Banyaknya Teroris, Bikin Kebiasaan Belanja Orang Berubah

Selain dampak politik, terorisme dapat diduga berdampak kepada ekonomi, bahkan kepada perilaku kita sebagai konsumen.

oleh Alexander Lumbantobing diperbarui 04 Des 2015, 09:30 WIB
Ilustrasi Belanja di Pusat Perbelanjaan (iStockphoto)

Liputan6.com, Houston - Masih segar dalam ingatan kita akan sejumlah serangan teror yang menghujam bukan hanya di kawasan pertikaian, tapi di tengah keseharian kita. Kekhawatiran akan terorisme menghantui pikiran kita. Celakanya, angka kejadian ini ditengarai meningkat. Laporan Global Terrorism Index menyebutkan bahwa kematian akibat terorisme meningkat 9 kali lipat sejak tahun 2000 dan sebanyak 80% kematian itu terjadi dalam setahun belakangan. Lebih dari 32.000 orang di 67 negara tewas karenanya pada 2014.

Selain dampak politik, terorisme dapat diduga berdampak kepada ekonomi, bahkan kepada perilaku kita sebagai konsumen. Dikutip dari Psychology Today pada Jumat (04/12/2105), dijelaskan mengapa terorisme menyusup hingga mengubah perilaku belanja, demikian juga uraian singkat tentang siapa yang paling dirugikan dan yang paling diuntungkan di sini.


Dorongan Penghindaran Situasi Risiko dan Mencari Aman

Jelaslah tempat komersial dan ramai semisal mal, teater film, kereta, bus, restoran, dan hotel menjadi sasaran utama kaum teroris. Sebagai konsumen, tempat-tempat ini adalah tempat yang kita kunjungi dan tentunya, setelah suatu serangan, kita secara alamiah merasa kehilangan kendali.

Lagipula, orang seperti kitalah yang sangat menderita, bahkan bisa kehilangan nyawa, hanya karena berada di tempat yang salah pada waktu yang salah ketika sedang melakukan hal-hal normal sehari-hari. Semua ini nantinya terjadi kepada kita ketika kita sedang berada di toko, di dalam kereta, atau sedang menonton film.

Ketika seseorang kehilangan kendali atas aspek apapun dalam hidupnya, mereka akan gigih mencoba untuk meraihnya kembali. Cara yang lazim untuk melakukan ini adalah dengan mengubah perilaku yang dapat menempatkan mereka dalam bahaya, tidak peduli apakah perilaku itu tidak kentara atau malah sudah menjadi kebiasaan.

Psikolog konsumen Michal Herzenstein, Sharon Horsky, dan Steve Posavac baru-baru ini melakukan kajian atas dampak kehilangan kendali karena terorisme pada konsumen di Israel. Sebagai catatan, banyak kajian dampak terorisme pada perilaku konsumen dilakukan di Israel, karena warga Israel mengalami sejumlah begitu banyak serangan teroris selama 2 dekade terakhir.

Para penulis itu mendapati bahwa untuk menghadapi rasa kehilangan kendali itu, konsumen Israel melakukan beragam perilaku penghindaran sehingga sangat mengganggu kebiasaan belanja normal mereka.

Suatu strategi yang lazim adalah berhenti berbelanja di toko dan mal dan berpindah ke pembelanjaan daring (online). Suatu cara lain adalah dengan mengubah pola normal belanja untuk menghindari situasi risiko. Yang ke tiga adalah memindahkan lebih banyak konsumsi ke rumah.

Setelah 9/11, orang lebih sering makan dan mencari hiburan di rumah dan penjualan restoran menurun curam. Dalam suatu artikel majalah Money, penulis Amy Marcus memberikan sejumlah contoh lain tentang bagaimana warga Israel mengubah waktu belanja dan terkadang melupakan toko langganan mereka:

“Suamiku biasanya bertemu dengan teman-temannya jam 11.30 malam untuk belanja grosir karena menduga para teroris sepertinya tidak menyerang toko swalayan sebegitu malamnya. Demikian juga Ofra Goldman, seorang dosen kesenian di Yerusalem, mengatakan ia mengemudi satu jam untuk belanja baju untuk anak-anak perempuannya dan bukan ke suatu mal yang berjarak hanya 5 menit dari apartemen mereka.”


Dorongan Menikmati Keseharian dan Hidup Sepenuhnya

Bagi kebanyakan di antara kita, dampak segera dari serangan mematikan oleh teroris adalah peningkatan kewaspadaan akan kematian kita dan sedikitnya waktu yang tersisa. Peningkatan kesadaran akan apa disebut ‘pentingnya kematian’ ini membekas lama pada perilaku konsumen.

Hal ini menambah ketertarikan kepada barang dan jasa yang menyediakan rasa nyaman dan kestabilan. Setelah 9/11, warga Amerika bukan hanya lebih banyak tinggal di rumah, tapi juga semakin doyan dengan makanan seperti makaroni dan keju, kentang cacah, lasagna, dan cokelat. Ini masuk akal, karena penelitian nutrisi menunjukkan bahwa ketika sedang stress orang cenderung memilih makanan kenyamanan seperti itu.

