Liputan6.com, California - Antrean mengular di sebuah toko perlengkapan senjata di Phoenix, AS. Beberapa orang mencari senjata laras panjang semi-otomatis. Sementara yang lain belanja pistol termasuk calibre.38 Specials, dengan pegangan berwarna merah jambu.
Fenomena orang berduyun-duyun belanja ke toko senjata terjadi beberapa hari setelah penembakan massal di San Bernardino, California pada 2 Desember 2015 lalu. 14 orang tewas setelah pasangan suami istri, Syed Rizwan Farook dan Tashfeen Malik menghujani sebuah fasilitas untuk disabilitas dengan peluru.
Kebanyakan dari mereka yang antre di toko itu telah memiliki senjata dan amunisi.
Baca Juga
Advertisement
"Aku beli dua buah senjata laras panjang," kata seorang perempuan kepada CBS dalam tayangan video dari Now This, 10 Desember 2015.
"Bagaimana kalau seseorang mengincarku atau keluargaku?" kata Janet Winkler, seorang nenek yang baru saja belanja peluru untuk revolvernya yang selalu ia bawa di dalam tas tangan, seperti dilansir dari New York Times, 5 Desember 2015 lalu -- 2 hari setelah insiden penembakan di San Bernardino.
"Biasanya aku tak pernah membawanya kalau sekedar ke supermarket Target atau Wal-Mart. Tapi dengan kejadian di California, aku rasa kapanpun penembakan bisa terjadi. Jadi, sekarang ke mana-mana pistol ini selalu ada di tasku," tambahnya lagi.
Di tengah makin gencarnya penembakan massal seperti di Paris, Colorado Springs dan terakhir di San Bernardino, California, ada kecenderungan warga AS mempersenjatai diri mereka. Membawa serta tiap hari, serta banyak yang memperbarui izin menembaknya.
Banyak warga AS yang memikirkan keselamatan pribadi. Mereka lebih banyak yang mencari senjata daripada sekedar menuntut untuk memperbaiki peraturan. Hal itu diketahui dengan meningkatnya penjualan senjata seantero AS. Dan beberapa laporan menulis, di beberapa County di AS, para sherif meminta warganya untuk mempersenjatai diri.
Maraknya pembelian senjata juga terdeteksi oleh FBI. Banyak warga AS membeli saat diskon nasional Black Friday, sehari setelah Thanksgiving, yang jatuh tiap kamis di minggu keempat bulan November.
Menurut statistik FBI, total ada 185.345 warga melakukan cek latar belakang --hal yang wajib setiap membeli senjata di AS-- pada 1 hari itu. Lebih banyak dari 5 persen dibanding tahun lalu.
Angka itu belum termasuk dengan pembelian di toko-toko tak berizin yang tak memerlukan verifikasi latar belakang pembeli. Dan 40 persen pembelian senjata di AS melalui toko sejenis itu.
Penjualan melonjak drastis, sesaat setelah penembakan San Bernardino terjadi pada 2 Desember. Toko-toko senjata memperpanjang diskonan Black Friday hingga dua minggu setelah kejadian itu.
Mike Reber pemilik toko senjata Arizona Arms di Kota Chandler, Arizona mengatakan bahwa angka pembelian di tokonya semakin meningkat, terutama oleh orang-orang yang baru membeli senjata untuk pertama kalinya.
"Mereka lebih memilih senjata laras pendek dan panjang," kata Reber, yang tokonya juga melanjutkan diskon nasional Black Friday hingga dua minggu.
"Banyak perempuan yang membeli senjata, banyak suami-suami yang membelikan istrinya pistol. Mereka tak mau jadi sekedar target seperti bebek dalam kolam alias jadi sasaran empuk," tambah Reber lagi.
Angka pembelian senjata di AS sendiri cenderung meningkat dalam beberapa tahun terakhir, terutama pada pemilu 2008 dan 2012 dan setelah kejadian penembakan massal dengan korban yang banyak.
Cek latar belakang untuk kepentingan kepemilikan senjata meningkat 40 persen pada Deember 2012, bulan di mana tragedi penembakan massal Sandy Hook terjadi dan menewaskan 27 orang.
Menurut Now This News, salah satu perusahaan senjata, Remington, melaporkan penjualannya naik 52 persen.
Berikut rekaman video warga AS berduyun-duyun membeli senjata, setelah insiden penembakan massal San Bernardino.