Liputan6.com, Jakarta - Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) telah menerima laporan atau keluhan dari 50 perusahaan tekstil, bahan baku tekstil dan sepatu lewat desk pelayanan khusus selama periode Oktober sampai saat ini. Pengaduan tersebut dilayangkan karena puluhan perusahaan itu sudah berniat merumahkan 24.509 karyawan karena tak kuat menanggung beban masalah yang datang bertubi-tubi.
Kepala BKPM, Franky Sibarani merinci, dari laporan 50 perusahaan, sebanyak 33 perusahaan ditangani oleh Desk Khusus Investasi Tekstil dan Sepatu (DKI-TS) BKPM dan 17 perusahaan ditangani internal Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API).
"Sebanyak 50 perusahaan ini mempekerjakan tenaga kerja 54.772 karyawan. Ada potensi 24.509 buruh dirumahkan, tahapannya pengurangan jam kerja akibat penurunan volume produksi," ujarnya saat Konferensi Pers Laporan Perkembangan Kinerja DKI-TS di Gedung BKPM, Jakarta, Kamis (3/12/2015).
Dari 33 perusahaan yang ditangani DKI-TS BKPM, Franky menyebut, sebanyak 9 industri sepatu, 18 industri tekstil, 6 industri hulu tekstil dengan nilai realisasi investasi mencapai Rp 17,9 triliun.
Baca Juga
Advertisement
Perusahaan yang melaporkan keluhan ke DKI-TS BKPM, berada di lokasi Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah dan Banten. Terutama di Kabupaten Bogor, Kabupaten Sumedang, Kabupaten Kendal, Kabupaten Purwakarta, Kabupaten Karawang.
Ada pula yang berada di Kota Depok, Kabupaten Klaten, Kabupaten Semarang, Kabupaten Malang, Kota Tangerang, Kabupaten Karanganyar, Kota Cilegon, Kabupaten Cirebon, Kabupaten Boyolali, Kabupaten Bantul, Kabupaten Pasuruan dan Kabupaten Jombang.
"Yang sudah kami fasilitas ada 3 perusahaan di Jawa Barat dengan jumah 1.458 karyawan terhindarkan dari Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Jadi yang masih harus difasilitasi ada 30 perusahaan," terang Franky.
Menurut Franky, pengaduan paling banyak yang dikeluhkan perusahaan tersebut adalah soal kenaikan upah yang signifikan. Permasalahan lain yang menjadi penyebab terpuruknya industri tekstil dan sepatu, seperti bahan baku, barang impor ilegal, listrik, perizinan, bunga bank dan lainnya.
"Penetapan upah minimum kurang realistis di beberapa daerah, contohnya Karawang yang menjadi upah minimum tertinggi di Indonesia. Solusi usulan dari kami, penetapan upah ini disesuaikan dengan potensi area dan kemampuan perusahaan," jelasnya. (Fik/Ndw)