Liputan6.com, Jakarta - Tommy Lim alias Rendy harus meringkuk di tahanan Badan Narkotika Nasional. Pria berusia 35 tahun tersebut tertangkap tangan sedang menyelundupkan 161 kilogram sabu-sabu menggunakan mobil boks di SPBU Rest Area KM 42 Tol Cikampek. Dia menjadi kurir barang haram senilai Rp 382 miliar itu untuk dikirimkan dari Surabaya ke Jakarta.
Tak sekali ini saja Tommy mengantarkan obat methampetamine. Kepada penyidik BNN, dia mengaku biasa mengantarkan sabu-sabu dari Kota Pahlawan ke Ibu Kota dengan bobot yang lebih ringan, 1-2 kilogram. Sekali mengantar sabu-sabu, dia mengantongi bayaran Rp 7 juta. Untuk pengantaran sabu-sabu seberat 161 kilogram, Tommy diiming-imingi duit Rp 30 juta. Duit itu berasal dari seorang bandar berkewarganegaraan China, Chen Bin.
Advertisement
Chen Bin sendiri tewas dengan luka parah setelah melompat dari apartemennya di Ancol, Jakarta Utara. Dia berupaya melarikan diri dari sergapan petugas BNN. "Dia meloncat dari jendela apartemen dan tewas," ujar Deputi Pemberantasan BNN Inspektur Jenderal Deddy Fauzy Elhakim di Kantor Pusat BNN, Jakarta, Jumat (4/12/2015).
Kepala Bagian Hubungan Masyarakat BNN Komisaris Besar Slamet Pribadi menyebutkan temuan 161 kilogram sabu-sabu ini menunjukkan tren peredaran dan penyalahgunaan narkotika masih tinggi. Menurut dia, bandar narkotika masih berani mengedarkan narkoba dalam jumlah besar. Pun tren sumber narkoba masih berasal dari negara yang sama. "Sumbernya dari China," kata dia ketika ditemui di Kantor Pusat BNN, Jakarta, Jumat (4/12/2015).
Slamet menjelaskan, China dan Iran menjadi sumber utama sabu-sabu. Sedangkan ekstasi bersumber dari Eropa. Penyelundupan narkotika dari luar negeri ini, katanya, banyak dilakukan melalui jalur laut. Narkoba, diselundupkan menggunakan kapal-kapal kecil melalui pelabuhan resmi dan pelabuhan ilegal. BNN menyebut rute masuk baru ini sebagai "jalur tikus". Biasanya, bandar menyewa nelayan sebagai kurir untuk membawa sabu-sabu melintas perbatasan Indonesia.
Menurut Slamet, BNN mengidentifikasi sejumlah jalur tikus melalui pintu laut dengan lalu lintas penyelundupan sabu-sabu yang ramai. Pertama, jalur Malaka, Malaysia, melewati Pulau Rupat, Riau, lalu ke Dumai. Malaka merupakan daerah wisata yang bisa dengan mudah ditembus orang dari seluruh penjuru dunia. Adapun Pulau Rupat merupakan salah satu pulau terdepan Indonesia untuk perbatasan dengan Malaysia di Selat Malaka. Malaka ke Pulau Rupat sendiri dipisahkan laut selebar 60 kilometer. Pulau Rupat bagian utara memiliki setidaknya tiga pelabuhan rakyat yang bisa menjadi tempat persinggahan kurir narkotika. Narkotika yang lolos dari Pulau Rupat akan diantarkan ke Dumai dan Pekanbaru. "Selanjutnya dikirimkan ke Jakarta," katanya.
Jalur panas penyelundupan narkotika berikutnya melewati Kabupaten Nunukan, Kalimatan Utara. Slamet mengatakan, Nunukan menjadi tempat singgah kurir sabu-sabu dan ekstasi dari Sarawak, Malaysia. Daerah dengan luas 21 kali DKI Jakarta tersebut memiliki perbatasan laut dan darat dengan Malaysia. Narkotika mendarat di Indonesia melalui pelabuhan resmi seperti Pelabuhan Nunukan atau pelabuhan-pelabuhan kecil.
