Liputan6.com, Jakarta - Indonesia Petroleum Association (IPA) menyarankan pemerintah untuk memperbanyak produksi gas jika ingin harga gas turun, bukan dengan menekan harga gas di hulu.
Direktur IPA Sammy Hamzah mengatakan, sesuai dengan hukum ekonomi, jika produksi gas melimpah, maka akan menurunkan harga. Hal tersebut telah terjadi di Amerika Serikat (AS).
"Di Amerika harga gas dari US$ 12 hari ini US$ 3 per mmbtu. Apa itu karena pemerintah intervensi? Amerika itu liberal, itu contoh bahwa dengan sistem liberal harga gas bisa turun tanpa intervensi pemerintah. Apa yang dilakukan? Penemuan shale gas, karena pemerintahnya kasih insentif eksplorasi shale gas," kata Sammy, di dalam Rapat umum tahunan IPA, di Jakarta, Rabu (2/12/2015).
Baca Juga
Advertisement
Sammy mengungkapkan, pemangkasan harga gas pada sektor hulu malah akan berdampak pada investasi hulu migas menjadi tidak diminati investor, bukan mendatangkan investor. Hal tersebut akan berdampak pada menurunnya produksi gas di dalam negeri.
"Kekurangan gas karena kita tidak punya gas selama ini. Jangan sampai permasalahan di hilir untuk penurunan di konsumen tapi implikasi di hulu. Nanti dampak bisa produksi turun dan bisa impor. Contohnya pertamina. Dan impor tidak murah butuhkan devisa besar," papar dia.
Sammy menuturkan, harga gas tinggi tidak selamanya disebabkan oleh harga gas di hulu, tetapi masalah tata kelola pada sektor hilir. Pemangkasan harga gas tersebut akan membuat sektor hulu migas menjadi tidak sehat karena menanggung risiko tinggi.
"Pengaturan di sektor hilir harga gas, tidak sehat bagi pengusaha produsen gas. Karena pertama kali melakukan kalkulasi kita, beberapa kali IPA sudah katakan, industri hulu migas ini sangat high risk," kata Sammy. (Pew/Ahm)