Liputan6.com, Serang - Suasana tangis histeris mewarnai kediaman Uus Usnawati, salah satu korban tragedi tabrakan antara KRL dan Metromini di perlintasan Angke, Jakarta Barat, Minggu pagi, 6 Desember 2015. Uus merupakan warga asli Kampung Jengkol, Kelurahan Teritih, Kecamatan Walantaka, Kota Serang, Banten, yang berada di RS Sumber Waras, Jakarta Barat.
"Tadi dapat kabar dari keluarga di sana (Jakarta). Kondisinya memang kritis, luka di kepala. Ibunya saat ini masih syok, masih belum bisa diajak bicara," ucap salah satu kakak korban, Nasehudin, saat ditemui di kediaman Uus, Minggu (6/12/2015) malam.
Sementara itu sang ibunda, Maryati, tampak tak kuasa menahan haru. Ia menangis histeris mengetahui anak kedua dari 4 bersaudara itu menjadi korban. Maryati sangat khawatir kondisi anak gadisnya itu lantaran Uus dikabarkan tak sadarkan diri.
Baca Juga
Advertisement
Uus sudah 2 tahun bekerja di Jakarta, sebagai karyawan di percetakan di kawasan Kedoya, Jakarta Barat. Uus nekat merantau untuk membiayai pendidikan adiknya yang masih duduk di bangku SMP.
"Saking enggak mampu, Uus kerja di Jakarta buat (biaya) adiknya sekolah. Nanti gimana nasibnya Uus," tutur kakak lainnya, Aminudin.
Teriakan Allahu Akbar
Sementara itu, kesaksian memilukan disampaikan Endang Supriadi, seorang petugas penjaga perlintasan kereta di kawasan Angke, Jakarta Barat. Ia menjadi salah satu saksi mata yang melihat langsung tabrakan maut KRL dan Metromini yang telah menewaskan 18 orang tersebut.
Endang mengaku berada tepat di sisi rel kereta api jalur 2, dekat dengan pos palang pintu perlintasan. Hal itu biasa ia lakukan setiap ada kereta yang melintas.
"Saya memang biasa seperti itu, Mas. Selalu menyambut kereta yang datang. Saya kasih salam, sembari memperhatikan situasi sekitar perlintasan," ujar Endang kepada Liputan6.com di lokasi kejadian, Angke, Tambora, Jakarta Barat, Minggu, 6 Desember 2015.
Namun Endang seketika terkejut ketika ada minibus yang diketahui Metromini B80 jurusan Kalideres-Grogol menerobos palang pintu. Namun KRL yang melaju sangat cepat karena tidak berhenti di stasiun terdekat, yakni Stasiun Angke, tak dapat menahan lajunya.
KRL yang melaju sangat cepat langsung menabrak hampir seluruh badan minibus yang saat itu sudah berada di tengah perlintasan. Benturan hebat pun terjadi. Metromini pun terseret sejauh 200 meter ke arah selatan.
"Saya sudah teriak, 'Awas kereta'. Sampai akhirnya tabrakan terjadi saya pun teriak, 'Allahu Akbar'. Jujur saja waktu itu saya takut, Mas. Karena kejadiannya mengerikan dan berlangsung cepat," ucap Endang.
Mimpi Buruk Keluarga
Adapun Saman (32), Abdul Gani (38) dan Dian (31) duduk di trotoar depan kamar jenazah RS Cipto Mangunkusumo (RSCM), Salemba, Jakarta Pusat, Minggu (6/12/2015). Ketiganya sempat mencoba masuk ke dalam kamar jenazah karena yakin adik ipar mereka, Andi bin Ojat (31), menjadi salah satu korban kecelakaan maut Commuter Line dan Metromini di Jalan Tubagus Angke, Tambora, Jakarta Barat, Minggu (6/12/2015).
"Kami enggak boleh masuk dulu karena enggak bawa KTP atau KK Andi. Tapi kami yakin dia jadi salah satu korban," ujar Saman di luar kamar jenazah RSCM, Jakarta Pusat, Minggu, 6 Desember 2015.
Ketiga warga Sukabumi, Jawa Barat, ini bersama Andi merantau ke Ibu Kota untuk berjualan aksesoris keliling. Andi pun diketahui menumpang 'Metromini maut' setelah berbelanja sandal, ikat pinggang, dan dompet di Pasar Pagi, Jakarta Barat. Mereka berempat biasa menjajakan barang dagangannya di kawasan Kalideres, Jakarta Barat.
Saman mengaku kabar buruk ini ia dapat setelah teman sekontrakan Andi yang mengaku ditelepon seseorang yang menjelaskan Andi menjadi salah satu korban kecelakaan. "Tadi ada yang telepon ke teman kontrakannya. Katanya yang punya nomor ini jadi korban kecelakaan," ujarnya.
Andi sudah 10 tahun bekerja sebagai pedagang keliling. Dari situlah Andi dapat menafkahi istrinya, Reni (29), yang lebih memilih menetap di kampung mereka. Saat ini istri dan keluarga Andi sedang dalam perjalanan dari Sukabumi menuju RSCM.
"Dia belum punya anak. Istrinya lagi mau ke sini bawa KTP dan surat-surat lainnya," ujar lelaki yang mengenakan topi kupluk dan kaos hitam ini.
Sebelum mendapat kabar meninggalnya Andi, Saman mengaku beberapa hari lalu ia bermimpi terjadi longsor besar di Sukabumi. Ia pun menebak bahwa mimpi itu pertanda kematian sang adik.
"Saya mimpi seram beberapa waktu lalu. Sukabumi longsor. Mungkin itu pertanda," ucap Saman.**