Liputan6.com, Jakarta - Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta mempublikasikan catatan akhir tahun 2015 di bidang perkotaan dan masyarakat urban. Dalam catatannya, ada 3 pelanggaran yang paling mencolok dilakukan oleh Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta.
"Pertama, maraknya penggusuran paksa. Kedua, privatisasi pengelolaan air oleh asing. Terakhir, pengekangan demokrasi hingga kerusakan lingkungan," kata pengacara publik LBH Jakarta, Handika Febrian, di Kantor LBH Jakarta, Jakarta Pusat, Rabu (16/12/2015).
Baca Juga
Advertisement
Soal penggusuran paksa, kata Handika, sepanjang 2015 ini menjadi meningkat. Akibatnya, berujung pada pelanggaran HAM terhadap warga. Pelanggaran HAM ini juga memakan korban terbanyak ketimbang kasus-kasus lain yang diadukan ke LBH Jakarta.
LBH Jakarta mencatat, penggusuran paksa, dari Januari sampai Agustus 2015 saja, menimpa 3.433 kepala keluarga (KK) dan 433 unit usaha. Termasuk di dalamnya penggusuran paksa warga Kampung Pulo yang menarik perhatian publik, karena sempat terjadi bentrok dengan aparat keamanan.
"Jumlah ini bisa akan terus bertambah menyusul rencana penggusuran oleh Pemprov DKI menjelang akhir tahun," ucap Handika.
Dia menambahkan, pelanggaran oleh Pemprov DKI juga terjadi terkait pengelolaan air oleh pihak asing. Hak 9 juta warga DKI Jakarta atas akses air bersih terancam, menyusul keengganan Pemprov DKI merebut kembali kepemilikan perusahaan air swasta menjadi milik negara. Padahal, nasionalisasi perusahaan air itu sudah diputuskan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Padahal dalam putusan PN Jakarta Pusat Nomor 527/Pdt.G/2012/PN.Jkt.Pst dan juga putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 85/PUU-XI/2013 sudah menyatakan secara jelas. Pengelolaan air tidak boleh diserahkan ke pihak lain selain negara.
"Dan itu juga sejalan dengan ketentuan dalam Pasal 33 ayat 2 dan ayat 3 UUD 1945. Di situ dijelaskan bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat," terang Handika.
Poin terakhir yang digarisbawai LBH Jakarta adalah soal kebebasan berekspresi dan hak atas lingkungan hidup. Handika menyatakan, terdapat pelanggaran HAM di 2015 akibat pengekangan kebebasan berekspresi dan juga perusakan lingkungan hidup.
"Pada level micro, Pemprov DKI telah melakukan pembungkaman terhadap Ibu Retno, seorang guru anggota Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) yang dipecat dari posisinya sebagai kepala sekolah, hanya karena membuka carut-marutnya pelaksanaan ujian nasional di media massa," ucap dia.
Kebebasan Berpendapat
Pada level macro, lanjut Handika, hak 9 juta warga DKI atas kebebasan berpendapat juga dirampas dengan penerbitan Peraturan Gubernur Nomor 228 Tahun 2015 tentang Pengendalian Penyampaian Pendapat di Muka Umum.
Dengan Pergub itu, lokasi demonstrasi dibatasi hanya boleh pada 3 titik yang ditunjuk oleh Pemprov DKI, yakni alun-alun demokrasi MPR/DPR, Parkir Timur Senayan, dan Silang Selatan Monas.
"Meski telah direvisi dengan Pergub Nomor 232 Tahun 2015, tapi pokok-pokok pengaturan lokasi demonstrasi masih terkandung di situ," ujar Handika.
Lalu aspek pelanggaran hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, ucap Handika, Pemprov DKI mengeluarkan kebijakan yang tak konsisten. Sebab, pada awal kampanye dalam Pilgub DKI 2012, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok bersama Joko Widodo menolak pembangunan 6 ruas tol ibu kota. Namun nyatanya, pembangunan 6 ruas tol itu berlanjut.
Kemudian Ahok juga menunjukkan sikap pro pemodal dan anti terhadap kesejahteraan masyarakat kecil dengan menyetujui pelaksanaan proyek reklamasi. Kedua kebijakan itu tentunya sangat berpotensi merusak lingkungan di sekitar proyek.
"Kebijakan 6 ruas tol itu semakin membuat posisi rakyat miskin semakin termajinalkan. Sedangkan proyek reklamasi juga akan mengabaikan kesejahteraan nelayan untuk memperoleh mata pencaharian yang layak," tegas dia.