Data yang dikeluarkan BNN pada 2015 menunjukkan aparat keamanan belum pernah menyita sabu-sabu dan ekstasi di Pelabuhan Nunukan sebelum sebelum 2014. Pada 2014, jumlah sabu-sabu sitaan mencapai 500 gram. Penelusuran yang lebih jauh menunjukkan sabu-sabu akan dibawa dari Nunukan ke Parepare, Sulawesi Selatan. Setelahnya, obat-obatan ilegal tersebut dikirim ke Kota Pinrang, Sulawesi Selatan, atau ke Kabupaten Bone yang terletak di provinsi yang sama.
Kota-kota Tujuan
Sebelum laut menjadi jalur panas peredaran narkoba, jalur udara menjadi pintu masuk yang paling banyak digunakan kurir. Slamet menjelaskan, heroin, sabu-sabu, dan ekstasi dahulu bisa diselundupkan dengan mudah di bandara internasional karena belum diterapkannya teknologi pemindaian narkoba. "Kini pengawasan jauh lebih baik karena mesin pemindai narkoba sudah dipasang di banyak bandara internasional di Indonesia," ujar Slamet.
Dia menyebutkan, pemasangan pemindai narkoba di Bandara Soekarno-Hatta membuat kurir takut menyelundupkan barang haram ini lewat udara langsung ke Ibu Kota. Karena itulah, jaringan narkoba mulai memakai jalur alternatif seperti laut dan darat.
Jalur darat yang paling banyak dilewati saat ini terletak di perbatasan Malaysia di Kalimantan, perbatasan Papua Nugini, dan perbatasan Timor Leste. Menurut dia, aparat pengamanan memperketat pengawasan barang-barang bawaan para pelintas batas di daerah-daerah ini.
Meski melewati jalur-jalur tikus yang tersembunyi, peredaran narkoba tetap mengincar pasar kota-kota besar. Slamet mengatakan DKI Jakarta masih menjadi daerah tujuan utama peredaran narkoba. Hasil studi BNN 2015 menunjukkan Jakarta menjadi provinsi dengan prevalensi pengguna narkoba terbesar di Indonesia. Sebanyak 4,73 persen penduduk Jakarta berusia 15 hingga 64 tahun--setara dengan 360 ribu orang--merupakan pengguna narkoba. Prevalensi ini dua kali lebih tinggi ketimbang angka nasional yaitu 2,2 persen.
Provinsi lain yang memiliki prevalensi jauh di atas rata-rata adalah Kalimantan Timur dan Kepulauan Riau, masing-masing 2,9 dan 3,1 persen. Dua provinsi ini selain menjadi tujuan pemasaran narkoba juga menjadi tempat transit benda haram tersebut.
Adapun provinsi dengan pengguna narkoba terbesar diduduki Jawa Barat dengan 790 ribu pengguna. Jumlah ini membuat prevalensi penggunaan narkoba di provinsi dengan penduduk terbesar di Indonesia ini mencapai 2,3 persen.
Pendistribusian narkoba ke kota-kota besar sendiri kini dilakukan lewat berbagai modus. Menurut Slamet, bandar narkoba menyembunyikan barang terlarang itu di dalam knalpot, televisi, hingga injakan kaki pada alat refleksi. Alat-alat itu dipiliha karena paling jarang diawasi petugas keamanan. Namun, dia memastikan aparat keamanan tetap bisa mendeteksi narkoba melalui berbagai metode seperti anjing pelacak atau pemindaian.
