Liputan6.com, Jakarta - Kepala Staf Kepresidenan Teten Masduki menyebut Presiden Joko Widodo atau Jokowi marah luar biasa setelah membaca transkrip rekaman yang mencatut namanya terkait pembagian saham PT Freeport. Hal itu ditambah lagi dengan sidang MKD yang digelar tertutup untuk Ketua DPR Setya Novanto.
"Presiden sebenarnya ingin menunggu proses yang berjalan di MKD, tetapi ketika sidang yang menghadirkan Setya Novanto justru digelar tertutup beliau marah," kata Teten Masduki di Kompleks Istana Kepresidenan Jakarta, Senin (7/12/2015) malam.
Ia menambahkan, kalau dibilang presiden gila, koppig atau keras kepala, sudah sering dialami dan Jokowi tidak pernah menunjukkan kemarahannya.
"Tapi karena dicatut namanya dan dikaitkan dengan pembagian saham, Presiden marah luar biasa karena ini menyangkut soal etika, soal moralitas, soal wibawa pemerintahan, ya wibawa negara," kata Teten seperti dikutip Antaranews.
Baca Juga
Advertisement
Namun ia menegaskan Presiden tetap memperhatikan proses di Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD).
"Dari siang Presiden nahan diri. Dari pagi Presiden sudah membaca," kata dia.
Kemarahan Presiden juga dipicu sidang Setya Novanto yang digelar tertutup. Padahal sidang digelar terbuka ketika menghadirkan pihak pengadu Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said.
"Itu juga disampaikan Presiden kenapa kemarin waktu Sudirman Said dipanggil, (sidang) terbuka, sekarang malah yang diadukan justru tertutup. Tapi poinnya kemarahan Presiden setelah membaca lengkap transkrip, Presiden marah luar biasa," kata Teten.
Sebelumnya, Presiden Jokowi menyebut tak masalah disebut sebagai presiden gila, presiden saraf, hingga presiden koppig.
"Saya enggak apa-apa dikatain presiden gila, presiden sarap, presiden koppig. Enggak apa-apa," kata Presiden Jokowi di Istana Merdeka Jakarta, Senin malam.
Presiden dengan nada suara bergetar dan tangan gemetar menahan amarah menyatakan hal itu di depan wartawan selepas jumpa pers mendadak terkait pilkada serentak. Menurut dia, proses yang berjalan di MKD memang harus dihormati.
"Tapi, tapi tidak boleh yang namanya lembaga negara itu dipermainkan. Lembaga negara itu bisa kepresidenan, bisa lembaga negara lain," kata Jokowi.
"Tapi kalau sudah menyangkut wibawa mencatut meminta saham 11 persen itu saya enggak mau! Enggak bisa!," ucap Jokowi.
"Ini masalah kepatutan, kepantasan, moralitas! Itu masalah wibawa negara," imbuh Jokowi.