Liputan6.com, New York- Ada beberapa kasus dimana orang-orang merasakan sakit kepala secara berulang tanpa diketahui penyebabnya, lalu migrain, dan iritasi kulit. Banyak orang yang menyalahkan hal ini karena sensitivitas terhadap elektromagentik seperti WiFi. Kondisi ini disebut electromagnetic hypersensitivity (EHS) menurut World Health Organization (WHO).
Advertisement
Sebuah kasus terjadi, seorang remaja usia 15 tahun di Inggris meninggal bunuh diri karena tak kuat mengahadpi alergi sinyal WiFi. Rasa kesakitan akan sinyal WiFi di sekolahnya membuatnya mual, sakit kepala dan sulit berkonsentrasi seperti diungkapkan ibu remaja ini dalam pengadilan di Inggris. (Baca: Alergi Wi-Fi, Remaja Ini Bunuh Diri)
Lalu diadakanlah survei terhadap orang yang mengaku menderita EHS yang alami sakit kepala dan kelelahan setiap kali dekat dengan perangkat yang memancarkan sinyal elektromagnetik seperti WiFi, ponsel, atau layar komputer. Ketika jauh dari sinyal, mereka merasa lebih baik seperti disampaikan survei ini.
Namun masih belum pasti akan adanya kebenaran alergi pada sinyal elektromagnetik. Sebuah survei di 2009 mengungkap, para peserta yang mengaku alergi WiFi tidak bisa mengetahui kapan saat WiFi menyala atau tidak.
Benarkah WiFi sebabkan alergi
Lalu benarkan mereka yang mengaku alergi sinyal elektromagnetik memang benar adanya?
"Orang-orang yang mengatakan mereka memiliki EHS memang benar sakit. Tapi ilmu menunjukkan sinyal elektromagnetik tidak menyebabkan sakit," terang senior dosen psikologi di King's College London, James Rubin kepada Live Science, Sabtu (5/12/2015).
Dan meskipun WHO telah menyebutkan EHS itu benar-benar ada namun EHS bukanlah diagnosis medis.
"Tidak ada alasan ilmiah yang menghubungkan gejala EHS terhadap paparan sinyal elektromagnetik," tulis WHO dalam situsnya.
Studi yang dilakukan Rubin pada 2009 telah melakukan analisis gejala dan investigasi pemicu terhadap lebih dari 1000 orang yang mengaku alami EHS. Dia simpulkan, WiFi bukanlah penyebabnya, namun ada hal lain seperti diungkapkan Rubin.
"Mungkin bukan WiFi penyebabnya, namun ada hal lain yang bisa disalahkan. Sejumlah masalah kesehatan dan kondisi lingkungan yang berbeda-beda pada individu yang bertanggungjawab," tutur Rubin.
Advertisement