Liputan6.com, Jakarta - Apa kita memerlukan setiap kisah asal-muasal? Pertanyaan itu penting dikemukakan saat menonton Victor Frankenstein yang kini wara-wiri di bioskop kita.
Di awal film, kita mendengar monolog dari seorang tokohnya: "You know this story--Anda tahu ceritanya." Ya, kita mungkin sekali sudah hapal ceritanya lantaran sudah begitu banyak film yang diangkat dari cerita horor karangan Mary Shelley, Frankenstein; or, The Modern Prometheus sejak pertama terbit pada 1818.
Baca Juga
Advertisement
Sejak era film bisu, ke era film hitam-putih bicara di tahun 1930-an dengan Boris Karloff sebagai monster ciptaan ilmuwan gila Frankenstein, hingga film fantasi horor ala Underworld yang memasang Aaron Eckhart sebagai sang monster, kemudian jadi pembasmi iblis di I, Frankenstein (2014). Ada beragam cerita Frankenstein dan segala variasinya. Lalu, masihkah kita perlu sebuah lagi cerita asal muasal dari dongeng horor itu?
Perlu, begitu pesan utama film ini, Victor Frankenstein. Kisah muasal Frankenstein sebetulnya sudah dibuat versi filmnya oleh Kenneth Branagh tahun 1994 dengan Robert de Niro sebagai sang monster. Film itu layak disebut kisah muasal lantaran berusaha setia pada novelnya.
Bagi yang sudah menonton, terasa filmnya ingin menyamai tata artistik Bram Stoker's Dracula-nya Francis Ford Coppola yang rilis dua tahun sebelumnya. Waktu itu, yang tengah tren adalah bersetia pada materi cerita aslinya. Makanya, nuansa semirip novel muncul di layar.
Menginjak pertengahan 2000-an, yang tren bukan lagi film yang bersetia dengan novel klasik. Melainkan penceritaan ulang alias reboot. Di tahun-tahun itu, Hollywood merasa jagoan mereka sudah aus serta terasa usang bagi masyarakat kontemporer yang tengah berubah. Maka, para jagoan Hollywood kemudian dipermak ulang. Kita melihat Superman versi baru di Superman Returns, James Bond baru di Casino Royale serta Batman baru di Batman Begins.
Ada yang berhasil, ada yang gagal. James Bond dan Batman berhasil jadi franchise baru yang memuaskan penonton dan pada gilirannya, bikin untung pembuatnya. Sedang Superman dianggap gagal, membuat Warner Bros. merasa perlu bikin versi barunya lagi lewat Man of Steel (2013).
Kemudian, yang diceritakan kisah asal-muasal bukan hanya para jagoan Hollywood dari komik atau franchise yang sudah usang. Tokoh-tokoh novel atau dongeng pun mereka bikin kisah muasalnya dengan target penonton baru, generasi kiwari. Beberapa kisah dongeng klasik dibuatkan versi muasalnya dengan sentuhan berbeda, mulai dari Alice in Wonderland, Snow White, Sleeping Beauty, Oz hingga Cinderella.
Di masa ini, bahkan novel detektif Sherlock Holmes juga diberi sentuhan kontemporer lewat versi layar lebarnya yang digawangi Guy Ritchie. Mantan suami Madonna ini memberi sentuhan baru pada kisah klasik Sherlock Holmes. Ia menggabungkan London abad ke-19 dengan nuansa kumuh ala Dickensian dengan narasi gaya Tarantinoesque. Meski tak berdarah Inggris, Robert Downey Jr. berhasil menghidupkan sosok sang detektif jadi nyeleneh, berbeda dengan gambaran Sherlock Holmes yang dikenal orang sebelumnya.
Gaya Sherlock Holmes-nya Guy Ritchie ini yang kemudian sangat terasa saat menonton Victor Frankenstein. Alih-alih bersetia pada novelnya, sutradara Paul McGuigan (sebelumnya membuat Lucky Number Slevin) serta penulis Max Landis (menulis Chronicle dan American Ultra) ingin mengajak penonton menikmati cerita horor berbau fiksi ilmiah Frankenstein dengan sentuhan baru.
Namun ya itu tadi, masalahnya pendekatan yang dilakukannya tak sepenuhnya baru. Penonton yang jeli, terutama bagi mereka yang menyukai Sherlock Holmes versi Guy Ritchie akan mendapati kemiripan gaya mulai dari awal cerita, saat tokoh kita, seorang pria bungkuk tak bernama menyelamatkan seorang wanita anggota sirkus.
Pria bungkuk itu (diperankan Daniel Radcliffe si Harry Potter) yang memiliki bakat alam seorang dokter, lalu direkrut menjadi asisten Victor Frankenstein (James McAvoy), ilmuwan yang punya ambisi gila: menghidupkan makhluk yang sudah mati.
Victor lalu menamai sang asisten Igor dan menyembuhkan penyakit yang membuatnya jadi bungkuk. Mereka berkolaborasi mewujudkan ambisi Victor. Pertama, menghidupkan makhluk gabungan berbagai tubuh binatang, dan kemudian dari berbagai potongan tubuh mayat.
Menonton filmnya, terasa sosok Victor yang diperankan McAvoy sangat ingin menarik perhatian kita dengan polahnya. Persis Robert Downey Jr. di Sherlock Holmes, Victor di sini pun punya perangai yang sama, seorang jenius yang punya tingkat percaya diri tinggi dan kadang menyebalkan.
Di lain pihak, Igor yang dimainkan Radcliffe juga seperti Dr. Watson yang dimainkan Jude Law di Sherlock Holmes-nya Ritchie. Seperti Dr. Watson, Igor menjadi penjaga moral bagi Victor, penasihat kalau yang dilakukannya menyalahi kodrat alam.
Dengan kesamaan gaya begitu, film Victor Frankenstein ini tak beruntung. Inovasinya dianggap tak original. Alih-alih menarik perhatian, akting McAvoy malah terasa over-acting. Yang tampak tak bermasalah di film ini justru Daniel Radcliffe. Perubahannya dari si bungkuk jadi pria tampan seperti halnya itik buruk rupa menjadi angsa cantik.
Ia masih berhasil menawan hati perempuan yang pernah jatuh cinta padanya lewat Harry Potter.
Pada akhirnya, Victor Frankenstein mungkin takkan dicatat sebagai sebuah reboot yang berhasil. Namun sebagai sebuah upaya Hollywood berkreasi, film ini patut dapat kesempatan kedua. Mungkin lain kali dengan gaya berbeda, dan kemasan yang tak mirip Sherlock Holmes-nya Guy Ritchie. (Ade/Rul)