[KOLOM] Dukungan Palsu Presiden Madrid untuk Benitez

Sejarah kepemimpinan Florentino Perez di Madrid membuktikan jika tak ada pelatih yang mampu melatih lebih lama dari tiga tahun.

oleh Liputan6 diperbarui 27 Nov 2015, 07:30 WIB
Kolom Bola Asep Ginanjar (grafis: Abdillah/Liputan6.com)

Liputan6.com, Jakarta: Kekalahan beruntun dari Sevilla dan Barcelona, kebobolan tujuh gol dalam dua laga, lambaian sapu tangan putih dari para Madridistas saat El Clasico, dan rumor konflik dengan Cristiano Ronaldo. Itu semua ternyata tidak lantas membuat Rafael Benitez didepak dari kursi pelatih Real Madrid. Presiden Florentino Perez pada Senin (23/11) menyatakan tetap mendukung Benitez.

“Saya sangat memahami kemarahan para fans setelah pertandingan Sabtu lalu. Tapi, kita butuh persatuan. Rafa Benitez baru saja memulai kerjanya. Kita harus membiarkan dia bekerja dan yakin kemenangan-kemenangan akan datang,” tutur pengusaha konstruksi berumur 68 tahun tersebut.

Putusan itu tentu mengecewakan bagi mereka yang melambaikan sapu tangan putih di Santiago Bernabeu, Sabtu lalu itu. Kalah dari Barcelona memang hal biasa. Namun, kalah dengan margin empat gol di kandang sendiri adalah hal langka. Terakhir kali itu terjadi pada masa pelatih Juande Ramos musim 2008-09 saat Los Blancos kalah 2-6.

Bek Real Madrid, Sergio Ramos, menilai kekalahan timnya tak sepenuhnya menjadi kesalahan pelatih Rafael Benitez.

Dalam El Clasico pada Sabtu lalu, tampak jelas ketidakmampuan Benitez menyiapkan taktik jitu. Terlepas dari ketangguhan Claudio Bravo di bawah mistar gawang lawan, kekeliruan taktik Benitez sangat terlihat nyata. Ini bak tirai kelabu bagi para Madridistas. Mereka tak bisa lagi terlalu berharap untuk melihat Ronaldo cs. berjaya karena Barcelona adalah rival di Divisi Primera dan Liga Champions.

Akan tetapi, putusan sang presiden sebenarnya bisa dipahami. Bagaimanapun, terlalu dini menghakimi pelatih yang baru bekerja sekitar lima bulan. Lagi pula, baru Sevilla dan Barcelona yang mengalahkan mereka. Sebelumnya, baik di Divisi Primera maupun Liga Champions, Madrid tak terkalahkan. Jadi, tak cukup alasan untuk menyebut Benitez telah gagal total.

Dalam periode keduanya memimpin Madrid, Perez memang tak lagi cepat kecewa dan reaktif. “Saya sekarang lebih bijak dan telah belajar dari kesalahan-kesalahan yang dilakukan pada masa lalu,” kata dia pada 2009.

Sikap lebih bijak itu antara lain lebih sabar terhadap pelatih. Sejak kembali ke kursi presiden klub, tak satu pun dari Manuel Pellegrini, Jose Mourinho, dan Carlo Ancelotti yang didepak pada pertengahan musim. Walaupun selalu diwarnai ketegangan, Perez hanya melepas ketiganya pada akhir musim.

Ini berbeda dengan periode pertamanya pada 2000-2006 yang diwarnai pemecatan terhadap Mariano Garcia Remon dan Vanderlei Luxemburgo saat memasuki Desember. Itu tak termasuk Jose Antonio Camacho yang mundur setelah hanya melakoni enam pertandingan.


PEMAKLUMAN BAGI BENITEZ

Karikatur Rafael Benitez (Abdillah/Liputan6.com)

Kini, setidaknya Perez lebih cermat dalam berhitung. Di sudut hatinya, sangat mungkin dia kecewa terhadap Benitez yang pada awal musim disebutnya sebagai solusi. Namun, ketika tidak ada figur pelatih pengganti yang apik, memecat eks pelatih Napoli itu bukanlah langkah tepat. Alih-alih bangkit, bisa saja Los Blancos justru makin terpuruk.

