BI Waspadai Depresiasi Yuan Jilid II

Melemahnya ekonomi China dipastikan akan kembali berdampak ke Indonesia.

oleh Ilyas Istianur Praditya diperbarui 10 Des 2015, 20:46 WIB
Seorang teller menunjukan mata uang Yuan di Jakarta, Senin (30/11). Dana Moneter Internasional (IMF), Senin (30/11), resmi memasukan yuan, atau renminbi, ke dalam special drawing rights (SDR) sebagai mata uang elite dunia. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta - Bank Indonesia (BI) terus memantau kondisi perekonomian global. Ini tidak terlepas dari sentimen-sentimen yang ditimbulkan sehingga mempengaruhi ekonomi negara-negara berkembang.

Gubernur Bank Indonesia, Agus DW Martowardojo mengaku terus mewaspadai berbagai risiko yang akan terjadi selain risiko utama yaitu tentang rencana kenaikan bunga oleh The Fed di pertengahan bulan ini. Risiko yang dipertimbangkan Bank Indonesia, dikatakan Agus adalah adanya kemungkinan depresiasi Yuan jilid II.


"Saya mengantisipasi menjelang FOMC meeting, China yang ekonominya masih melemah dan ada kekhawatiran yaitu kalo seandainya ekonominya China melemah kemungkinan akan ada devaluasi Yuan lagi, kekhawatiran itu ada‎," kata Agus di Gedung Bank Indonesia, Kamis (10/12/2015).

‎Melemahnya ekonomi China ini dipastikan Agus akan kembali berdampak ke Indonesia, terutama ke harga komoditi. Dengan melemahnya ekonomi China, kebutuhan komoditi negara tersebut akan berkurang, di sisi lain ekspor komoditi Indonesia ke China juga menurun drastis.

Untuk itu Agus mengungkapkan kecepatan pemerintah dalam meningkatkan kualitas dan daya saing industri‎ non komoditas menjadi kunci ekonomi Indonesia jangka waktu ke depan.

Tidak hanya itu, dalam mengantisipasi gejolak adanya risk on dan risk off akibat sentimen China dan AS tersebut, ditegaskan Agus, BI akan selalu ada di pasar demi menjaga stabilitas nilai tukar rupiah terhadap dolar AS.

"Ini sifatjnya sementara kita masih yakin bahwa Indonesia adalah satu negara yang berkomitmen untuk refform. Ini adalah sesuatu yang menjadi salah satu contoh negara dan juga nantinya akan jadi pilihan bagi investor tapi saat ini masih akan ada rebalancing dari negara berkembang menuju kenegara besar," papar Agus. (Yas/Gdn)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya