Liputan6.com, Jakarta - Sebagai kawan dan mantan rekan kerja semasa Presiden Joko Widodo menjabat Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok memahami betul kemarahan Jokowi. Terlebih, namanya dicatut untuk meminta saham Freeport.
"Wajar dong (marah). Namanya dicatut minta saham," kata Ahok di Balai Kota Jakarta, Selasa (8/12/2015).
Baca Juga
Advertisement
Ahok mengungkapkan, tiga tahun bersama Jokowi menjalankan roda pemerintahan DKI Jakarta, tak pernah satu pun dirinya melihat mantan Wali Kota Solo itu tergoda akan tawaran uang.
"Jujur saja. Saya tiga tahun dengan Pak Jokowi di sini, Jakarta itu godaanya lebih banyak daripada jadi Presiden, kalau kita bilang mau uang. Pak Jokowi mau enggak terima deal pengusaha-pengusaha properti? Ketemu aja enggak mau," ungkap Ahok.
Ahok berkeyakinan Jokowi tidak pernah terlibat pembagian saham, seperti yang diuangkapkan dalam rekaman, yang diserahkan Menteri ESDM Sudirman Said ke Mahkamah Dewan Kehormatan (MKD).
"Makanya saja jamin, beliau itu enggak mungkin minta saham, minta uang. Terima aja enggak mau," tutur Ahok.
Bukan Koppig, Tapi...
Rekaman 'papa minta saham' telah sampai ke telinga Presiden Jokowi. Dalam rekaman tersebut, diduga suara Ketua DPR Setya Novanto mengatakan Presiden Jokowi sebagai presiden koppig atau keras kepala.
Terkait hal tersebut Gubernur Ahok, angkat bicara. Dia menilai istilah keras kepala itu hanya gaya bahasa yang disampaikan.
"Pak Jokowi itu lebih keras pendirian ya. Keras kepala itu hanya gaya bahasa. Itu bukan keras kepala, itu istilahnya. Beliau itu, pendiriannya pegang prinsip," ujar Ahok.
Meski mengatakan hanya sebuah istilah, Ahok yang mengenal jauh Jokowi, tak membantah ada sisi-sisi di mana, terlihat atau terkesan seperti keras kepala.
"Kalau keras kepala, (terlihatnya) kalau untuk kepentingan rakyat, APBD gitu ya, keras kepala," tutur Ahok.
Mantan Bupati Belitung Timur itu pun berbagi cerita, bagaimana sisi koppig yang dipahaminya, selama berada di samping Jokowi.
"Kalau dia memutuskan sesuatu, keras kepala. Misalnya, soal gantiin orang. Waktu saya bilang, pak ganti pak, dia enggak ganti," tukas Ahok.
Apa Kata Pengamat?
Adapun persidangan Ketua DPR Setya Novanto di Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD), Senin 7 Desember lalu berlangsung secara tertutup. Sebagian kalangan pun kecewa dengan hal itu.
Terkait hal itu, pengamat politik yang juga merupakan Direktur Lingkar Madani untuk Indonesia, Ray Rangkuti menilai jangan sampai MKD dan DPR diperolok menjadi masyarakat. Dia juga cemas ada transaksional pada MKD sendiri.
"Jangan sampai MKD, rasa tidak suka masyarakat, membuat olok-olok terhadap DPR meningkat. Jangan sampai ada yang minta saham dalam kasus 'papa minta saham'. Karena banyak yang menyesalkan sidang ini tertutup," ujar Ray di Jakarta, Selasa 8 Desember 2015.
Sementara itu pengamat politik Indonesian Institute for Development and Democracy (Inded) Arif Susanto meminta harus mewaspadai adanya barter politik.
"Harus waspada untuk melokalisasi masalah ini (pencatutan nama Presiden). Saya menduga ada deal politik," ungkap dia.
Menurut Arif, deal-deal politik itu menyangkut apa yang dibahas di DPR, yaitu pembahasan revisi Undang-Undang KPK serta RUU Pengampunan Pajak (Tax Amnesty).
"Kalau kedua itu menjadi deal politik, bukan hanya MKD 'masuk angin', tapi pemerintah juga menjadi sulit. DPR pun juga," pungkas Arif.
Advertisement