp 1.444/m3, pajak selama 1 tahun PT Inalum (Asahan II) mencapai Rp 500 miliar lebih.
Hal ini dirasa berat oleh PT Inalum. Mereka lalu meminta Pemprov Sumut untuk mengganti beban pajaknya berdasarkan tarif pembangkit listrik. Bukan tarif industri.
Permintaan itu mendapatkan dukungan dari DPR. Wakil Ketua Komisi VI DPR Heri Gunawan menilai PT Inalum bisa bangkrut jika dibebankan pajak air permukaan berdasarkan tarif industri.
"Hal ini sangat memberatkan, tidak adil, dan Inalum bisa bangkrut karena pajak daerah ini," kata Heri dalam pernyataan tertulisnya pada Rabu 25 November 2015.
Baca Juga
Advertisement
Dia mengatakan, Pemprov Sumut sebenarnya sudah pernah minta Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Sumut untuk mengkaji berapa besaran PAP yang wajar untuk pembangkitan listrik untuk kepentingan sendiri atas Inalum, yaitu Rp 19,8/kWh.
Padahal, lanjut Heri, PAP untuk listrik yang dijual ke PLN yang dikenakan kepada Asahan 1 berdasarkan tarif adalah Rp 7,5/kWh.
"Inalum sudah setuju dan bersedia membayar sesuai kajian BPKP tersebut dimana 240 persen lebih besar dari PAP untuk pembangkitan listrik yang dijual ke PLN, yaitu Rp 7,5/kWh," tutur dia.
Heri menjelaskan, sesuai dengan kajian BPKP, dalam satu tahun Inalum akan membayar PAP sekitar Rp 86 miliar. Selain itu, Inalum masih akan membayar PBB, Pajak Penerangan Jalan (PPJ), Izin Gangguan, dan retribusi lain sesuai perda yang ada.
"Inalum mengusulkan dibuat MOU (nota kesepahaman) supaya Inalum dapat membayar kekurangan dari hitungan BPKP," kata dia.
"Dengan catatan nanti akan diperhitungkan setelah ada ketetapan final dan surat penolakan atas surat keberatan Inalum, kami minta dicabut selama proses untuk mendapatkan ketetapan yang final," pungkas Heri. (Ndy/Bob)