Kisah Si Janggut Naga dan Trofi Terakhir Persija

"Terlalu banyak kenangan di Persija," kata Sofyan Hadi mengutarakan niat untuk melatih Macan Kemayoran.

oleh Rejdo Prahananda diperbarui 13 Des 2015, 06:01 WIB
Sofyan Hadi (Abdillah/Liputan6.com)

Liputan6.com, Bogor - Wanita paruh baya berkerudung hitam itu hanya bisa menahan tangis di hadapan kamera. Dia bercerita tentang kondisi kesehatan sang suami, yang tengah berjuang melawan kanker tulang.

"Untuk obat saja habis Rp 350 juta," kata Winarni dengan nada terisak.

Di sebelahnya duduk pendamping hidup, Sofyan Hadi. Tangannya memegang erat tongkat kayu. Tatapannya kuyu. Jenggot putihnya dibiarkan memanjang, tapi tetap terawat. Tubuh kurusnya menandakan, dia sedang sakit.

Jumat (11/12/2015) sore hari, rumahnya di cluster Ciomas Grande, Bogor mendadak ramai oleh media dan orang-orang beratribut oranye. Mereka berkumpul di depan rumah bercat hijau itu untuk menjenguk saksi hidup serta pelaku sejarah perjalanan Persija di pentas sepak bola nasional.

Baca Juga

  • Persipura Siapkan Pengganti Boaz
  • Peserta 8 Besar Piala Jenderal Sudirman Tuntut Kompetisi Resmi
  • Arema Cronus Vs Persipura: Adu Strategi Jitu

Sofyan Hadi pemain dan pelatih tersukses yang pernah menjadi bagian dari Persija Jakarta. Di usia yang menginjak 64 tahun, Sofyan Hadi harus bergulat dengan kanker tulang. Penyakit yang terhitung langka di Indonesia. Gejala Sofyan bakal terserang penyakit ganas ini mulai tampak tahun lalu. Namun dokter memvonis menderita kanker tulang pada Mei 2015.

Kesehatannya sempat ambruk. Bahkan, dia sempat tidak bisa bangun dari tempat tidur karena tidak bisa duduk. Sofyan Hadi hanya bisa terbaring di lemah di Rumah Sakit Mayapada, Cinere.

Si Janggut Naga--begitu julukan yang disematkan padanya-- harus menjalani serangkaian kemoterapi untuk memulihkan kondisi kesehatannya. Proses tersebut kini telah selesai. Tujuh kali dia menjalani kemoterapi, tapi tidak menunjukkan perubahan berarti.

Selain berobat di dalam negeri, Sofyan Hadi juga berkelana hingga ke negeri tetangga untuk menjalani pengobatan. Termasuk di Singapura dan Negeri Jiran, Malaysia. "Tapi biayanya sangat mahal. Kalau terus menerus seperti ini, kami juga membutuhkan bantuan," ujar Winarni lagi.

Pihak keluarga telah berusaha mencari bantuan kepada Kementrian pemuda dan olahraga. "Tapi sejauh ini belum respon," ucap Winarni lagi dengan nada terbata. "Pun demikian dengan Persija."


Masa Emas di Persija

Lantas siapa Sofyan Hadi? Di era 1970-an nama Sofyan Hadi termasuk dalam jajaran pesepak bola papan atas di Indonesia. Meretas jalan di klub internal Persija, PS Jayakarta, Sofyan Hadi menjelma menjadi bintang sepak bola Indonesia.

Juara perserikatan pada 1973 menjadi tonggak masa depan cerah Ayah 7 anak ini di pentas lapangan hijau. Gelar tersebut diikuti dengan prestasi serupa di musim 1975 dan 1979. Penampilan   memesona membawa Sofyan Hadi dipanggil masuk skuat Timnas Indonesia.

Pria yang kini berusia 64 tahun ini menjadi salah satu pilar Tim Merah Putih di Kualifikasi Pra Olimpiade Montreal, Kanada, 1976. Ketika itu, Indonesia diasuh oleh pelatih tenar asal Belanda, Wiel Coerver. Pemain beken di masa itu seperti Iswadi Idris, Risdianto, Andi Lala dan Ronny Pattinasarani menjadi penghuni Timnas. 

Grafis Sofyan Hadi

Dari tiga gelar di era perserikatan, Sofyan masih ingat momen istimewa sekaligus bersejarah di mana PSSI memutuskan Persija dan PSMS Medan menjadi juara bersama era perserikatan 1975.

Pertandingan final di SUGBK, 10 November 40 tahun silam ini harus dihentikan ketika kedudukan 1-1 setelah Sofyan Hadi mencetak gol penyeimbang. Ricuh antarsuporter pecah di tengah laga. Wasit Mahdi Talib tidak bisa mengendalikan pertandingan. "Pendukung Persija dan PSMS memang tidak akur," kata Sofyan Hadi dengan suara pelan, tapi masih bersemangat. Mendiang Sinyo Aliandoe menjadi juru taktik Persija saat itu.

Ketua Umum PSSI saat itu, Bardosono kemudian mengambil jalan tengah. Mengeluarkan keputusan Persija dan PSMS juara bersama. Meski kubu PSMS sempat keberatan tapi palu keputusan sudah diketok.

Terlepas dari masalah tersebut, menurut Sofyan, sukses Persija menggondol tiga gelar di dekade 1970-an tidak lepas dari pembinaan usia dini klub yang mencapai sasaran. Sofyan Hadi sendiri merupakan anggota skuat PS Jayakarta, tim internal Persija.

"Saya masih ingat, kejayaan Persija ketika itu karena tim diisi pemain berkualitas di klub internal. Tapi sekarang, sudah sangat jarang pembinaan seperti itu (pemain diambil dari tim internal)," ujarnya.


Tuah Janggut Naga

Sukses sebagai pemain, Sofyan Hadi yang lahir di Bali, 17 April 1951 ini pun juga piawai melatih. Dia mengambil alih tongkat komando pelatih Persija dari tangan rekan satu timnya, Andi Lala. Sofyan Hadi naik pangkat dari asisten pelatih menjadi pelatih kepala.

Sebelumnya, Sofyan Hadi 'cuma' duduk sebagai pelatih tim internal Persija, menangani tim Mahasiswa Perbanas. Dia memang memulai karier dari bawah hingga menjadi juru taktik Persija.

Sofyan Hadi ditunjuk menjadi pelatih kepala Persija untuk musim kompetisi 2001. Di tahun tersebut, pria yang gemar memelihara janggut ini membawa Persija juara Liga Indonesia VII. Persija menang 3-2 atas PSM Makassar di SUGBK berkat dua gol dari Bambang Pamungkas dan satu gol Imran Nahumarury 3 menit selepas kickoff.

Gelar tersebut seperti oase di tengah kering prestasi. Persija terakhir kali kampiun liga Indonesia pada 1979 di era perserikatan. Sejak saat itu hingga 2001, tim Ibukota Indonesia ini belum lagi mendapat trofi.

Janggut yang menjadi ciri khas Sofyan Hadi bertuah. Karena janggut itu pula Sofyan Hadi kerap dijuluki Pak Haji. Kemudian, tidak sedikit yang menyematkan julukan Si Janggut Naga karena prestasi Persija yang moncer di musim pertama.

"Ketika itu tim manajemen dan pemain kompak. Tidak ada ribut-ribut," ucap Sofyan Hadi yang memiliki darah Betawi dari Petamburan ini.

Dia melanjutkan,"Hal ini membuat pelatih mudah mencari pemain dalam membentuk tim yang kuat. Ini menjadi satu kesatuan sehingga membuat pelatih mudah mencapai target."

Wajar kalau ketika itu suasana tim kondusif. Tunggakan gaji pemain tidak terdengar gaungnya karena tim-tim mayoritas peserta ISL masih menyusu dari dana  APBD. Tidak seperti sekarang, kasus tunggakan gaji pemain menjadi masalah bersama bagi tim-tim peserta kasta kompetisi tertinggi.

Sukses mempersembahkan gelar, Sofyan Hadi dan seluruh anggota skuat diarak keliling Jakarta. Dokumentasi bersejarah itu masih tersimpan rapi di album foto. Dalam satu pose, Sofyan menumpang mobil jip willys ketika berkeliling Jakarta.

Bambang Pamungkas dan kawan-kawan diterima Pembina Persija Jakarta, Sutiyoso. Manajemen juga menggelar malam perayaan khusus untuk merayakan gelar juara Persija.