Andai saja Jürgen Klopp belum bergabung dengan Liverpool, sangat mungkin Perez lebih berani. Seperti diungkapkan Ramon Calderon, eks presiden Madrid, Klopp berada di urutan kedua di bawah Joachim Löw dalam daftar buruan Los Blancos pada awal musim. Klopp juga diinginkan oleh para Madridistas. Kini, tak ada lagi pelatih dengan kapasitas dan kapabilitas seperti itu yang tengah menganggur.

Perez rupa-rupanya belajar dari periode pertamanya memimpin Madrid. Sempat coba-coba menunjuk pelatih tanpa nama besar, dari Carlos Queiroz, Remon, Luxemburgo, hingga Juan Ramon Lopez Caro, tak ada prestasi yang berhasil didulang Los Blancos.

Ekspresi pemain Madrid setelah gawangnya kebobolan oleh pemain Barcelona dalam laga La Liga Spanyol di Stadion Santiago Bernabeu, Madrid, Minggu (22/11/2015) dini hari WIB. (AFP Photo/Javier Soriano)

Soal Madrid yang kini berada di posisi ketiga dan terpaut enam poin dari Barcelona di puncak klasemen juga bukanlah hal yang patut dicemaskan. Saat Perez berkuasa, posisi berapa pun saat kompetisi melalui 12 pekan bukanlah jaminan juara. Dari empat kesempatan, hanya pada 2011-12, Madrid memuncaki klasemen pada jornada ke-12 dan mengakhiri musim sebagai juara.

Koleksi 24 poin dari 12 laga yang tercatat sebagai raihan terendah dalam satu dekade terakhir pun bukan berarti rapor Benitez buruk. Patut dicatat, ini adalah musim pertamanya di Santiago Bernabeu. Pada era kepemimpinan Perez, ada tradisi menarik. Tak satu pun pelatih yang sanggup membawa Madrid juara Divisi Primera saat menjalani musim pertama.

Mourinho hanya membawa Los Blancos juara Copa Del Rey pada 2010-11. Musim itu, gelar juara liga disambar Blaugrana. Pada 2013-14, Ancelotti memang membawa Madrid meraih La Decima di Liga Champions dan menjuarai Copa Del Rey. Namun, gelar juara liga justru disambar tetangga sekota, Atletico Madrid. Adapun dua pelatih lain yang ditunjuk pada awal musim dan bertahan hingga pengujung musim, Queiroz dan Manuel Pellegrini, justru gagal meraih trofi.


TAMENG KEGAGALAN

Florentino Perez (kanan) saat memperkenalkan pelatih baru Real Madrid, Rafael Benitez, di Stadion Santiago Bernabeu, Rabu (3/6/2015). Benitez ditunjuk sebagai menggantikan Carlo Ancelotti. (Reuters/Sergio Perez)

Terlepas dari sikap yang terlihat lebih bijak itu, sesungguhnya Perez tidaklah berubah. Di Madrid, dia masihlah matahari, sang pusat galaksi. Sebagai presiden, dia tak melulu berkutat dengan urusan finansial, tetapi juga merambah ke urusan yang sejatinya wilayah direktur sepak bola dan pelatih.

Selain itu, Perez tetaplah sosok yang selalu menjadikan pelatih sebagai kambing hitam. Arrigo Sacchi yang pada 2004 didatangkan sebagai direktur sepak bola sempat mengutarakan hal itu. “Jika ada pesawat terbang yang jatuh di Kolombia, dia (Perez) akan menyalahkan pelatih. Bila ada pemain yang datang dalam keadaan mabuk, pelatih juga yang disalahkan,” terang Sacchi pada 2009.

Patut dicatat pula, pernyataan dukungan terhadap pelatih biasanya semu belaka. Musim lalu, hanya dua bulan setelah menyatakan tetap percaya kepada Ancelotti, Perez mengumumkan sang pelatih tak akan memimpin Los Blancos pada awal musim 2015-16. Sebelumnya, dukungan bagi Jose Mourinho hanya berlaku empat bulan.