Advertisement
Perubahan Tren Peredaran Narkoba
Perubahan jalur penyelundupan narkoba terjadi hampir berbarengan dengan perubahan jenis narkoba yang banyak beredar di Indonesia. Sebelum 2011, putau alias heroin masih termasuk narkoba yang paling banyak digunakan selain ekstasi dan ganja. Setelah itu, dominasi putau digeser oleh sabu-sabu.
Salah satu yang merasakan perubahan jenis narkoba yang dominan ini adalah Kepala Balai Besar Rehabilitasi BNN Lido Komisaris Besar Jolan Tedjokusumah. Menurut dia, pada periode 2007-2011 sebagian besar pasien di lembaganya mengkonsumsi putau. Dia masih mengingat pasien yang masuk ke Balai Rehabilitasi Lido pada periode sebelum 2011 umumnya berada dalam kondisi depresi dan kesakitan. "Depresi dan kesakitan lazim dirasakan oleh pecandu putau," ujarnya ketika ditemui di kantornya di Lido, Selasa (24/12/2015).
Pada masa kejayaan putau tersebut, menurut Jolan, para pecandu yang masuk balai rehabilitasi Lido umumnya mengeluhkan rasa sakit atau sakau. Balai Rehabilitasi Lido tidak menggunakan metode pemberian narkoba alternatif untuk memutus ketergantungan pecandu. Karenanya pecandu putau yang baru masuk ke balai rehabilitasi akan dibiarkan pulih sendiri. Petugas medis biasanya menjaga agar pasien tidak mencelakakan diri selama proses penyembuhan alami yang biasanya berlangsung satu pekan ini.
Setelah 2011, Jolan melanjutkan, pasien Balai Rehabilitasi Lido didominasi pengguna sabu-sabu. "Pengguna sabu cenderung hiperaktif ketika masuk ke balai rehabilitasi," katanya. Perilakuu hiperaktif ini terjadi lantaran efek sabu-sabu yang membuat penggunanya menjadi euforia dan bersemangat.
Catatan Balai Rehabilitasi Lido menunjukkan pasien pengguna putau pada 2010 mencapai 38 persen. Jumlah pengguna putau yang dirawat sepanjang tahun lalu menyusut menjadi 7 persen saja. Adapun pasien pengguna sabu-sabu yang pada 2010 sebanyak 28 persen membengkak menjadi 53 persen pada 2014.
Kepala Bagian Hubungan Masyarakat BNN Komisaris Besar Slamet Pribadi membenarkan tingginya penggunaan sabu-sabu dalam beberapa waktu belakangan. Hanya saja, dia melanjutkan, pengguna sabu-sabu umumnya mengkombinasikan obat tersebut dengan ganja dan ekstasi. "Ada juga yang mengkombinasikan dengan narkoba baru seperti tembakau gorilla," katanya. BNN pada Oktober lalu memasukkan tembakau gorilla sebagai narkoba jenis baru lantaran sering disalahgunakan sebagai penenang.
Selain trio narkoba--ganja, sabu-sabu, dan ekstasi--BNN juga mendata sejumlah narkoba jenis baru yang beredar di masyarakat. Pecandu mulai menyalahgunakan beberapa jenis obat daftar G dengan atau tanpa resep dokter bisa dibeli di toko obat. Di antaranya Stesolid, Faldimex, dan Elsigan. Penyalahgunaan obat daftar G itu marak terjadi di Medan, Sumatera Utara, dan Bandar Lampung, Lampung.
Pengedar juga mulai menggunakan nama jalanan untuk jenis narkoba tertentu. BNN mencatat peredaran Sevia atau java-java yang merupakan varian dari ganja. Di Pontianak, Kalimantan Barat, beredar Hango yaitu sejenis amphetamine cair. Mumbul merupakan istilah yang digunakan pecandu narkoba di Kendari, Sulawesi Tenggara, untuk narkoba jenis somadril yang bekerja sebagai pelemas otot. Kreasi baru dibuat di Manado, Sulawesi Utara, berupa sombie yang dibuat dari campuran somadril dan alkohol Cap Tikus.