Liputan6.com, Jakarta Sebaran suara tetamu peragaan busana Sebastian Gunawan di foyer Ciputra Artpreneur Gallery redam kala memasuki ruang show yang penuh pepohonan dan bunga layaknya hutan. Dari yang merambat hingga yang menjuntai, hijau maupun ungu tetumbuhan cantik menaungi kursi-kursi tamu yang diatur seturut kelok jalur para perinya berjalan.
Ketentraman mythical dari latar temaram ini hadir sebagai interpretasi Seba (panggilan akrab Sebastian Gunawan) atas lakon A Midsummer Night’s Dream karya sastrawan Inggris yang mashyur di masa Rennaisans abad 16, William Shakespeare. Sekitar pukul 8 malam, undangan yang terdiri dari wajah-wajah ternama kalangan desainer sampai selebriti – dan mereka yang duduk di baris pertama berkontribusi positif pada Yayasan Cinta Anak Bangsa – menyaksikan A Midsummer Night’s Dream gubahan Seba.
Advertisement
Hampir semua peri hutan dengan boots berkilau sebagai alas kakinya itu melangkah mengenakan gaun-gaun modern menawan, midi maupun maxi, yang akar Eropa klasiknya tetap kental terasa. Sejumlah kecil lainnya lebih “bandel” dengan memakai jumpsuit wanita urban masa kini. Salah satu hal menonjol dari koleksi Seba kali ini adalah tekstur busana. Sedemikian rupa desainer lulusan Lembaga Pengajaran Tata Busana dan Istituto Marangoni Italia ini mengolah material kain menjadi busana yang sophisticated melalui rupa-rupa tekstur tiru alam.
Kemahirannya berhasil melahirkan gaun semu pink tanpa lengan berbelahan dada rendah dengan bagian-bagian bak dedaunan liar menjalar. Di satu cape, garis hutan yang tampil ialah sulur-sulur bergelombang. Bunga dihadirkan melalui embellishment tiga dimensi seperti pada sebuah one-shoulder dress. Variasi ruflle ekstra besar menjadi aksen statement dari off shoulder dress warna keemasan. Lepas dari jalan cerita milik Shakespeare, di perhelatan yang berlangsung pada Kamis, 19 Februari 2015, peri-peri hutan Seba mementaskan kisah tersendiri perihal keterampilan tangan nan piawai. Tentang apa yang disebut sebagai adibusana.
Nama Frank Cintamani selaku pendiri Asian Couture Federation perlu disebut di dalamnya. Datang bukan hanya untuk melihat show desainer kelahiran tahun 1967 itu, Frank mewakili Asian Couture Federation juga memberi penghargaan Best Couture House in Indonesia kepada Seba. Dalam konteks wacana mode global, apa yang dilakukan oleh Frank jelas bukan sekadar bentuk apresiasi terhadap seorang desainer Indonesia yang merancang koleksi adibusana. Tindakan tersebut dapat dipandang sebagai sebuah sikap dan penegasan akan bagaimana realita haute couture perlu diperlakukan.
Isunya ialah seputar haute couture dalam hegemoni Paris. Dalam artikel berjudul `A Couture Stage Beyond Paris: Destiny, Dream, or Delusion?` di situs Business of Fashion, Frank mengatakan, “Saya percaya bahwa banyak desainer di seluruh dunia berkapabilitas menciptakan koleksi couture yang bisa disejajarkan dengan segala yang dapat ditemui di Paris. Tak diragukan bahwa Paris telah membangun reputasi hebat di bidang couture dan jelas bahwa di sana terdapat kolam bakat yang mendukung hal itu. Tapi untuk menyatakan bahwa satu kota manapun punya monopoli bakat couture itu tak masuk akal”.
Artikel yang sama menampilkan pendapat kontras dari Didier Grumbach, Ketua dari Chambre Syndicale de la Haute Couture saat itu. Melihat berbagai pagelaran couture di beberapa belahan bumi, Grumbach tajam menyebut bahwa couture yang sesungguhnya tetap bersemayam di Paris. “Rancangan-rancangannya sangat klasik dan tidak semenarik dengan apa yang ditampilkan di Paris,” ucap Grumbach tentang PCJ Delhi Couture Week. Sambungnya, “Mengenai show di Singapura, itu juga satu hal. Itu bukan haute couture, tapi sejenis ready-to-wear. Koleksinya dikerjakan sangat baik, cerdas, dan punya tempatnya sendiri. Tapi itu bukan couture sebenarnya”.
Menjelaskan mengapa kota menara Eiffel itu akan tetap bertahan legasinya dalam hal haute couture, Serge Carreira yang adalah pengajar di institut riset bergengsi Science Po Paris memberi sebuah metafora. Katanya, “Sebagaimana Anda tak bisa menyebut sebuah minuman sebagai champagne bila anggur yang digunakan tak berasal dari daerah Champagne, Anda tak bisa menghasilkan haute couture tanpa memiliki atelier di kota Paris”. Seperti diketahui, memiliki atelier di Paris dengan sejumlah tenaga kerja full-time di sana merupakan salah satu dari seperangkat syarat ketat yang ditetapkan Chambre Syndicale de la Haute Couture untuk sebuah label bisa menyandang titel haute couture di Prancis.
Itulah sebabnya pula, keanggotaan dari organisasi tersebut dibedakan antara Full Member bagi brand yang berbasis di Paris seperti Chanel dan Dior, dan Correspondent Member untuk brand yang basisnya di luar Paris seperti Versace. Begitu signifikannya eksistensi di Paris bahkan terlihat dari fakta bahwa para Guest Member, yang untuk keikutsertaan di show Januari 2016 adalah Aouadi, Guo Pei, dan Iris van Herpen, memiliki representasi di ibukota Prancis tersebut. (Pada jadwal show di situs resmi Chambre Syndicale de la Haute Couture, perbedaan jenis keanggotaan dilihat dari tanda bintang di nama label).
Tak aneh bila Paris punya posisi tersendiri untuk realita haute couture. Historisitasnya menjadi alasan utama. Hubungan antara kota romansa itu dengan fesyen memang tumbuh dalam sejarah yang sangat panjang. Perkembangannya bisa dilacak hingga ke masa Marie Antoinette menjabat sebagai Ratu Prancis di abad 18. Adalah desainer Prancis Rose Bertin yang menjadi sosok dibalik kemegahan gaun-gaun Antoinette. Eksklusifitas busana made-to-order bagi klien VIP memang bukan hal baru. Tapi baru oleh Charles Frederick Worth lah bidang haute couture kukuh. Dalam penjelasan The Metropolitan Museum of Art di situs resminya, dikatakan bahwa untuk pelanggan premiumnya, desainer abad 19 itu menyuguhkan beberapa rancangan yang diperagakan model di House of Worth untuk dipilih dan kemudian pesanan dikerjakan di workshop-nya.
Spotlight terhadap Worth yang berasal dari Inggris ini menghantarkannya pada “penobatan” sebagai Bapak Haute Couture. Yang penting untuk diperhatikan dari hal ini adalah bahwa dunia haute couture telah lama “terkontaminasi” oleh elemen-elemen non-Paris. Apa hal ini lantas menjadi coreng baginya? Nyatanya pernyataan bernada positif akan keberagaman di wilayah haute couture terbaca jelas di situs resmi Chambre Syndicale de la Haute Couture. “Kualitas unik dari The Fédération Française de la Couture, du Prêt-à-Porter des Couturiers et des Créateurs de Mode adalah bahwa keanggotaannya mencakup perusahaan non-Prancis termasuk Jepang, Italia, Belgia, Cina, Korea, dan lain-lain. Keberagaman ini mencerminkan perkembangan globalisasi fesyen,” demikian bunyinya.
Tak jadi soal bila Fédération Française de la Couture, du Prêt-à-Porter des Couturiers et des Créateurs de Mode dan Chambre Syndicale de la Haute Couture sebagai bagian di dalamnya punya visi untuk mempreservasi posisi Paris sebagai Ibukota Fesyen Dunia. Hal ini lantang dinyatakan oleh Ralph Toledano, ketua organisasi itu saat ini, dalam artikel New York Times berjudul `Paris Fashion Trade Group Selects New Leader`. Tapi seandainya tujuan itu berusaha dicapai dengan mengeksklusikan para couturier non-Paris, bukankah itu merupakan satu mekanisme kekerasan? Dalam kasus ini, opresi kuasa itu beroperasi melalui agen bahasa, melalui bagaimana term `Haute Couture` bisa mendapatkan makna dan fungsinya, yaitu hanya ketika ia dilafalkan oleh Chambre Syndicale de la Haute Couture. (Anda bisa merujuk lebih dalam landasan teoretisnya pada konsep Speech Acts di filsafat bahasa)
Apa yang terjadi ini bukan sekadar memiliki konsekuensi legal di Prancis, tapi konsekuensi pada realita fesyen global, yakni pada akreditasi couturier di berbagai belahan negara yang basisnya non-Prancis. Bahkan akhirnya tak jarang desainer yang urung (mungkin juga jadi tak percaya diri atau takut) menyebut koleksinya sebagai couture dengan alasan menghormati Prancis. Ketika fesyen, termasuk di lingkupnya adalah couture, ialah tentang perayaan daya kreasi imajinasi manusia sebagai identitas distingtifnya, tentu merupakan kejanggalan sekaligus penghinaan represif bila pendefinisiannya ditentukan oleh letak teritorial. Tapi apa kemudian upaya liberasi istilah Haute Couture ini serta merta menjustifikasi tiap perancang untuk dapat memproklamasikan diri sebagai couturier?
Fesyen sebagai institusi sosial menyuratkan takdir perihal pengakuan atau konsensus sosial atas predikat yang melekat pada subjek-subjek di dalamnya. Hal serupa pun terjadi di area seni lain. Tiap individu bisa punya bakat melukis atau mendesain dan menghasilkan karya-karya spektakuler, tapi bagaimana predikat sebagai pelukis atau desainer bisa melekat pada dirinya di perbincangan publik bergantung pada afirmasi dunia lukis dan dunia desain yang diisi oleh para anggota asosiasi, kritikus di media, konsumen, patron, perusahaan dagang, kurator museum, seniman atau desainer lain, dan lain sebagainya. Anda bisa mendalami dasar konseptual hal ini pada teori `Artworld` dari filsuf postmodern Arthur C. Danto, sebagaimana dipaparkan oleh situs New York Times dalam artikel `Arthur C. Danto, a Philosopher of Art, Is Dead at 89`.
Kehadiran Asian Couture Federation sejak tahun 2013 dimana desainer Kenzo Takada menjabat sebagai Honorary President menjadi satu kanal bagi desainer-desainer di Asia ditasbihkan secara formal sebagai couturier. Persinggungan antara organisasi-organisasi “pengasuh” haute couture adalah satu risikonya. Seorang couturier yang diakui oleh satu organisasi bisa saja tak diakui oleh organisasi lainnya. Apa ini artinya ada kebutuhan untuk satu platform global untuk mengurus wilayah haute couture yang di dalamnya terjadi “penyebaran” pusat? Secara faktual, seperti diutarakan Robb Young yang adalah konsultan luxury brands dan editor situs Business of Fashion pada artikel BBC berjudul `Secrets of couture: The world’s most exclusive clothing`, di berbagai negara muncul couturier diluar rekognisi formal Chambre Syndicale de la Haute Couture, dan desainer Indonesia Biyan Wanaatmadja adalah satu contoh yang disebutnya.
Dengan kondisi saat ini, alam haute couture tampak menapaki satu era dimana rekognisi couturier non-Paris bersuara di kancah global, meski mungkin kota yang menjadi basisnya belum menjadi pusat fesyen sebagaimana Paris. Saat kota-kota berbagai penjuru dunia mampu berdiri sejajar untuk menelurkan perancang-perancang adibusana, itukah keadaan paling ideal dari wilayah haute couture? Satu hal yang sejauh ini belum dibahas bisa menghambat Anda untuk sampai pada kesimpulan indah itu. Yaitu mengenai esensi dari desain haute couture itu sendiri. Desain mana yang disebut dengan haute couture? Sebuah pertanyaan yang sama filosofisnya dengan proyek mendefinisikan apa itu seni.
Pertanyaan tersebut mungkin lebih tepat untuk digarap oleh para filsuf namun penting untuk tetap hadir di semua elemen masyarakat fesyen agar terhindar dari satu jebakan fatal yang bisa menjatuhhkan fesyen pada sekadar masalah pembangunan jejaring sosial dan melepaskan fesyen dari kesejatiannya sebagai manifestasi kapabilitas manusia berdaya imajinasi serta kreasi sebagai identitas distingtifnya. Akan menjadi terlalu menjijikan bila dunia fesyen diisi oleh desainer, klien, asosiasi, media, yang berelasi satu sama lain hanya demi nama tanpa hirau lagi soal aspek estetika desain.
Kembali ke perhelatan busana Sebastian Gunawan, bagaimana dengan desainnya kali ini di A Midsummer Night’s Dream? Teknik lipat membentuk pita di bagian dada pada sebuah gaun siluet mermaid atau juga pada rancangan jumpsuit yang disertai jubah brocade bunga-bunga, serta teknik moulage yang dipakai di koleks iini merupakan sebuah penyegaran atas garis-garis khas Seba yang masih dipakai. Meski tak sedikit juga dari busana-busananya yang kental cetak birunya atas koleksi-koleksi lalu, penyegaran yang dilakukan bagai angin harapan bahwa Seba berkemampuan untuk terus mengeksplorasi sketsa rancangannya menembus garis-garis yang selama ini dibuat.
Semoga keberanian menciptakan hal tersebut yang akan membawa Seba menuai nama harum saat nantinya menampilkan koleksi di Paris Couture Week. Sebagaimana diinformasikan oleh Frank Cintamani, selain Seba ada 3 desainer Asia yang akan menampilkan koleksinya di event prestisius fesyen yang diselenggarakan 2 kali setahun itu.
(bio/igw)