China: Posisi RI Sangat Penting di Jalur Sutra Maritim Abad ke-21

Tiongkok berusaha menghidupkan kembali Jalur Sutra. Dalam bentuk baru. Mengintegrasikan Asia, Eropa, dan Afrika.

oleh Tanti YulianingsihElin Yunita Kristanti diperbarui 05 Des 2015, 21:33 WIB
Vice President Chinese Overseas Exchange Association He Yafei, berbicara dalam diskusi bertajuk 'China's One Belt, One Road Policy to Enhance 21st Century Linkage Between Asia and Europe, Jakarta, (5/12). (Liputan6.com/Immanuel Antonius)

Liputan6.com, Jakarta - Pada masa lalu, sekitar tahun 114 Sebelum Masehi hingga tahun 1450-an Masehi, Jalur Sutra (Silk Road) menjadi rute perdagangan penting yang menghubungkan Timur dan Barat. Berkontribusi dalam perkembangan peradaban; penyebaran budaya, agama, serta pengaruh; juga meletakkan pondasi bagi dunia modern.

Kini, Tiongkok berusaha menghidupkan kembali Jalur Sutra. Dalam bentuk baru.  

Presiden China  Xi Jinping pada 2013 mengumumkan inisiatif 'Jalur Sutra Baru Abad ke-21' atau The Silk Road Economic Belt and the 21st-century Maritime Silk Road atau yang dikenal juga sebagai Belt and Road Initiative.

Tujuannya, untuk menciptakan beberapa koridor ekonomi yang membentang lebih dari 60 negara di seluruh dunia. Mengintegrasikan Asia, Eropa, dan juga Afrika. Wilayah darat, juga lautnya.

Inisiatif tersebut, khususnya di bidang maritim juga melibatkan Indonesia.

Presiden Tiongkok bahkan memilih Indonesia sebagai tempat pertama melontarkan rencana menghidupkan Jalur Sutra Maritim Abad ke-21 -- yang sejalan dengan kebijakan Presiden Jokowi: kembali ke laut.



Meski sudah lama dicetuskan, banyak pihak yang belum memahami inisiatif tersebut. Termasuk di Indonesia. "Masih banyak yang belum mengenal lebih jauh tentang kebijakan Jalur Sutra Baru," pendiri kata Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI), Dino Patti Djalal.

Mantan Dubes RI untuk AS itu menambahkan, meski sudah lama berhubungan dagang dengan China, kebijakan politik Beijing masih terbilang baru untuk dipahami masyarakat Tanah Air.

He Yafei, Vice President of the Chinese Overseas Exchange Association menjelaskan kondisi dunia yang melatar belakangi inisiatif tersebut. Salah satunya krisis ekonomi global 2009.

"Perekonomian global menghadapi banyak kesulitan. Tak ada satu negara pun yang bisa menghadapinya tanpa menjadi bagian dari inisiatif global," kata mantan Wakil Menteri Luar Negeri China itu dalam diskusi 'China's One Belt, One Road Policy: To Enhance 21st Century Linkage between Asia and Europe' di Ritz Carlton, Mega Kuningan, Sabtu (5/12/2015),

Itu mengapa China mengajukan konsep untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi regional, secara terintegrasi, dan dalam wilayah seluas mungkin. Bukan semata ekspansi ekonomi Tiongkok.

Rute Jalur Sutra kuno, melintasi antarbenua (Wilkipedia)



Sejumlah negara, kata He Yafei, menjadi mesin pertumbuhan yang kuat dan signifikan di Asia Tenggara dan Asia Selatan: China, Jepang, Korea Selatan, India, juga ASEAN.

Inisiatif Jalur Sutra Baru Abad ke-21 juga melibatkan negara-negara Eropa. "Meski dihantam krisis, negara-negara di Eropa adalah negara industri dan sebagian besar adalah negara maju."

He Yafei menambahkan, Belt and Road Initiative berbeda dengan skema perdagangan bebas, terutama soal integrasi ekonominya.

Konektifitas dalam Belt and Road Initiative tersebut tercipta dalam 5 hal yakni konsultasi kebijakan, konektivitas infrastruktur, perdagangan bebas, sirkulasi mata uang lokal, dan hubungan people-to-people.  

Terkait mata uang, He Yafei mengungkapkan arti penting menghilangkan ketergantungan para dolar Amerika, yang menurut dia, memiliki sistem yang mengandung risiko.

Keputusan Bank Sentral Amerika Serikat atau Federal Reserve (The Fed)  menaikkan suku bunga membuat dolar 'pulang kampung' ke Negeri Paman Sam. Imbasnya, nilai mata uang sejumlah negara rontok. "Termasuk Malaysia, salah satu yang paling melemah," kata He Yafei.

Sementara, "tanpa hubungan antar masyarakat (people-to-people) yang luas, niscaya kita akan menghadapi kesulitan dalam integrasi ekonomi," tutur dia.


Bermanfaat atau Merugikan?

He Yafei mengatakan, Indonesia memiliki posisi yang strategis terutama dalam pembangunan Jalur Sutra Maritim Abad ke-21. Secara geografi juga geopolitik.

"Indonesia memiliki potensi besar dalam pertumbuhan ekonomi," kata dia.

Nusantara juga kaya sumber daya alam, didominasi kelas menengah. "Indonesia juga bisa menjadi penghubung  antara China dan negara-negara Islam, karena populasinya yang sebagian besar adalah muslim," sambung He Yafei. "Saya yakin, Indonesia akan memetik manfaat dari kerja sama dengan China."

Indonesia, kata dia, juga harus memahami konsep Jalur Sutra baru. "Dengan bergabung dengan jaringan produksi global, maka akan lebih banyak kesempatan kerja dan peluang meningkatkan standar hidup rakyat."

He Yafei membantah, kerja sama China dan Indonesia akan mengambil lapangan kerja rakyat di Tanah Air.

Menurut dia, Tiongkok sudah berubah. "Kami bukan lagi negara yang hanya mengekspor barang ke tempat lain," kata dia. China tak lagi identik dengan 'barang-barang murah'

China, kata dia, justru ingin membantu negara lain membangun basis industri.

"Elemen produksi seperti upah, tanah, tak lagi ekonomis untuk memproduksi apa pun di China," kata dia.

Itu mengapa, Tiongkok memindahkan kegiatan produksinya ke luar negeri. "Jangan khawatir, China tak akan merampas lapangan kerja dari negara lain," kata dia.

China, kata dia, mengajukan model kerjasama antar negara. "Tiongkok memahami, tak ada negara yang bisa tumbuh sendirian. Dan semua negara harus memetik manfaat dari inisiatif ini, termasuk Indonesia."

Ia menambahkan, dalam 5 tahun, jumlah investasi China ke luar negeri akan mencapai US$ 1,25 triliun. "Yang akan menciptakan lapangan kerja bagi banyak orang."  

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya