Liputan6.com, Jakarta - Berbohong kini sepertinya akan semakin susah. Sebab para peneliti dari University of Michigan baru-baru ini mengembangkan perangkat lunak unik dan terbaru untuk pendeteksi kebohongan, menggunakan data rekaman video dari kasus penting di pengadilan.
Prototipenya menggunakan kata-kata dan gerak-gerik si subyek, dan tak seperti halnya polygraph --alat pendeteksi kebohongan konvensional, subyek yang diuji bahkan tak perlu disentuh sama sekali. Dalam percobaan, akurasinya pengidentifikasian siapa yang berbohong (berdasarkan hasil akhir persidangannya) mencapai 75 persen -- lebih tinggi dibandingkan kemampuan manusia mengidentifikasi kebohongan yang cuma sedikit di atas 50 persen.
Advertisement
Dengan bantuan perangkat lunak ini, para peneliti menyebutkan kalau mereka telah mengenali beberapa petunjuk kebohongan.
Mereka yang berbohong lebih sering menggerakkan tangan agar terlihat lebih meyakinkan. Terkadang, mereka juga menatap mata sang penanya lebih sering daripada seseorang yang berkata jujur.
"Sistem ini mungkin kelak bisa berguna bagi pihak keamanan, juri di persidangan dan bahkan profesional di bidang kesehatan mental," tambah para peneliti tersebut.
Untuk mengembangkan perangkat lunak tersebut, tim menggunakan teknik machine-learning. Software tersebut lalu diberikan 120 video klip hasil liputan media pada persidangan sesungguhnya. Sebagian klip diperoleh dari situs web The Innocence Project -- sebuah organisasi nasional yang bekerja untuk membebaskan orang-orang yang tak seharusnya divonis bersalah.
Video yang digunakan untuk pendeteksian kebohongan, berisi kesaksian dari saksi dan terdakwa. Di separuh klipnya, subjek dianggap berbohong. Untuk menentukan siapa yang bicara jujur, peneliti membandingkan kesaksian mereka dengan hasil persidangan.
Dalam penelitian tersebut, tim ini mentranskripsikan rekaman audio termasuk ucapan-ucapan seperti “um, ah, dan uh.” Lalu mereka menganalisis seberapa sering subjeknya menggunakan kata atau kategori kata bervariasi.
Mereka juga memperhitungkan gerak gerik di video tersebut menggunakan skema pengkodean standar untuk interaksi antar manusia. Yang dinilai di antaranya 9 gerakan termasuk kepala, mata, alis, mulut dan tangan.
Para peneliti memasukkan data itu ke machine-learning dan membiarkan sistem memilah video. Saat menggunakan masukan dari kata-kata dan gerak-gerik pembicara, akurasinya mencapai 75 persen untuk menentukan siapa yang berbohong.
"Orang adalah pendeteksi kebohongan yang buruk. Ini bukan tugas yang bisa kita lakukan dengan baik secara natural. Ada petujuk-petunjuk yang diberikan seseorang secara alamiah saat mereka berbohong, tapi kita tak cukup cermat untuk mendeteksinya. Kita tak menghitung seberapa sering seseorang berkata ‘Aku’ atau melihat ke atas, misalnya. Kita berfokus pada level komunikasi yang lebih tinggi," sebut Profesor Ilmu dan Teknik Komputer, Rada Mihalcea yang bekerjasama dengan Mihai Burzo seorang asisten profesor teknik mesin di UM-Flint, seperti dikutip dari Science Daily, Senin (14/12/2015).
Penggunaan media dari dunia nyata yang membuat software tersebut berbeda dari yang lain.
"Dalam percobaan laboratorium, susah untuk menciptakan suasana yang memotivasi orang untuk benar-benar berbohong. Taruhannya tak sepenting itu."
"Kami bisa menawarkan hadiah jika seseorang bisa berbohong dengan baik –- membayar mereka untuk meyakinkan orang lain kalau sesuatu yang sebenarnya salah itu benar. Tapi di dunia nyata ada motivasi yang nyata juga untuk berbohong," tutur Mihalcea.
Hasi Penelitian
Pada klip orang yang berbohong, para peneliti menemukan beberapa perilaku khas:
- Cemberut atau meringis
Terdeteksi 30 persen dalam video orang berbohong dan 10 persen di video orang berkata jujur
- Melihat langsung pada si penanya.
Terdeteksi 70 persen dalam video orang berbohong dan 60 persen pada video orang berkata jujur
- Menggerakkan kedua tangan
Terdeteksi 40 persen video orang berkata bohong, dibandingkan 25 persen yang jujur
- Berbicara dengan ucapan jeda seperti “um.”
Ini lebih umum selama berbohong.
- Mengambil jarak dari aksinya dengan memilih menggunakan bahasa seperti “dia” dibandingkan dengan “aku” dan “kita,” dan menggunakan frasa yang menggambarkan kepastian.
Usaha ini adalah bagian dari proyek yang lebih besar.
“Kami menggabungkan parameter psikologi seperti detak jantung, laju pernapasan dan fluktuasi temperatur tubuh, semuanya diperoleh dengan pencitraan termal non-invasif,” kata asisten kepala peneliti Mihalcea, Burzo.
Selain itu, para peneliti juga mengeksplorasi peran pengaruh kebudayaan seseorang.
"Deteksi kebohongan adalah permasalahan yang sangat sulit. Kami mengerjakannya dari beberapa sudut pandang yang berbeda," ucap Barzo.
Dalam penelitian ini, para peneliti sendiri yang mengelompokkan gerak-geriknya, bukan komputer. Mereka sedang dalam proses untuk melatih komputer mengerjakan hal tersebut.
Sebuah makalah tentang penemuan yang diberi tajuk "Deception Detection using Real-life Trial Data" atau "Deteksi Kebohongan menggunakan Data Persidangan Nyata" dipresentasikan di International Conference on Multimodal Interaction dan diterbitkan setelah konferensi.
Penelitian tersebut didanai oleh National Science Foundation, John Templeton Foundation dan Defense Advanced Research Projects Agency.
Advertisement