Konsumen mengupayakan mekanisme bertahan untuk menghadapi ancaman kematian. Salah satu mekanisme itu adalah pencarian—meminjam istilah Elizabeth Hirschman—‘keabadian sekular’ dengan cara meraih dan mengumpulkan barang milik. Misalnya, setelah 9/11, warga Amerika menuruti pesan presiden Bush untuk pergi belanja “dan menikmati hidup, sesuai dengan cara kita ingin menikmatinya” dengan membeli rumah, mobil, alat rumah tangga, perabotan, dan barang elektronik sehingga mencapai rekor saat itu.

Ada juga sejumlah kajian yang menunjukkan bahwa paparan kepada pemikiran tentang kematian menyebabkan peningkatan perilaku materialistis dan rendahnya perhatian kepada orang lain maupun lingkungan hidup. Dalam suatu survey (2003) konsumen yang lebih takut menjadi korban terorisme lebih tertarik untuk membeli barang merek dan lebih cenderung untuk berbelanja secara berlebihan. Demikianlah kesimpulan para penulisnya:

“Ketika sadar pentingnya kematian merasuk kepada kecemasan eksistensi, orang menggunakan konsumsi materialistic sebaga cara untuk meredakan kecemasan itu. Orang seperti mendapatkan kenyamanan dalam barang-barang materi, mungkin karena barang-barang tersebut mengandung arti simbolis dan memungkinkan seseorang mengarasi hidupnya yang terbatas melalui artifak seni yang sepertinya bertahan lama.”

Dengan kata lain, sebagai upaya menghadapi kecemasan terkait maut, kita menjadi mementingkan dan memuaskan diri sendiri dan menggunakan konsumsi barang status sebagai cara melakukan penghindaran itu. Penelitian tentang etika konsumen juga mengarah ke kesimpulan yang sama.

Dalam suatu kajian tahun 1944, ahli etika mendapati bahwa ketika mereka membandingkan konsumen di negara Mesir yang relatif aman (pada saat itu), maka mereka yang tinggal di Lebanon—yang dirubung terorisme— ternyatan kurang idealistik, lebih culas, dan memandang sejumlah praktik merugikan oleh konsumen sebagai hal yang lebih dapat diterima. Mereka lebih kebas terhadap isu moral.


Siapa Yang Kalah? Siapa Yang Menang?

Dua dorongan konsumsi yang dibahas sebelum ini mengusik pertanyaan tentang dampak keseluruhan serangan teroris pada pada pihak yang mengalaminya.

Usaha kecil kalah. Aibat dari perubahan perilaku konsumen dari serangan teroris dapat membawa bencana kepada pelaku usaha kecil. Dalam sekejap, restoran atau toko yang telah mapan dapat menjadi bagian dari kota mati bukan karena kesalahannya sendiri.

Amy Marcus menceritakan tentang kafe terkenal di Tel Aviv yang terpaksa tutup setelah ledakan bom bunuh diri di tahun 90-an dan membunuh 3 orang pengunjungnya. Walaupun sudah banyak uang digelontorkan untuk membangun kembali kafe itu, pengunjung tetapnya tidak pernah kembali.

Lingkungan kalah habis-habisan. Terorisme membawa mortalitas seseorang menjadi pusat perhatian sehingga berpengaruh kepada peningkatan ketamakan dan menguatkan nafsu meraup lebih banyak benda daripada orang lain. Pemikiran tentang lingkungan menjadi terabaikan.

Dalam suatu kajian oleh ahli psikolog Tim Kasser dan Kennon Sheldon, para peserta yang terpapar kepada kematian membabat hutan 12 hingga 13 akre lebih banyak daripada yang lain dalam permainan manajemen hutan. Angka tertinggi adalah 100.

Lebih mengerikan lagi, nilai-nilai yang pernah ada tidak berlaku lagi. Mereka yang menghargai penerimaan diri dan kebersamaan sama-sama menggunduli hutan sebagaimana mereka yang hanya menghargai kesuksesan finansial. Sepertinya tidak naluriah, tapi teroris dapat menyebabkan kerusakan yang lebih banyak lagi karena telah mengalihkan perhatian kita dari isu pelestarian lingkungan dan perubahan iklim, serta mendorong kita untuk berperilaku secara tidak bertanggungjawab dalam jangka panjang.

Merek mewah menang. Di sisi lain, kebutuhan akan kenyamanan maupun keamanan, dan bobot lebih pada materialisme menguntungkan merek yang kuat dan mewah. Konsumen berbondong-bondong menuju simbol status.

Dalam penelitian psikologi konsumen oleh Naomi Mandel dan Steven Heine diungkapkan bahwa pikiran tentang kematian meningkatkan ketertarikan peserta untuk membeli merek mewah seperti kendaraan Lexus dan jam tangan Rolex, jika dibandingkan dengan peserta pembanding. Tapi, tidak ada dampaknya pada merek dengan status rendah semisal keripik Pringle.

Tentu saja tidak ada pemasar yang santun yang ingin meraup keuntungan dari kegalauan warga tidak bersalah, tapi bagi para pemasar merek mewah, serangan teror dapat menjadi untung besar.

Tidak seorangpun dari kita dapat mengendalikan kapan dan di mana serangan teror berikutnya akan terjadi. Tapi tentu saja kita dapat mengekang dorongan belanja kita, bertindak secara bertanggungjawab, dan memerangi teroris melalui peran kita sebagai konsumen.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya