Liputan6.com, Jakarta Wakil Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Susanto mengatakan masih banyak hak anak yang dilanggar dan harus menjadi catatan dalam peringatan Hari Hak Asasi Manusia (HAM) sedunia yang jatuh pada Kamis (10/12/2015).
"Sudah hampir 15 tahun agenda reformasi, tetapi masih banyak pekerjaan rumah yang harus dibenahi agar ada perubahan mendasar," kata Susanto melalui pesan singkat diterima di Jakarta, Selasa.
Advertisement
Susanto mengatakan, meskipun dorongan pembangunan politik berwawasan HAM semakin maju, masih banyak pelibatan anak dalam kegiatan-kegiatan politik meskipun sudah dilarang.
Menurut dia, pelibatan anak dalam kegiatan politik merupakan pelanggaran hak asasi anak.
Begitu pula dalam bidang pendidikan, Susanto mengatakan norma Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional sudah cukup berwawasan HAM.
Namun, praktik pendidikan di sekolah masih banyak ditemukan fakta sebaliknya.
"Kasus kekerasan di sekolah masih sering terjadi. Tidak sedikit guru belum bisa membedakan antara wilayah pendidikan dengan wilayah pelanggaran. Kekerasan sering kali dianggap mendidik. Kondisi itu merupakan fakta pelanggaran hak asasi yang harus dicegah," tuturnya.
Selain itu, Susanto menilai pemenuhan hak pendidikan sesuai agama peserta didik di satuan pendidikan belum optimal. Masih banyak kasus terjadi dan terabaikan oleh penyelenggara pendidikan.
"Padahal hak memperoleh pendidikan agama sesuai keyakinannya merupakan hak fundamental bagi semua anak bangsa," ujarnya.
Kekerasan atas nama agama masih sering terjadi sebagai akibat dari desakralisasi nilai agama.
Susanto mengatakan, semua agama mengajarkan kedamaian dan harmoni. Namun, anak-anak masih sering menjadi korban dari kekerasan atas nama agama.
Begitu pula dengan kekerasan seksual terhadap anak yang masih sering dimaknai sebagai pelanggaran kesusilaan belaka.
"Seharusnya kekerasan seksual pada anak sudah masuk kategori 'kejahatan kemanusiaan' yang harus dicegah dan tidak ada toleransi sedikit pun," katanya.
Kebijakan akta kelahiran gratis juga masih menyisakan masalah. Meskipun Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak sudah menggratiskan akta kelahiran, praktik di tingkat kabupaten/kota masih banyak memungut biaya.
"Bahkan pencetakan akta kelahiran menjadi sumber pendapatan daerah. Hal ini berdampak pada minimnya capaian pemenuhan akta kelahiran anak. Padahal, akta kelahiran merupakan hak asasi yang prinsip bagi semua anak," pungkasnya. (*)