Bonus yang diterima Sofyan Hadi dan anak asuhnya mencapai Rp 1,5 miliar. Sang arsitek mendapat jumlah yang sama dengan seluruh pemain inti. "Berapa jumlahnya? Silahkan tanya ke pemain," kata Sofyan terkekeh.


Menuju PSPS Pekanbaru

Di musim berikutnya, Sofyan Hadi gagal mengulang euforia serupa di tim baru, PSPS Pekanbaru. Dia hanya bertahan selama satu musim di Persija. "Ketika itu, manajemen tidak ada berbicara apapun dengan saya. Kalau ada mungkin saya bertahan di Persija," ungkap Sofyan Hadi.

Mencari tantangan baru menjadi alasan meninggalkan Persija menunju PSPS. Sayang, Asykar Bertuah tidak mampu berbicara banyak kendati memiliki banyak pemain bintang, salah satunya merekrut Kurniawan Dwi Yulianto.

"Ada upaya pelemahan tim dari dalam sehingga konsentrasi pemain terganggu," ucap Sofyan Hadi.

Selepas melatih PSPS, Sofyan Hadi melatih tim Divisi bawah. Pada 2004, Sofyan membantu PSIM Yogyakarta naik ke Divisi Utama dari Divisi I. Tapi lagi-lagi kiprahnya tidak bertahan lama di PSIM, Sofyan Hadi kemudian digantikan Edy Paryono. Namun 2007, dia kembali lagi di putaran kedua kompetisi atas desakan suporter. Karena prestasinya tidak menonjol, Sofyan Hadi meninggalkan klub berjuluk Laskar Mataram itu. 

Tim asal Aceh, PSAP Sigli menjadi tim terakhir yang ditangani sebelum pensiun pada 2010.

Sofyan Hadi terkenal total saat bertugas. Ketika hujan, Sofyan tidak segan memberikan arahan langsung dari pinggir lapangan dengan kantong kresek di kepala. Gaya melatihnya sebagaian besar dipengaruhi oleh sang idola, Sinyo Aliandoe yang belum lama ini menghembuskan napas terakhir. Kolaborasi Sinyo dan Sofyan Hadi membuahkan gelar perserikatan untuk Persija pada 1973 dan 1975.

"Dia pelatih idola saya. Punya karakter kuat. Menyerahkan keputusan pada pemain di lapangan," kata Sofyan sambil menerawang.

Sempat terbersit di benaknya untuk menangani Persija."Terlalu banyak kenangan di sana." Namun hingga kini, keinginan itu tidak kesampaian lagi sampai kanker tulang menggerogoti tubuhnya.


Trofi Terakhir

Pencapaian tersebut membuat Sofyan Hadi menjadi pemain sekaligus pelatih yang mampu mengantarkan tim yang identik dengan warna oranye ini merebut gelar juara. Trofi terakhir Persija yang dipersembahkannya 15 tahun lalu hingga kini belum lagi diperoleh lagi oleh Macan Kemayoran.

"Ini sudah terlalu lama. Tapi memang, prestasi itu butuh waktu. Saya berharap manajemen kompak dan jangan melulu mengurus konflik internal," harap Sofyan Hadi yang terus mengikuti perkembangan Persija termasuk tunggakan gaji pemain dan internal manajemen tim.

Kini setelah pensiun melatih, Sofyan Hadi justru lebih banyak menghabiskan waktu dengan tim medis."Tanpa kegiatan, bapak mulai sering sakit," kata Winarni lirih.

Ketika divonis kanker tulang, keluarga bahu membahu untuk kesembuhan sang kepala keluarga. "Bila ditotal mungkin sudah habis Rp 800 juta." Selain menempuh jalan medis, Sofyan Hadi juga menjalani pengobatan alternatif secara herbal selama dua bulan terakhir. Hasilnya sudah membaik. Dia sudah bisa duduk dan berdiri

Ketika dirawat, keluarga sampai harus menjual pohon kayu jati cirebon yang ditanam di kebun pribadi. "Hasilnya lumayan, dari 800 pohon kayu, 200 sudah terjual untuk biaya pengobatan," timpal Sofyan Hadi.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya