Liputan6.com, Jakarta - Saat jumpa pers peluncuran filmnya belum lama ini di sebuah restoran di mall Plaza Senayan, Jakarta Pusat, produser Ichwan Persada ditanya kenapa membuat film Miracle - Jatuh dari Surga. Saya ingat ia menjawab begini, "Karena saat ini sudah sangat jarang film bertema keluarga."
Pertama, harus diapresiasi terlebih dahulu masih ada sineas yang punya kepedulian membuat film drama keluarga. Film nasional jenis itu banyak dipercaya orang tak bakal menangguk banyak penonton. Asumsi itu yang kemudian membikin sineas kita berpikir ribuan kali sebelum memproduksi film drama keluarga. Pilihan yang dianggap aman, membuat film horor yang ditujukan bagi remaja.
Kalaupun membikin film drama, yang banyak dibuat adalah kisah perjuangan orang miskin jadi orang kaya atau berhasil sekolah hingga ke luar negeri. Kisah from zero to hero ini populer sejak Laskar Pelangi rilis 2008.
Baca Juga
Advertisement
Pilihan kisah drama kedua adalah cerita mengharu biru bertema nasionalisme. Latarnya biasanya di daerah terpencil atau bagian terujung negeri kita. Yang ditonjolkan, meski mereka hidup susah dan jauh dari perhatian orang Jakarta toh mereka punya kecintaan yang teramat besar pada tanah air.
Itu sebabnya, ketika dimintai komentar soal film ini saya mengatakan sineasnya tergolong berani. Miracle - Jatuh dari Surga adalah sebuah film yang tanpa tanda seru. Ia tak mengambil jalan mudah seperti film-film drama nasional lain yang jelas ramuannya. Memilih untuk tidak populer adalah sebuah pilihan yang pertama harus diapresiasi dahulu.
Baru kemudian kita bicara produknya alias filmnya.
Ichwan Persada pernah mengatakan, cerita Miracle - Jatuh dari Surga terilhami dari kisah Ponari, seorang bocah yang jadi dukun cilik dan dipercaya punya kekuatan gaib menyembuhkan orang sakit. Ponari jadi fenomena di tahun 2009.
Jika Anda sudah lupa kisah Ponari, baiknya saya ingatkan lagi. Kehebohan dukun cilik Ponari bermula saat di tengah hujan deras ia seperti disambar petir. Ponari kemudian menemukan sebongkah batu yang dipercaya punya keajaiban.
Lewat batu itu, Ponari menyembuhkan orang sakit. Kesaktian Ponari dengan batu ajaibnya menjadikannya terkenal. Di puncak pemberitaan atas dirinya, ribuan orang berbondong-bondong datang ingin diobati.
Kisah Ponari itu digeser Ichwan menjadi kisah bocah perempuan bernama Krista (dimainkan dengan menggemaskan oleh aktris cilik Naomi Ivo). Ia tinggal bersama keluarga Tjohjokusumo. Andri (Darius Sinathrya) dan Eli (Anneke Jodi) pasangan suami istri yang tampak rukun bersama Krista, putri semata wayang mereka.
Kebahagiaan menghampiri pasangan ini saat Eli diketahui hamil. Kita kemudian tahu Eli pernah kehilangan anak. Kehamilannya dari kandungannya sendiri ini menjadi berkah yang dinantikan. Kita juga lantas tahu Krista adalah anak angkat. Bukan anak kandung mereka.
Selain kita tahu Krista bukan anak kandung Andri dan Eli, di saat bersamaan kita juga mendapati Krista punya kekuatan gaib. Tangannya bisa menyembuhkan orang sakit. Teman gereja ibunya jadi pasien yang disembuhkan Krista. Seketika, ada beberapa orang lagi minta disembuhkan Krista. Ia juga menyembuhkan istri dari supir yang bekerja pada orangtuanya.
Sampai di sini, sineasnya diberi pilihan filmnya akan mengarah ke mana. Nah, Ichwan dan tim penulisnya (ada 4 nama dikredit penulis) beserta sutradara Wisnu Adi (sebelumnya membuat film dokumenter Cerita dari Tapal Batas yang juga diproduseri Ichwan) lantas memilih jalan tanpa tanda seru tadi.
Alih-alih menjadikan kisahnya versi lain dari kehebohan media (media frenzy) ala Ponari. Kita kemudian melihat Krista yang merasa cemburu lantaran orangtuanya menjadi kurang memberi perhatian padanya. Krista lebih senang bermain dengan sahabat orangtuanya yang diperankan Indra Birowo.
Saya coba memahami, meniru kisah kehebohan Ponari akan menuntut production value yang ruwet yang ujungnya akan membikin filmnya jadi mahal untuk diwujudkan. Namun, memfokuskan diri pada cerita keluarga juga mengandung risikonya sendiri: kisah kekuatan ajaib yang dimiliki Krista seolah jadi tempelan. Karakter Krista yang semula kuat, menjadi terlihat seperti bocah cengeng yang minta perhatian. Ini patut disayangkan.
Potensi film ini menjadi film penting yang patut mendapat pembicaraan lebih jauh pun sirna ketika fokusnya jadi terlalu mikro: kecemburuan kakak, lantaran calon adik bakal lahir.
Di luar itu semua, sekali lagi, sineas film ini terbilang berani. Mengambil latar kota Solo adalah pilihan yang amat baik. Kota-kota berukuran sedang macam Solo jarang sekali terekspos film-film arus-utama yang pilihannya melulu Jakarta atau yang teramat terpencil sekalian.
Well, Miracle - Jatuh dari Surga tentu dibuat dengan niat baik. Niatan itu sudah mampu diwujudkan dengan segala baik-buruknya dan keterbatasannya. Film dengan niat baik semacam ini harus kita dukung, demi tercipta iklim perfilman yang sehat dan keragaman genre film kita di masa depan.** (Ade/Feb)