Presiden Real Madrid, Florentino Perez, memastikan nasib pelatih Rafael Benitez aman dari pemecatan menyusul kekalhan 0-4 melawan Barcelona pada laga El Clasico, Minggu (22/11/2015) dini hari WIB. (REUTERS/Juan Medina)

Sikap permisif terhadap Benitez kali ini tentu saja bukan tanpa maksud tertentu. Benitez adalah tameng bagi Perez yang mulai kehilangan kepercayaan dari para Madridistas. Saat El Clasico, terdengar seruan “Florentino mundur!” Tak jauh dari Santiago Bernabeu bahkan didapati grafiti “Florentino mundur” itu. Bila Benitez didepak, secara otomatis segala tekanan dan hujatan akan langsung terarah kepadanya.

Belakangan ini popularitas Perez memang menukik. Itu tak terlepas dari kegagalannya memenuhi janji kampanye. “Kami akan menciptakan proyek spektakuler dan sekali lagi membuat Real Madrid sebagai klub terbaik di dunia. Kami ingin membersihkan citra klub dan menjadi pemimpin di Eropa,” urai Perez pada 2009. “Klub seperti Madrid perlu memiliki beberapa pemain terbaik dunia.”

Dalam urusan finansial, Perez terbilang sukses. Madrid masih berada di urutan teratas klub berpendapatan terbesar di dunia. Namun, prestasi di lapangan tidaklah demikian. Dalam enam musim, Madrid hanya mengoleksi satu gelar Liga Champions, satu gelar Divisi Primera, dan dua gelar Copa Del Rey. Empat gelar itu hanya setengah dari perolehan Barcelona dalam periode yang sama.

Perez juga gagal di bursa transfer. Kegagalan terbesar tentu saat kalah dari Barcelona dalam perebutan Neymar, pemain yang disebut-sebut sebagai superstar baru selepas era Lionel Messi dan Ronaldo. Memang ada Gareth Bale, pemain termahal dunia. Namun, Bale bukanlah sosok ikon masa depan seperti Neymar. Hal serupa berlaku bagi rekrutan lain macam Toni Kroos dan James Rodriguez.

statistik grafis Rafael Benitez (Abdillah/Liputan6.com)

Antipati terhadap Perez juga disebabkan oleh kebijakan tak populer dalam beberapa tahun terakhir. Di antaranya membuat Madrid lebih sebagai korporasi bisnis ketimbang keluarga. Tengok saja Raul Gonzalez yang dipaksa pergi pada 2010. Tak ada kesempatan pensiun di Santiago Bernabeu bagi sang legenda. Musim ini, Madrid juga mendepak Iker Casillas, pemain yang sejak umur 9 tahun berkostum Los Blancos. Lalu, jangan lupa penjualan Mesut Özil, pemain yang dicintai para Madridistas.

Saat ini, perlawanan terhadap Perez pun tengah terjadi di ranah hukum. Pada 2012, Perez berhasil menggolkan usulan perubahan terhadap kriteria calon presiden klub. Dari keharusan menjadi member selama 10 tahun menjadi 20 tahun, lalu kandidat juga harus memberikan garansi bank sebesar 15 persen dari bujet klub tanpa bantuan pihak ketiga. Dana itu pun harus ada di bank lokal Spanyol.

Kriteria baru itu membuat Perez melenggang tanpa pesaing dalam pemilihan presiden pada 2013. Para Madridistas pun lantas tersadar, perubahan statuta tak ubahnya melanggengkan kekuasaan Perez. Oleh karena itulah, kini pasal hasil amandemen tersebut digugat. Itu tentunya agar Perez tak bisa lagi melenggang tanpa lawan dalam pemilihan berikut pada 2017. Ini penting karena hanya perubahan yang bisa menumbuhkan harapan baru. Tanpa itu, sulit bagi Madrid menjadi klub nomor wahid.

*Penulis adalah pemerhati sepak bola dan komentator di sejumlah televisi di Indonesia. Asep Ginanjar juga pernah jadi jurnalis di Tabloid Soccer.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya