Liputan6.com, Jakarta - Ramalan masa depan Jakarta sama sekali tak gilang-gemilang. Akibat laju penurunan tanah dan kenaikan level permukaan air laut, Ibu Kota terancam terendam air. Sepuluh juta warganya dibayang-bayangi relokasi.
Nasib Jakarta serupa dengan metropolitan lain di Asia: Shanghai, Hong Kong, Kalkuta, Mumbai, Dhaka, dan Hanoi. Atau jangan-jangan Jakarta bakal lebih parah.
"Akan sangat sulit bagi sektor bisnis dan masyarakat untuk memahami apa yang sesungguhnya sedang terjadi," kata Richard Hewston, analis perubahan iklim dari Verisk Maplecroft, seperti dikutip dari situs WRAL.com.
Tak ada pilihan lain, kota-kota besar di wilayah pesisir harus bersiap menghadapi risiko kehilangan investasi dan menangani bencana yang terjadi pada rakyatnya.
Kekhawatiran soal nasib Jakarta juga menjadi sorotan media sains National Geographic.
Dari Teluk Jakarya, Victor Coenen, ahli geografi fisik asal Belanda, mengamati sekeliling. Matanya menatap saluran air yang tersumbat segala macam kotoran, dari sampah plastik hingga enceng gondok.
Baca Juga
Advertisement
"Kota ini tak bisa dibiarkan terus-terusan terendam," kata dia seperti dikutip dari situs National Geographic, Kamis (10/12/2015).
Coenen lantas memaparkan fakta mengkhawatirkan. Permukaan tanah di kota -- yang oleh nenek moyangnya dinamakan Batavia -- terus turun, rata-rata 7,5 cm setiap tahun. Bahkan mencapai 10 inci atau 25,4 cm di sejumlah area, laju yang lebih cepat dari Venisia -- yang tenar sebagai 'kota air'.
Ibaratnya, Jakarta bak 'Titanic' di belantara metropolitan dunia. Menjadi tempat di mana anak-anak pada masa depan harus membelah air payau setinggi pinggang untuk pergi ke sekolah. Hampir setengah dari warganya terpaksa menderita menghadapi banjir 'abadi' yang jauh lebih sering terjadi dari masa kini.
Ini adalah ancaman nyata: dalam 15 tahun, 80 persen wilayah utara Jakarta akan berada di bawah permukaan air laut. Hanya butuh waktu 50 tahun jalanan bisa terendam air setinggi 10 kaki atau 3 meter. Mobil tak bisa melaju -- mungkin -- digantikan sampan!
Agar mimpi buruk tersebut tak sampai terjadi, Jakarta telah memulai proyek terbesar dalam sejarah: pembangunan proyek tanggul raksasa (Giant Sea Wall).
Tanggul berbentuk Garuda tersebut akan membentang sepanjang 40 kilometer, tinggi 80 kaki atau 24,3 meter -- di mana sepertiga bagiannya menjulang di atas permukaan air laut.
Untuk menutupi biayanya yang fantastis, US$ 40 miliar, dibuat 17 pulau buatan, yang bisa dimanfaatkan para pengembang untuk membangun rumah-rumah mewah, pusat perbelanjaan megah, dan perkantoran tipe-A. Bentuknya mirip-mirip Palm Island, gugusan pulau buatan di Dubai.
"Kami sedang mencoba membangun sebuah tanggul sekaligus kota. Ini adalah ide yang baru," kata Coenen yang menjadi konsultan Witteveen+Bos, bagian dari konsorsium Belanda yang menyiapkan master plan proyek besar itu.
Namun, kerja berat itu masih panjang. Tahun lalu, dimulai tahap pertama, yakni peninggian tanggul setinggi 2,5 meter yang akan selesai dalam 24 bulan.
Pertanyaannya apakah 'Garuda' raksasa itu nantinya cukup sakti untuk mencegah Jakarta tenggelam?
Kisah Tanggul yang Gagal
Sejak masa silam, tanggul dibangun untuk mencegah air meluap ke daratan. Popularitas penangkal banjir itu melonjak seiring makin tingginya level permukaan air laut akibat perubahan iklim.
Negara-negara di muka Bumi berlomba-lomba membangun tanggul tangguh untuk melindungi rakyatnya. Itu pilihan yang realistis, sebab, biaya pembuatan proyek tersebut jauh lebih murah daripada ongkos penanganan bencana banjir. Demikian menurut studi yang dilakukan pada 2014.
Pemerintah AS mengeluarkan dana lebih dari US$ 14 miliar untuk membangun tanggul dan pintu air demi melindungi New Orleans pacca-Topan Katrina memorak-porandakan area Gulf Coast pada 2005.
Belanda sudah lama membangun tanggul-tanggul raksasa. Sementara pada 2010, Korsel merampungkan bangunan serupa yang terpanjang yang dibuat manusia, Saemangeum Seawall yang panjangnya mencapai 22 mil atau 35.405 meter.
Namun fakta menunjukkan, tanggul bisa gagal mencegah malapetaka. Misalnya ketika Jepang diguncang gempa dahsyat yang disusul tsunami pada 2011.
Ombak gergasi melampaui tinggi dinding laut -- memicu peluruhan reaktor nuklir Fukushima Daiichi yang berdampak pada krisis nuklir terparah yang dialami Negeri Sakura pasca-Perang Dunia II.
Di sisi lain, upaya pembangunan tanggul raksasa di Jakarta tak steril dari kritik. Sejumlah orang berpendapat, fokus dari proyek itu baru di hilir belum ke hulu. Juga mengabaikan salah satu akar permasalan penurunan tanah: penyedotan air tanah secara berlebihan.
Para aktivis lingkungan hidup menuding itu bisa merusak alam, misalnya terumbu karang. Ribuan masyarakat yang tinggal di wilayah pesisir, termasuk nelayan, juga berpotensi dipaksa hengkang.
Belum lagi ketidakpercayaan pada proses pelaksanaan proyek. Yakin dana sebesar itu tak bakal dikorupsi?
"Itu ibarat merawat gejala, bukan mengatasi penyebabnya," kata Christophe Girot, dosen Swiss Federal Institute of Technology, Zurich yang melakukan studi kasus di Jakarta.
Ia mengatakan, penurunan muka tanah di Jakarta disebabkan pembangunan perumahan yang kian gencar, juga industri-industri yang menyedot air tanah yang gratis.
Belum lagi permasalahan sampah yang dibuang sembarangan di saluran air. Yang kira-kira berat totalnya 500 ton per hari.
Namun, pihak yang mendukung pembangunan tanggul raksasa di Teluk Jakarta mengingatkan, waktu yang dimiliki Jakarta hampir habis. Pembangunan bagian luar tanggul saja akan membutuhkan waktu 6 - 8 tahun.
Harus ada sesuatu yang dilakukan. Jakarta harus segera memulai pembangunan. "Sulit untuk memprediksi apa yang akan terjadi," kata Coenen. "Kota ini penuh dengan kemungkinan." (*)
Advertisement