Liputan6.com, Jakarta - Mantan Direktur Utama Bursa Efek Indonesia, Ito Warsito menghitung ada nilai sekitar US$ 2 miliar untuk 20 persen saham yang wajib dilepas PT Freeport Indonesia. Jika dirupiahkan, itu artinya pemerintah atau Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang ingin mengambilalih saham tersebut harus menyediakan anggaran Rp 27,4 triliun.
"Kalau mau dibeli pemerintah, apakah siap dengan pendanaannya? Karena saat 9,36 persen saham Freeport dilepas nilainya US$ 1 miliar pada 2009. Anggaplah harganya sama, jadi kalau Freeport Indonesia disuruh divestasi 20 persen, nilainya dua kali lipat," ujarnya di Jakarta, Jumat (27/11/2015).
Baca Juga
Advertisement
Lebih jauh dijelaskan Ito, paling berisiko apabila pemerintah memerintahkan BUMN untuk membeli saham Freeport Indonesia. Artinya, pemerintah harus siap dengan suntikan dana jika tidak ingin perusahaan pelat merah terlilit utang.
"Kalau pemerintah menyuruh BUMN membeli saham itu, apakah pemerintah mau menyuntikkan APBN ke BUMN itu. Jika BUMN harus berutang, darimana utangnya, apakah dari dalam atau luar negeri. Apakah BUMN siap membayar bunga atas utang, mengingat bunga utang akan berpengaruh langsung ke laporan laba rugi di BUMN," tegas Ito.
Pengamat Pasar Modal ini menyarankan agar pemerintah mengawal proses divestasi Freeport Indonesia. Langkah paling benar, diakunya, melalui penerbitan saham baru, bukan melepas saham induk usahanya Freeport Mc-Moran yang berbasis di Amerika Serikat (AS).
"Kalau Freeport Mc-Moran yang disuruh mendivestasikan sahamnya di Freeport Indonesia, kita tidak akan menikmati keuntungan dari sana. Kenapa? Itu kan uangnya Freeport Mc-Moran yang akan dia bawa lagi ke AS," ujar Ito.
Sambung Ito, Freeport Indonesia seharusnya didesak untuk go public dengan cara penerbitan saham baru sehingga menarik aliran dana masuk ke pasar modal. Dana segar dari penerbitan saham baru tersebut, kata Ito yang saat ini sebagai Pengamat Pasar Modal, dapat digunakan untuk ekspansi di Indonesia, khususnya tambang bawah tanah Grasberg, Papua.
"Kalau Freeport Indonesia listing di BEI dengan menerbitkan saham baru, maka uang yang masuk akan menjadi uang Freeport Indonesia. Hasilnya balik lagi untuk investasi tambang bawah tanah yang sedang digarap. Pembelian saham oleh investor pasar global akan mendorong masuknya uang ke Indonesia sebagai cash inflow, bukan outflow," tegas Ito.
Dengan demikian, ia mengaku, secara tidak langsung dapat ikut menolong rupiah, termasuk memberi sentimen positif di pasar modal Tanah Air karena jumlah divestasi yang cukup besar.
Namun kendala IPO bagi perusahaan tambang asing ada di regulasi. Ito meminta pemerintah dan otoritas pasar modal untuk mengubah Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 77 Tahun 2014. Dalam regulasi ini, perusahaan tambang asing tidak diberikan peluang untuk melakukan divestasi lewat IPO.
"Peraturan saat ini sudah memberikan pola divestasi yang berurutan, yakni pemerintah pusat, pemerintah daerah, BUMN lalu swasta nasional. Tapi tidak ada pilihan melalui IPO. Jadi menurut saya pemerintah perlu mengubah PP 77 Tahun 2014," harap Ito. (Fik/Zul)